MAMPUKAH MENGURAI BENANG KUSUT?
Pemerintah resmi membentuk Komisi Reformasi Polri dengan mandat besar: memperbaiki kultur, profesionalisme, dan akuntabilitas institusi kepolisian. Komisi diisi oleh orang-orang kepolisian, mulai dari pensiunan polisi hingga Kapolri, serta diisi juga oleh para pakar hukum, seperi hukum pidana hingga hukum tata negara.
Presiden meminta komisi “secepatnya” melakukan kerja dan minimal sudah ada laporan awal dalam waktu tiga bulan ke depan setelah pembentukan. Presiden juga menegaskan bahwa komisi tidak memiliki batas waktu resmi untuk selesainya seluruh tugas. Artinya tugasnya bisa berlangsung lebih lama tergantung kebutuhan.
Langkah itu disambut optimistis oleh publik, namun juga diiringi keraguan yang tak kecil. Banyak kalangan menilai, reformasi Polri bukan hanya soal membentuk komisi, tapi bagaimana memastikan komisi itu punya taring dan kemauan politik di belakangnya.
Sejak reformasi 1998, berbagai upaya pembenahan kepolisian sudah berkali dilakukan. Mulai dari pemisahan Polri dari TNI, pembentukan Kompolnas, hingga dorongan transparansi dalam penegakan hukum. Namun, catatan publik menunjukkan bahwa persoalan mendasar — seperti budaya kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, dan ketimpangan penegakan hukum — belum sepenuhnya terselesaikan.
Komisi baru ini diharapkan menjadi terobosan. Dengan komposisi dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil, lembaga ini diharapkan dapat bekerja independen dan menghasilkan rekomendasi konkret. Tapi tantangannya besar: apakah rekomendasi itu akan benar-benar dijalankan, atau hanya menjadi laporan indah di atas kertas seperti pendahulunya?
Kunci keberhasilan komisi ini terletak pada dua hal utama: kemauan politik Presiden dan keterbukaan internal Polri. Tanpa dukungan kuat dari pucuk eksekutif, komisi hanya akan menjadi forum diskusi tanpa daya paksa. Sementara tanpa transparansi dari Polri sendiri, akses terhadap data dan fakta lapangan akan tertutup rapat.
Momentum Strategis
Beberapa pengamat menilai, momentum kali ini sebenarnya cukup strategis. Publik sudah jenuh dengan kasus-kasus pelanggaran etik dan kriminal di tubuh kepolisian. Dukungan masyarakat terhadap reformasi terbuka lebar. Namun, di sisi lain, resistensi dari internal juga bisa muncul — terutama bila reformasi menyentuh aspek-aspek sensitif seperti rekrutmen, promosi jabatan, dan pola penegakan hukum.
Prediksi realistisnya, dalam jangka pendek komisi ini akan lebih banyak berperan sebagai “pemicu wacana publik” ketimbang pengubah sistem langsung. Tapi jika dikelola dengan independen dan transparan, hasil kerjanya bisa menjadi dasar politik hukum yang lebih kuat di masa depan — terutama bagi pemerintah berikutnya yang mungkin melanjutkan agenda reformasi institusi penegak hukum.
Pada akhirnya, publik hanya menunggu satu hal: hasil nyata. Komisi Reformasi Polri akan dinilai bukan dari jumlah rapat atau rekomendasi yang diterbitkan, tapi dari seberapa besar perubahan perilaku aparat di lapangan. Sebab kepercayaan publik yang sempat retak, hanya bisa dipulihkan oleh tindakan nyata, bukan janji dan jargon.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar