MAMPUKAH MENGURAI BENANG KUSUT?
Senin, 10 November 2025
KOMISI REFORMASI POLRI
Kamis, 06 November 2025
KRITIK TERHADAP PROGRAM MAKAN BERGIZI GRATIS
SEBUAH TINJAUAN AKHIR TAHUN
Ketika pemerintah mencanangkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai terobosan sosial unggulan, publik menaruh harapan besar. Visi mulianya jelas yakni memastikan anak-anak sekolah mendapatkan asupan gizi cukup, agar tumbuh sehat, cerdas, dan siap menjadi generasi emas Indonesia.
Namun menjelang akhir 2025, bayangan ideal itu tampak buram. Di balik angka-angka anggaran yang fantastis, realita di lapangan justru menunjukkan paradoks yang mengusik nurani.
Sejak diluncurkan awal 2025, program MBG menelan biaya lebih dari Rp 70 triliun, dan direncanakan meningkat pada 2026. Laporan Badan Gizi Nasional menyebutkan, penyerapan anggaran program MBG hingga pekan kedua Oktober 2025 baru mencapai Rp 26,25 triliun. Angka itu setara dengan 36,97 persen dari total anggaran tahun ini sebesar Rp 71 triliun.
Pemerintah menyebut capaian distribusi sudah menjangkau 70 persen wilayah, tapi laporan di berbagai daerah memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pelaksanaannya berjalan relatif tertib.
Namun di pelosok, terutama di wilayah seperti Sukabumi, Yogyakarta, dan sejumlah kabupaten di Kalimantan, program ini justru memunculkan masalah baru yakni dari distribusi tidak merata, menu yang tidak sesuai standar gizi, hingga kasus keracunan di lingkungan sekolah. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) seperti dikutip Tempo menunjukkan lima provinsi dengan jumlah keracunan MBG terbanyak, yakni Jawa Barat dengan 2.012 kasus, DI Yogyakarta 1.047 kasus, Jawa Tengah 722 kasus, Bengkulu 539 kasus, dan Sulawesi Tengah 446 kasus.
Tragedi keracunan tersebut menjadi alarm keras bahwa sistem pengawasan MBG masih rapuh. Data dari sejumlah lembaga pemantau menunjukkan bahwa sebagian penyedia katering lokal tidak melalui proses sertifikasi kesehatan yang memadai. Misalnya, bahan makanan dibeli pagi, dimasak terburu-buru, tanpa uji higienitas yang ketat. Akibatnya, puluhan siswa harus dirawat di puskesmas usai menyantap makanan dari program yang sejatinya bertujuan menyehatkan.
Ironisnya lagi, di beberapa daerah, dana operasional MBG justru tersendat karena prosedur birokrasi berbelit. Kepala sekolah harus menunggu berminggu-minggu untuk pencairan dana, sementara anak-anak tetap menunggu makan siang yang dijanjikan. Di sisi lain, laporan dari lembaga keuangan negara menunjukkan adanya deviasi antara alokasi dan realisasi anggaran hingga 18 persen — angka yang tidak kecil untuk sebuah program berskala nasional.
Pemerintah memang mengakui adanya “masalah teknis di lapangan”, tetapi persoalan ini tidak bisa sekadar dianggap teknis. Ketika program dengan label bergizi justru memunculkan korban jiwa, maka yang gagal bukan hanya sistem logistik, tetapi juga akuntabilitas kebijakan. Banyak pihak menilai pelaksanaan MBG lebih sibuk pada pencitraan politik ketimbang membangun sistem pangan yang sehat dan berkelanjutan di sekolah.
Padahal, ide dasarnya sesungguhnya brilian. Negara hadir untuk memastikan tidak ada anak sekolah yang belajar dalam keadaan lapar. Namun, sebagaimana banyak program populis lainnya, pelaksanaannya terburu-buru, tanpa kesiapan ekosistem pendukung yang solid. Rantai pasok pangan lokal, sertifikasi dapur penyedia, mekanisme audit, dan transparansi data penerima —masih tambal sulam.
Dari hasil pantauan di lapangan, sejumlah daerah belum memiliki daftar tetap penerima manfaat. Ada sekolah yang tidak pernah menerima sama sekali. Lebih dari sekadar salah distribusi, ini menunjukkan lemahnya koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah. Akibatnya, yang seharusnya menjadi momentum pemerataan gizi justru berubah menjadi peta ketimpangan baru.
Dukungan Stakeholder Terkait
Kritik terhadap program MBG bukan berarti menolak gagasan besarnya. Justru sebaliknya, kritik diperlukan agar ide yang baik tidak mati di tangan pelaksana yang lemah. Program ini seharusnya tidak hanya menyalurkan makanan, tetapi juga mendidik anak-anak tentang pola makan sehat, memperkuat petani lokal sebagai pemasok, dan membangun sistem pengawasan partisipatif agar setiap rupiah benar-benar sampai ke meja makan siswa.
Menjelang akhir 2025, publik menunggu keberanian pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh yang dipublikasikan ke masyarakat luas. Bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi juga tentang tanggung jawab moral: memastikan bahwa setiap piring yang disajikan benar-benar bergizi, aman, dan adil. Jika tidak, MBG hanya akan menjadi simbol ironi — program makan bergizi yang justru menelan korban.
MBG adalah janji kampaye Presiden Prabowo yang perlu didukung stakeholder terkait agar berjalan dengan baik seperti yang dilakukan Danantara yang akan berinvestasi Rp 20 Triliun untuk membangun peternakan ayam di seluruh Indonesia. Hal itu dapat meningkatkan produksi telur dan ayam dalam memenuhi kebutuhan protein hewani di program MBG secara nasional. Dengan Begitu Insya Allah Indonesia tidak akan kekurangan telur dan ayam.
Untuk itu ditunggu peran serta stakeholder terkait lainnya dalam mendukung kesuksesan program Makan Bergizi Gratis.
Senin, 03 November 2025
KINERJA KEMENTERIAN HAJI DAN UMROH
SEBUAH EVALUASI AWAL
Pertanyaannya, apakah perubahan struktural ini sudah membawa perbaikan nyata dalam praktiknya?
Dari indikator yang tersedia, jawabannya akan ada kemajuan, namun jauh dari sempurna.
Berikut ulasannya.
Soal Antrean Panjang
Salah satu persoalan kronis yang terus dikeluhkan jamaah haji Indonesia adalah lamanya masa tunggu antrean untuk berangkat. Menurut data publik, beberapa daerah masih mencatat masa tunggu hingga 40 tahun.
Dalam kerangka Kemenhaj, terdapat rencana pembaruan sistem antrean. Masa tunggu haji yang selama ini bisa mencapai 40 tahun akan dipangkas. Ada rencana, antrean di seluruh provinsi disamaratakan menjadi rata-rata 26 tahun.
Hal itu merupakan langkah yang signifikan secara simbolik. Dan untuk pertama kali sistem antrean dibahas dengan target “pemerataan” lantaran selama ini disparitas antara satu daerah dengan daerah lain sangat besar.
Namun, apakah kebijakan tersebut akan
berlaku penuh dalam satu musim atau selamanya. Selain itu, ketika kebijakan berubah (misal
pemerataan antrean), penting diperhatikan agar jamaah yang sudah mendaftar lama
tidak dirugikan.
Biaya Haji Masih Jadi Tantangan Besar
Biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) selalu menjadi sorotan. Karena bagi banyak calon jamaah di Indonesia merasakan biaya ini cukup memberatkan.
Untuk musim haji reguler 2025,
pemerintah menetapkan BPIH sebesar ± Rp 89,41 juta per jamaah. Dari angka tersebut, bagian yang dibayar
langsung oleh jamaah (Biaya Perjalanan Ibadah Haji – Bipih) adalah ± Rp 55,43 juta, sedangkan sisanya ± Rp
33,98 juta berasal dari nilai manfaat dana haji.
Untuk BPIH 2026, pemerintah mengusulkan rata-rata Rp 88,409,365.45 (turun sekitar Rp 1 juta dibanding tahun sebelumnya). Dari angka tersebut, jamaah dibebankan rata-rata Rp 54,924,000.
Memang terdapat penurunan biaya haji untuk 2026 dibanding sebelumnya. Namun, walaupun angka biaya sedikit turun, besaran biaya masih sangat besar bagi banyak calon jamaah. Juga, penurunan hanya sedikit (± Rp 1 juta dari total Rp 89 juta). Dengan demikian, meskipun ada perbaikan, tingkat beban biaya tetap sangat signifikan dan masih menjadi tantangan besar.
Layanan Publik dan Program Inisiasi Baru
Perbaikan layanan haji dan umrah
sudah mulai disebut: “pemerintah memperbaiki sistem antrean dan kualitas
pelayanan haji Indonesia agar bisa menjadi percontohan dunia.” Program seperti
pusat layanan terpadu haji dan umrah (PLHUT) mulai muncul di daerah-daerah
untuk memperkuat layanan.
Sementara Dari aspek regulasi pembentukan Kementerian Haji sendiri membuka kesempatan untuk fokus lebih besar terhadap urusan haji dan umrah. Kementerian ini diharapkan tidak hanya mengorkestrasi sejumlah lembaga atau institusi terkait pelayanan haji dan umroh, tetapi menjadi garda tedepan dalam pemberian layanan publik terbaik kepada jamaah.
Inisiatif tersebut jelas merupakan langkah positif antara lain dengan memberikan perhatian khusus kepada layanan, data, pemerataan antrean, dan kapasitas daerah. Namun, karena masih tahap awal, belum semua program bisa dinilai “berhasil” secara menyeluruh. Implementasi tetap menghadapi tantangan: kapasitas daerah, pendanaan, koordinasi antara pusat-daerah, dan regulasi yang harus diperkuat.
Pembentukan Kementerian Haji dan Umroh adalah langkah strategis yang tepat dan menunjukkan komitmen negara untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Indikator-indIkator awal menunjukkan adanya perbaikan: sistem antrean yang disamaratakan, sedikit penurunan biaya, layanan publik mulai diperkuat.
Namun, reformasi sejati baru akan terlihat jika perubahan itu terasa secara nyata oleh jutaan calon jamaah haji dalam bentuk antrean yang lebih pendek, biaya yang lebih terjangkau, dan layanan yang lebih mulus dan profesional.
Sejauh ini ada harapan, ada
kemajuan, tetapi masih banyak pekerjaan rumah. Jika Kemenhaj mampu
menjaga konsistensi dan memperkuat implementasi, maka transformasi ini tidak
hanya akan menjadi perubahan struktur tetapi perubahan substansial yang
dirasakan oleh umat.
Jumat, 31 Oktober 2025
HAJI, LAYANAN YANG TAK KUNJUNG SUCI
Tuntutan Terhadap Kementerian Haji dan Umroh
Setiap musim haji, jutaan umat Islam menunaikan perjalanan spiritual yang menjadi puncak pengabdian kepada Tuhan. Namun di tanah air, di balik kemegahan ritual perjalanan haji, tersimpan kisah panjang tentang pelayanan publik yang belum sepenuhnya suci: antrean panjang yang seolah tak berujung, birokrasi berbelit yakni belum one stop service dan digitalisasi, serta layanan yang kerap jauh dari layak.
Hampir tiga dekade pasca reformasi, problem itu bertahan dalam pola yang sama—tata kelola yang rapuh, koordinasi antarlembaga yang lemah, dan tanggung jawab yang kabur. Layanan haji di negeri dengan populasi Muslim terbesar dunia ini justru sering mencerminkan wajah birokrasi yang lamban dan terfragmentasi.
Kini, pemerintah membentuk Kementerian Haji dan Umroh. Sebuah langkah besar yang menimbulkan harapan baru: hadirnya lembaga khusus yang fokus memperbaiki tata kelola, meningkatkan transparansi, dan menempatkan kepentingan jemaah sebagai prioritas utama. Namun, sebagaimana ibadah haji itu sendiri, setiap niat baik menuntut bukti nyata.
Masalah yang Tak
Pernah Usai
Antrean keberangkatan haji di sejumlah provinsi kini menembus dua hingga tiga dekade. Sistem pendaftaran melalui Siskohat belum sepenuhnya transparan dan sering kali tidak sinkron antara data pusat dan daerah. Salah satu dampaknya, banyak calon jemaah, terutama lansia, yang meninggal sebelum sempat berangkat.
Di sisi lain, kualitas layanan di Tanah Suci juga masih timpang. Jemaah sering mengeluhkan hotel yang jauh, konsumsi yang tidak sesuai selera, atau transportasi yang tidak teratur. Padahal sebagian besar jemaah Indonesia berusia lanjut dan membutuhkan perhatian khusus.
Akar persoalan terletak pada fragmentasi
kelembagaan. Terlalu banyak institusi terlibat: Kementerian Agama, BPKH,
biro perjalanan, maskapai, hingga otoritas Arab Saudi. Namun, tak ada satu pun
lembaga yang memegang kendali utuh atas keseluruhan rantai pelayanan. Dalam
situasi demikian, tanggung jawab menjadi kabur. Bila pesawat tertunda, siapa
yang harus dimintai pertanggungjawaban? Bila hotel tidak sesuai kontrak, siapa
yang harus menindak?
Momentum Reformasi
Kehadiran Kementerian Haji dan Umroh harus dimaknai bukan sekadar pemekaran kelembagaan, melainkan momentum reformasi total. Ada tiga agenda strategis yang perlu segera diwujudkan.
Pertama, digitalisasi penuh layanan haji dan umroh. Setiap calon jemaah harus dapat memantau antrean, status administrasi, hingga jadwal keberangkatan secara daring dan real-time. Sistem ini akan memangkas praktik percaloan dan meningkatkan akuntabilitas.
Kedua, standarisasi dan akreditasi penyelenggara ibadah. Setiap biro perjalanan dan penyedia layanan harus memenuhi standar mutu yang ketat. Kontrak kerja sama dengan pihak luar negeri perlu disertai service level agreement yang jelas, mencakup jarak hotel, menu konsumsi, dan sarana transportasi.
Ketiga, kehadiran negara di Tanah Suci. KemenHaj-Umroh perlu memiliki kantor perwakilan tetap di Makkah dan Madinah untuk mengawasi langsung vendor hotel, katering, dan transportasi. Jangan lagi nasib jutaan jemaah diserahkan sepenuhnya pada pihak ketiga tanpa pengawasan langsung.
Belajar dari Negara Lain
Malaysia telah lama membuktikan bahwa tata kelola haji bisa profesional tanpa kehilangan nilai religiusnya. Melalui Lembaga Tabung Haji, Malaysia menyatukan sistem tabungan, antrean, dan keberangkatan dalam satu ekosistem yang efisien dan transparan. Setiap calon jemaah mengetahui estimasi keberangkatannya sejak dini, dan pelayanan di Tanah Suci dikawal langsung oleh petugas pemerintah.
Turki juga menjadi contoh menarik. Presidensi Urusan Agama (Diyanet) mengelola seluruh proses haji dan umroh dengan disiplin tinggi. Sebelum berangkat, jemaah mengikuti pelatihan manasik simulatif di dalam negeri. Di Makkah, mereka mendapat layanan seragam dan terjamin mutunya.
Kedua negara itu membuktikan: dengan tata kelola yang bersih dan profesional, pelayanan haji bisa menjadi simbol kemajuan bangsa, bukan sekadar kegiatan ritual.
Reformasi yang Tak Bisa Ditunda
Kementerian baru ini harus berani menempuh langkah konkret. Audit menyeluruh terhadap sistem lama mutlak dilakukan—termasuk evaluasi kontrak dengan maskapai, hotel, dan penyedia layanan. Integrasi data nasional antarbank, BPKH, dan embarkasi harus segera diwujudkan agar calon jemaah tak lagi menjadi korban kekacauan administrasi.
Selain itu, sistem umpan balik digital perlu diterapkan agar pengalaman dan keluhan jemaah menjadi dasar perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Layanan haji seharusnya tidak lagi bergantung pada laporan formal petugas, tetapi dinilai langsung oleh pengguna: jemaah itu sendiri.
Penutup
Haji bukan sekadar rukun Islam kelima, melainkan cermin manajemen publik suatu bangsa. Bagaimana sebuah negara melayani warganya dalam perjalanan spiritual terbesar dalam hidup mereka menunjukkan sejauh mana birokrasi itu memahami makna pelayanan.
Kementerian Haji dan Umroh adalah peluang besar
untuk menebus kesalahan masa lalu—selama ia benar-benar bekerja dengan semangat
pelayanan, bukan kekuasaan. Kesucian haji tidak hanya diukur dari niat ibadah
jemaah, tetapi juga dari kemurnian niat pemerintah dalam melayani mereka.
Kamis, 30 Oktober 2025
PRABOWO: POLRI HARUS JADI POLISI RAKYAT
Senin, 27 Oktober 2025
PRESIDEN PRABOWO: APARAT PENEGAK HUKUM JANGAN KRIMINALISASI RAKYAT KECIL
Menurutnya, aparat penegak hukum seharusnya menempatkan keadilan dan rasa kemanusiaan di atas formalitas hukum. Ia menegaskan bahwa rakyat kecil seharusnya dibantu dan dibela, bukan dijadikan target penegakan hukum. “Saya ingatkan terus jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada, untuk motivasi apa pun. Kejaksaan juga termasuk lembaga yang harus koreksi diri,” ujar Prabowo.
Prabowo mengungkap telah menerima laporan mengenai sejumlah praktik menyimpang oleh jaksa di daerah, termasuk tindakan hukum yang dinilai tidak proporsional terhadap warga kecil. Kata presiden,” Saya ingat benar, ada anak SD ditangkap karena mencuri ayam. Anak di bawah umur! Ini tidak masuk akal. Ada juga ibu-ibu ditangkap karena mencuri pohon. Ada apa ini?”
Option for the Poor
Pernyataan Prabowo yang membela orang kecil sesuai dengan konsep ”Option for the Poor” yang dikembangkan oleh teolog-teolog Katolik Amerika Latin pada 1960-an dan 1970-an. Konsep ini menekankan pentingnya memilih dan memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan lemah dalam masyarakat.
Tokoh dalam konsep tersebut adalah Gustavo Gutiérrez, Leonardo Boff, dan Jon Sobrino, yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki preferensi khusus bagi kaum miskin dan lemah. Oleh karena itu, gereja dan masyarakat harus memilih untuk berpihak pada mereka dan memperjuangkan keadilan sosial.
Option for the Poor menurut teori keadilan John Rawls, filsuf Amerika dalam bukunya "A Theory of Justice" (1971) adalah masyarakat yang adil seharusnya diorganisir dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan. Rawls menekankan pentingnya keadilan distributif dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat lemah. Ia berpendapat bahwa keadilan sosial harus berpihak pada mereka yang paling rentan.
Dalam ajaran Islam konsep Option for the Poor dapat dipahami sebagai upaya untuk memprioritaskan kebutuhan dan martabat kaum miskin dan lemah, serta memberikan hak-hak mereka. Banyak ayat dalam Aquran yang membahas tentang konsep tersebut seperti Surah Al-Baqarah ayat 177, Surah An-Nisa ayat 36 dan Surah Al-Ma'un ayat 1-3.
Beberapa konsep yang relevan dalam Islam adalah:
- Zakat: kewajiban memberikan sebagian harta kepada orang miskin dan lemah.
- Sedekah: pemberian sukarela kepada orang miskin
dan lemah.
- Keadilan sosial: Islam menekankan pentingnya keadilan
sosial dan kesetaraan bagi semua orang.
- Rahmah: Islam menekankan pentingnya memiliki kasih sayang dan empati terhadap orang miskin dan lemah.
Konsep Option for the Poor menekankan pentingnya memilih dan memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan lemah, serta berbicara tentang keadilan yang berpihak pada rakyat kecil. Bukan kriminalisasi rakyat kecil, apalagi mencari-cari kesalahan mereka. Jika amanah itu dijalankan para aparat penegak hukum dan melihat sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, Insya Allah Indonesia akan menjadi negeri yang Baldatun Toyyibatun Warabbun Gofuur.
Senin, 13 Oktober 2025
RE-BRANDING POLRI
Padahal beberapa waktu sebelumnya Presiden Prabowo Subianto menunjuk Jenderal (Hor) Ahmad Dofiri, sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta Reformasi Kepolisian. Presiden Prabowo diperkirakan akan membentuk Komite Kepolisian yang menurut Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan tugas komite adalah melakukan pengkajian ulang terhadap tugas, wewenang, kedudukan, dan ruang lingkup Polri.
Pembentukan Komite kepolisian dan penunjukkan Jenderal (Hor) Ahmad Dofiri, sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta Reformasi Kepolisian, jabatan baru dalam struktur organisasi kepresidenan cukup menjadi bukti perlunya reformasi di tubuh Polri. Polri sebagai sebuah institusi atau brand menurut David A. Aaker dalam Building Strong Brand (1996) perlu diaudit merek. Audit merek atau institusi bertujuan untuk menilai kekuatan dan kelemahan merek atau portofolio merek.
Berbagai kasus yang menimpa Polri selama ini telah membuat citra Polri menurun di mata masyarakat sebagai pengguna jasanya. Menurut Aaker dalam Managing Brand Equity (1991) peranan merek atau dalam hal ini institusi Polri telah mengalami pergeseran. Merek bukan sekedar nama, tetapi adalah janji kepada penggunanya untuk memberikan layanan yang terbaik secara konsisten.
Polri perlu di-rebranding. Branding merupakan keseluruhan proses dalam memilih unsur, nilai, serta janji apa yag dimiliki oleh suatu entitas. Di dalam strategi branding terdapat proses audit merek yang merupakan salah satu bagian dari langkah strategis proses manajemen merek. Kekuatan dan kelemahan merek diaudit secara berkala.
Hasil audit merek tersebut dapat berupa nama baru Polri atau new brand dengan perbaikan sejumlah kelemahan dan peningkatan pelayanan. Nama baru itu misalnya State Troopers, Sheriffs seperti nama petugas keamanan di negara bagian Amerika Serikat atau nama lain yang membawa muatan lokal. Selanjutnya nama itu perlu dipromosikan sebagai komitmen serius menuju akuntabilitas dan profesionalisme institusi dan petugas di dalammya.
Polri adalah aset negara. Jangan sampai karena tindakan oknum di dalamnya, aset tersebut menjadi rusak. Pepatah lama mengatakan, tidak harus membakar lumbung untuk membasmi tikus di dalamnya adalah sangat bijak.
Pa Presidenku. Indonesia masih butuh Polri. Jangan hapus institusi ini. Tetap jaya polisi Indonesia.
Selasa, 07 Oktober 2025
LOBBYING POLITIK JOKOWI KEPADA PRESIDEN PRABOWO
Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Joko Widodo, berlangsung selama dua jam, dan membahas banyak hal. "Yang pertama kan memang silaturahmi di antara dua pemimpin, presiden ke-7 dan presiden ke-8. Kalau Bapak Prabowo berkesempatan ke Jawa Tengah, beliau yang sowan atau mampir. Kebetulan Pak Presiden ketujuh Pak Jokowi ada di Jakarta. Ya sudah. Janjian ketemu waktunya makan siang," kata Prasetyo kepada media.
Apakah kedatangan Jokowi kepada Presiden Prabowo sekadar untuk makan siang, tanpa ada maksud lain. Tentu saja tidak. Menurut Lionel Zetter dalam bukunya "Lobbying: The Art of Political Persuasion" (2008), tujuan dari lobbying terhadap kepala negara atau pemerintah adalah untuk mempengaruhi kebijakan publik dan keputusan politik yang menguntungkan kepentingan tertentu. Lobbying dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk organisasi bisnis, kelompok kepentingan, dan individu.
Namun apakah kepala negara mau menuruti permintaan pelobi. Jawabannya tentu tidak harus. Tawaran pelobi dapat dikabulkan jika sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara. Jika tidak, tawaran tersebut dapat diabaikan.
Praktek Lobbying sudah ada sejak zaman dahulu. Di setiap zaman ketika ada orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dan dengan kekuasaannya mereka mengatur kehidupan orang banyak, maka ada saja kelompok orang yang berusaha mempengaruhi kelompok-kelompok yang berkuasa tersebut untuk melakukan kebijakan sesuai dengan cara-cara yang dikehendaki oleh kelompok yang melobby. Sejak dulu praktek Lobby itu sangat dekat dengan kekuasaan.
LOBBYING DI NEGARA DEMOKRASI
Kegiatan lobby memang tidak dapat dipisahkan dari sistem politik demokrasi yang berkembang di Amerika Serikat. Pada abad ke 19 kegiatan lobby telah berkembang sedemikian rupa yang menjadi landasan perkembangan kelompok-kelompok lobby yang dikenal di Amerika Serikat dewasa ini. Para Senator di Senat dan anggota di House of Representatives di Washington DC tidak hanya dijamu oleh kelompok-kelompok lobby, akan tetapi juga mereka memperoleh briefing dan counter briefing dari berbagai kelompok lobby yang pro dan kontra terhadap suatu kebijakan.
Perkembangan tehnologi seperti telegraph dan kemudian radio dan televisi semakin mendorong perkembangan kegiatan lobby. Melalui teknologi telegraph, radio dan televisi kelompok lobby dapat melakukan komunikasi dengan masyarakat tanpa harus dibatasi oleh jarak dan waktu, khususnya dalam melaksanakan kegiatan kampanye berkaitan dengan kebijakan yang sedang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok lobby tersebut.
Di Amerika Serikat upaya untuk membuat regulasi yang mengatur cara-cara kerja kelompok kelompok lobby ini dimulai pada tahun 1928. Pada tahun tersebut Senat berusaha Menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang yang berusaha mewajibkan kelompok kelompok lobby untuk mendaftarkan diri mereka ke kantor Sekretaris Jenderal Senat dan House of Representatives. Namun, Rancangan Undang-Undang yang diusulkan oleh Senat tersebut ditolak oleh House of Representatives hingga baru pada tahun 1946 kongres Amerika Serikat yaitu Senate dan House of Representative mengesahkan Federal Regulation Lobbying Act.
Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap pribadi atau organisasi yang berusaha mempengaruhi kongres Amerika Serikat secara langsung atau tidak langsung, pengesahan atau penolakan Rancangan Undang-Undang oleh kongres Amerika Serikat untuk mendaftarkan diri dengan rinci (termasuk gaji dan biaya-biaya lainnya) kepada pejabat Senate dan House of Representatives.
Di zaman Romawi kuno , gedung senat sering kali dikunjungi oleh banyak orang yang berusaha agar para senator yang menjadi anggota senat punya kebijakan yang dekat dengan kepentingan dari orang-orang yang melobby itu. Praktek lobbying dilakukan di gedung tersebut oleh para pelobby.
Contoh yang paling besar dan paling sukses adalah piagam Magna Carta yang ditanda tangani oleh Raja Inggris King John. Piagam Magna Carta sampai sekarang dianggap sebagai dasar yang membangun demokrasi di Negara-negara maju dan kemudian berdampak ke Negara berkembang seperti Indonesia. Piagam Magna Carta adalah contoh paling kongkrit bagaimana para bangsawan dan para gereja melobby Raja Inggris agar mengakui hak-hak asasi warga Negara Inggris.
Selasa, 26 Agustus 2025
CARA MEMBANGUN BRAND PROMISE
Brand promise adalah janji produsen, dalam hal ini kepada konsumen tentang manfaat dan layanan yang akan diberikan kepada konsumen. Janji tersebut harus didukung dengan support, yakni fakta-fakta yang membuat brand promise “believable” di mata konsumen. Semakin sering sebuah brand dapat memenuhi janji tersebut, semakin kuat nilai merek (brand value) di benak konsumen. Dengan kata lain, “Sebuah merek adalah janji," kata penulis dan ahli branding, Nick Westergaard. "Pada intinya, janji merek harus mendefinisikan seluruh bisnis dan harus menyentuh setiap aspek dari perusahaan."
Berikut Cara Membangun Brand Promise yang Efektif
1. Simple
Brand promise harus simpel, dengan kalimat yang singkat dan
tidak bertele-tele. Janji merek yang efektif mengkombinasikan tagline yang
catchy dengan esensi misi perusahaan.
2. Credible
Jika pengalaman pelanggan tidak sesuai dengan janji merek, nilai merek
menjadi lemah. Contoh janji merek yang tidak sesuai dengan harapan berasal dari
Ford Motor Company. Selama tahun 1980-an, janji merek Ford adalah
"Kualitas adalah Pekerjaan no. 1." Namun, pemilik kendaraan Ford
tidak terkesan karena mereka secara rutin membelanjakan uang untuk perbaikan. Hal
ini membuat konsumen Ford membuat kepanjangan dari versi mereka sendiri yakni “Ford—Found
On Roadside Broken.”
3. Different
Brand promise harus terdengar berbeda dari yang lain, terutama dari
kompetitor langsung. Perlu dicari apa yang membuat sebuah brand unik dan
berbeda dari kompetitor. Hal ini haruslah sesuatu yang melampaui fitur dan
manfaat dari produk yang ditawarkan oleh brand bahkan bisa berupa sesuatu yang
berasal dari hati dan merupakan jiwa dari perusahaan.
4. Memorable
Janji merek harus memengaruhi setiap keputusan yang dibuat oleh perusahaan.
Janji merek mungkin tidak semenarik slogan atau tagline, janji itu harus cukup
berkesan bagi karyawan untuk menerimanya dan menggunakannya selama berinteraksi
dengan pelanggan. Janji merek juga seharusnya memorable dan mudah
diingat oleh konsumen, sehingga memudahkan recall dari konsumen saat
mereka membutuhkan produk yang diinginkan.
5. Inspiring
Konsumen secara umum, akan bertindak ketika mereka merasakan hubungan
emosional dengan seseorang, produk, atau perusahaan. Brand promise yang
efektif membantu membangun hubungan itu dengan cara menginspirasi. Pada saat
yang sama, jangan menjanjikan apa yang tidak dapat Anda berikan. Janji merek
dimaksudkan untuk menginspirasi, tetapi brand harus bersikap realistis. Contoh bagus dari janji merek yang
menginspirasi adalah "Think Different" Apple.
Brand Adalah Janji
Apakah yang dibeli konsumen ?
Yang dibeli adalah manfaat produk, lebih dari barang secara fisiknya saja. Manfaat atau benefit bagi konsumen ini dikenal dengan Customer Value. Terminologi value sering membingungkan karena sering rancu dengan kata Values yang artinya sangat berbeda.
Customer
Value adalah benefit yang diperoleh konsumen
setelah mengeluarkan sejumlah uang (cost) untuk membeli barang. Dalam mengkonsumsi produk,
yang dirasakan oleh konsumen adalah manfaatnya, benefitnya. Itulah Customer
Value.
Sedangkan Values, lebih mengarah kepada norma atau
hal-hal yang diyakini oleh seseorang dalam hidupnya. Values adalah
“What you belief most in life”.
Customer
Value = Perceived Benefit – Perceived Cost
Perceived Cost yaitu
tingkat persepsi terhadap harga yang dibayarkan untuk mendapatkan produk atau
jasa. Ini merupakan bagian dari faktor-faktor terpenting yang menjadi ukuran
bagi konsumen terhadap tingkat manfaat sebuah produk. Berikut penjelasannya:
a. Perceived Cost rendah tetapi Perceived Benefit lebih maka konsumen senang contohnya adalah penerbangan murah atau LCC.
b. Perceived Cost tinggi tetapi Perceived Benefit rendah maka konsumen mengeluh contohnya adalah BBM atau Produk non-subsidi yang dioplos. Tindakan mengoplos bukan hanya dikeluhkan konsumen tetapi merupakan tindak pidana.
c. Value for money mengisyaratkan Perceived Benefit yang sepadan dengan Perceived Cost. Contohnya adalah produk bermerek yang dijual sesuai dengan kualitasnys. Sebut saja misalnya sepatu merek Adidas, Nike atau NB.
Karena itu dalam hidup atau berbisnis, Janji harus ditepati. (Atajudin Nur)










