Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Joko Widodo, berlangsung selama dua jam, dan membahas banyak hal. "Yang pertama kan memang silaturahmi di antara dua pemimpin, presiden ke-7 dan presiden ke-8. Kalau Bapak Prabowo berkesempatan ke Jawa Tengah, beliau yang sowan atau mampir. Kebetulan Pak Presiden ketujuh Pak Jokowi ada di Jakarta. Ya sudah. Janjian ketemu waktunya makan siang," kata Prasetyo kepada media.
Apakah kedatangan Jokowi kepada Presiden Prabowo sekadar untuk makan siang, tanpa ada maksud lain. Tentu saja tidak. Menurut Lionel Zetter dalam bukunya "Lobbying: The Art of Political Persuasion" (2008), tujuan dari lobbying terhadap kepala negara atau pemerintah adalah untuk mempengaruhi kebijakan publik dan keputusan politik yang menguntungkan kepentingan tertentu. Lobbying dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk organisasi bisnis, kelompok kepentingan, dan individu.
Namun apakah kepala negara mau menuruti permintaan pelobi. Jawabannya tentu tidak harus. Tawaran pelobi dapat dikabulkan jika sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara. Jika tidak, tawaran tersebut dapat diabaikan.
Praktek Lobbying sudah ada sejak zaman dahulu. Di setiap zaman ketika ada orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dan dengan kekuasaannya mereka mengatur kehidupan orang banyak, maka ada saja kelompok orang yang berusaha mempengaruhi kelompok-kelompok yang berkuasa tersebut untuk melakukan kebijakan sesuai dengan cara-cara yang dikehendaki oleh kelompok yang melobby. Sejak dulu praktek Lobby itu sangat dekat dengan kekuasaan.
LOBBYING DI NEGARA DEMOKRASI
Kegiatan lobby memang tidak dapat dipisahkan dari sistem politik demokrasi yang berkembang di Amerika Serikat. Pada abad ke 19 kegiatan lobby telah berkembang sedemikian rupa yang menjadi landasan perkembangan kelompok-kelompok lobby yang dikenal di Amerika Serikat dewasa ini. Para Senator di Senat dan anggota di House of Representatives di Washington DC tidak hanya dijamu oleh kelompok-kelompok lobby, akan tetapi juga mereka memperoleh briefing dan counter briefing dari berbagai kelompok lobby yang pro dan kontra terhadap suatu kebijakan.
Perkembangan tehnologi seperti telegraph dan kemudian radio dan televisi semakin mendorong perkembangan kegiatan lobby. Melalui teknologi telegraph, radio dan televisi kelompok lobby dapat melakukan komunikasi dengan masyarakat tanpa harus dibatasi oleh jarak dan waktu, khususnya dalam melaksanakan kegiatan kampanye berkaitan dengan kebijakan yang sedang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok lobby tersebut.
Di Amerika Serikat upaya untuk membuat regulasi yang mengatur cara-cara kerja kelompok kelompok lobby ini dimulai pada tahun 1928. Pada tahun tersebut Senat berusaha Menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang yang berusaha mewajibkan kelompok kelompok lobby untuk mendaftarkan diri mereka ke kantor Sekretaris Jenderal Senat dan House of Representatives. Namun, Rancangan Undang-Undang yang diusulkan oleh Senat tersebut ditolak oleh House of Representatives hingga baru pada tahun 1946 kongres Amerika Serikat yaitu Senate dan House of Representative mengesahkan Federal Regulation Lobbying Act.
Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap pribadi atau organisasi yang berusaha mempengaruhi kongres Amerika Serikat secara langsung atau tidak langsung, pengesahan atau penolakan Rancangan Undang-Undang oleh kongres Amerika Serikat untuk mendaftarkan diri dengan rinci (termasuk gaji dan biaya-biaya lainnya) kepada pejabat Senate dan House of Representatives.
Di zaman Romawi kuno , gedung senat sering kali dikunjungi oleh banyak orang yang berusaha agar para senator yang menjadi anggota senat punya kebijakan yang dekat dengan kepentingan dari orang-orang yang melobby itu. Praktek lobbying dilakukan di gedung tersebut oleh para pelobby.
Contoh yang paling besar dan paling sukses adalah piagam Magna Carta yang ditanda tangani oleh Raja Inggris King John. Piagam Magna Carta sampai sekarang dianggap sebagai dasar yang membangun demokrasi di Negara-negara maju dan kemudian berdampak ke Negara berkembang seperti Indonesia. Piagam Magna Carta adalah contoh paling kongkrit bagaimana para bangsawan dan para gereja melobby Raja Inggris agar mengakui hak-hak asasi warga Negara Inggris.
