Tuntutan Terhadap Kementerian Haji dan Umroh
Setiap musim haji, jutaan umat Islam menunaikan perjalanan spiritual yang menjadi puncak pengabdian kepada Tuhan. Namun di tanah air, di balik kemegahan ritual perjalanan haji, tersimpan kisah panjang tentang pelayanan publik yang belum sepenuhnya suci: antrean panjang yang seolah tak berujung, birokrasi berbelit yakni belum one stop service dan digitalisasi, serta layanan yang kerap jauh dari layak.
Hampir tiga dekade pasca reformasi, problem itu bertahan dalam pola yang sama—tata kelola yang rapuh, koordinasi antarlembaga yang lemah, dan tanggung jawab yang kabur. Layanan haji di negeri dengan populasi Muslim terbesar dunia ini justru sering mencerminkan wajah birokrasi yang lamban dan terfragmentasi.
Kini, pemerintah membentuk Kementerian Haji dan Umroh. Sebuah langkah besar yang menimbulkan harapan baru: hadirnya lembaga khusus yang fokus memperbaiki tata kelola, meningkatkan transparansi, dan menempatkan kepentingan jemaah sebagai prioritas utama. Namun, sebagaimana ibadah haji itu sendiri, setiap niat baik menuntut bukti nyata.
Masalah yang Tak
Pernah Usai
Antrean keberangkatan haji di sejumlah provinsi kini menembus dua hingga tiga dekade. Sistem pendaftaran melalui Siskohat belum sepenuhnya transparan dan sering kali tidak sinkron antara data pusat dan daerah. Salah satu dampaknya, banyak calon jemaah, terutama lansia, yang meninggal sebelum sempat berangkat.
Di sisi lain, kualitas layanan di Tanah Suci juga masih timpang. Jemaah sering mengeluhkan hotel yang jauh, konsumsi yang tidak sesuai selera, atau transportasi yang tidak teratur. Padahal sebagian besar jemaah Indonesia berusia lanjut dan membutuhkan perhatian khusus.
Akar persoalan terletak pada fragmentasi
kelembagaan. Terlalu banyak institusi terlibat: Kementerian Agama, BPKH,
biro perjalanan, maskapai, hingga otoritas Arab Saudi. Namun, tak ada satu pun
lembaga yang memegang kendali utuh atas keseluruhan rantai pelayanan. Dalam
situasi demikian, tanggung jawab menjadi kabur. Bila pesawat tertunda, siapa
yang harus dimintai pertanggungjawaban? Bila hotel tidak sesuai kontrak, siapa
yang harus menindak?
Momentum Reformasi
Kehadiran Kementerian Haji dan Umroh harus dimaknai bukan sekadar pemekaran kelembagaan, melainkan momentum reformasi total. Ada tiga agenda strategis yang perlu segera diwujudkan.
Pertama, digitalisasi penuh layanan haji dan umroh. Setiap calon jemaah harus dapat memantau antrean, status administrasi, hingga jadwal keberangkatan secara daring dan real-time. Sistem ini akan memangkas praktik percaloan dan meningkatkan akuntabilitas.
Kedua, standarisasi dan akreditasi penyelenggara ibadah. Setiap biro perjalanan dan penyedia layanan harus memenuhi standar mutu yang ketat. Kontrak kerja sama dengan pihak luar negeri perlu disertai service level agreement yang jelas, mencakup jarak hotel, menu konsumsi, dan sarana transportasi.
Ketiga, kehadiran negara di Tanah Suci. KemenHaj-Umroh perlu memiliki kantor perwakilan tetap di Makkah dan Madinah untuk mengawasi langsung vendor hotel, katering, dan transportasi. Jangan lagi nasib jutaan jemaah diserahkan sepenuhnya pada pihak ketiga tanpa pengawasan langsung.
Belajar dari Negara Lain
Malaysia telah lama membuktikan bahwa tata kelola haji bisa profesional tanpa kehilangan nilai religiusnya. Melalui Lembaga Tabung Haji, Malaysia menyatukan sistem tabungan, antrean, dan keberangkatan dalam satu ekosistem yang efisien dan transparan. Setiap calon jemaah mengetahui estimasi keberangkatannya sejak dini, dan pelayanan di Tanah Suci dikawal langsung oleh petugas pemerintah.
Turki juga menjadi contoh menarik. Presidensi Urusan Agama (Diyanet) mengelola seluruh proses haji dan umroh dengan disiplin tinggi. Sebelum berangkat, jemaah mengikuti pelatihan manasik simulatif di dalam negeri. Di Makkah, mereka mendapat layanan seragam dan terjamin mutunya.
Kedua negara itu membuktikan: dengan tata kelola yang bersih dan profesional, pelayanan haji bisa menjadi simbol kemajuan bangsa, bukan sekadar kegiatan ritual.
Reformasi yang Tak Bisa Ditunda
Kementerian baru ini harus berani menempuh langkah konkret. Audit menyeluruh terhadap sistem lama mutlak dilakukan—termasuk evaluasi kontrak dengan maskapai, hotel, dan penyedia layanan. Integrasi data nasional antarbank, BPKH, dan embarkasi harus segera diwujudkan agar calon jemaah tak lagi menjadi korban kekacauan administrasi.
Selain itu, sistem umpan balik digital perlu diterapkan agar pengalaman dan keluhan jemaah menjadi dasar perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Layanan haji seharusnya tidak lagi bergantung pada laporan formal petugas, tetapi dinilai langsung oleh pengguna: jemaah itu sendiri.
Penutup
Haji bukan sekadar rukun Islam kelima, melainkan cermin manajemen publik suatu bangsa. Bagaimana sebuah negara melayani warganya dalam perjalanan spiritual terbesar dalam hidup mereka menunjukkan sejauh mana birokrasi itu memahami makna pelayanan.
Kementerian Haji dan Umroh adalah peluang besar
untuk menebus kesalahan masa lalu—selama ia benar-benar bekerja dengan semangat
pelayanan, bukan kekuasaan. Kesucian haji tidak hanya diukur dari niat ibadah
jemaah, tetapi juga dari kemurnian niat pemerintah dalam melayani mereka.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar