Rabu, 16 Februari 2011

Meramu Jazz Sebagai Hiburan dan Bisnis



Kisah Sukses Nazar Noe'man, Chairman Radio KLCBS Bandung



Bagi pengemar sejatinya, jazz memang musik untuk segala usia dan golongan. Jazz bagi mereka bukan musiknya kaum elite dan mapan sebagaimana anggapan banyak orang selama ini.

Tradisi jazz berkembang dari gaya hidup masyarakat kulit hitam di Amerika yang tertindas. Tribal drums, musik gospel, blues, serta teriakan peladang mewarnai musik ini. Proses kelahirannya memperlihatkan bahwa musik jazz berhubungan erat dengan pertahanan hidup dan ekspresi kehidupan.

Nazar Noe’man adalah penggemar jazz. Sejak kecil, anak kedua dari empat bersaudara ini sudah dikenalkan musik jazz dan klasik oleh ayahnya Achmad Noe’man, arsitek terkenal yang merancang Masjid Salman ITB Bandung dan masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sejak kecil telinganya sudah akrab dengan permainan legenda jazz seperti Miles Davis dan Jhon Coltrane.

Bagi Nazar Noe’man, musik jazz bukan sekadar hiburan. Jazz adalah napasnya. Pria yang memiliki nama lengkap Nazar Achnuldy Taufiqurrachim Noe’man ini adalah pemilik radio KLCBS Bandung, yang mengusung musik jazz sebagai jualan utama. Baginya musik jazz tidak sekadar menghibur dan mencerahkan tetapi juga bisa menjual.

Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan Nazar kepada audience KLCBS ketika penulis mewawancarainya beberapa waktu lalu. KLCBS sendiri menjadi radio jazz berwibawa untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Radio ini tidak hanya menyajikan musik tetapi menjadi referensi bagi penikmat jazz.

Perjalanan Panjang KLCBS
KLCBS yang lahir tahun 1982 adalah singkatan dari Karang Layung Citra Budaya Suara. Nama itu sesuai dengan alamat radio ini yang berlokasi di Jl Karang layung 10, Sukajadi Bandung Utara. Studio ini berdampingan dengan rumah Nazar yang berada di sebelahnya.

Nazar berhasil membangun KLCBS lewat racikan musiknya yang digemari beragam usia dan kalangan. Ia yang paham tentang jazz dibantu istri dan anak pertamanya Khirzan Noe’man dalam meramu musik tersebut.

Kesungguhannya meramu musik itulah yang membuat KLCBS selalu dikenang pendengar. Beberapa mantan pelajar dan mahasiswa Bandung merasa kehilangan musik ini ketika harus meninggalkan kota tersebut. Mereka yang bertestimoni di blog KLCBS mengaku, setelah meninggalkan Bandung tidak bisa lagi mendapatkan musik jazz seapik yang disiarkan KLCBS.

Namun belakangan kerinduan mereka terobati. Bukan karena mendengar musik jazz dari stasiun radio lain, tetapi berkat siaran KLCBS yang bisa diakses melalui internet. Teknologi berhasil mendekatkan para penggemar jazz dengan KLCBS. ”Saya senang, KLCBS sudah ada online streamingnya. Ini cukup membantu kerinduan para pendengarnya yang kebetulan punya koneksi internet yang berada jauh dari jangkauan radio,” papar salah seorang penggemar KLCBS.

Dalam menggodok siaran, Nazar memegang teguh cita rasa jazz. Ia meracik musik berdasarkan apresiasi KLCBS dan musikalitas musisi. Dia juga mem¬pertimbangkan aspek pemasar¬an agar radio itu sukses menda¬patkan iklan.

Keterlibatan Nazar dengan radio melalui sejarah yang panjang. Kecintaannya kepada radio dimulai sejak umur 10 tahun. Sejak kecil Nazar suka mengutak-atik masalah keradioan.

Pria yang lahir 19 Februari 1960 ini tinggal dekat kampus ITB di Jalan Ganesha, tempat mangkal mahasiwa teknik elektro yang membuat pemancar radio. Di depan studio radio, Nazar kerap berlama-lama nongkrong hingga ia sering diperingatkan untuk hati-hati agar tidak kesetrum.

Dari hobi dan pengalaman itu, Nazar mencoba membuat pemancar. Mulanya hanya pe-mancar liar, namun akhirnya mendapat izin frekuensi FM 100,55. Pada 1982 ketika KLCBS res¬mi mengudara, secara berani ia memproklamirkan radionya sebagai “The Jazz Wave” atau gelombang jazz. Kemudian, KLCBS menggunakan gelombang FM 100,4.

Selain misi komersial, radionya juga memiliki tanggung jawab memberi informasi yang menarik dan mencerdaskan. Na¬zar juga memasukkan unsur pencerahan lewat siraman rohani singkat yang disiarkan setiap jam, tepat pada pergantian waktu. Dengan KLCBS, ia ingin mengajak pemirsa untuk bersyukur dan merenungi makna hidup.

Ajakan itu berdasarkan pengalaman hidup Nazar yang sukses berkat rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Ketika duduk di kelas II SMA, Nazar terkena glu¬koma hingga mengakibatkan gangguan penglihatan. Berbagai upaya pengobatan telah ditempuh, termasuk ber¬obat ke Belanda, tetapi kurang membantu.

Sejak itu Nazar terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah se¬perti kakak dan adik-adiknya yang menempuh pendidikan di luar negeri. Namun berkat saran ayahnya, ia berhasil memanfaatkan kelebihan pendengarannya dan hobinya terhadap musik jazz dengan mendirikan KLCBS. Lewat radio itu, ia berhasil menjalani hidup dengan penuh makna.


Atajudin Nur

2 komentar: