Tampilkan postingan dengan label sales motivation. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sales motivation. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2012

Knowledge is Power



Masih ingat ungkapan Knowledge is Power.
Ungkapan itu sangat benar. Karena dengan memiliki banyak pengetahuan seseorang akan mudah menjalin hubungan dengan orang lain. Berbicara dengan orang yang termasuk kelas A nyambung, ngomong dengan kelas B juga nyambung. Begitu seterusnya.

Orang yang berpengetahuan akan lebih disukai orang lain karena dia membawa solusi. Ia akan menjadi partner bicara yang menyenangkan bagi siapapun karena ia bisa memberikan suntikan energi kepada orang lain.

Sebaliknya,  berbicara dengan orang yang tidak percaya diri justru membuat energi kita tersedot karena kita dituntut lebih menjelaskannya. Reaksi orang yang tidak percaya diri yang paling kelihatan adalah kikuk, gugup, dan takut. Akibatnya, reaksi verbalnya menjadi terhambat: ngomongnya tidak jelas dan perilakunya mengganggu.

Pertanyaannya, bagaimana caranya meningkatkan kadar kepercayaan diri?

Bagi  sales person yang ingin memiliki kepercayaan diri, mutlak untuk senantiasa mengasah pengetahuannya.  Jika berjualan IT, maka Anda harus memastikan menguasai detail aspek teknis dari software atau solusi yang Anda tawarkan. Selain itu, akan lebih baik jika dilengkapi dengan pengetahuan industri di mana pelanggan menjadi targetnya: termasuk perkembangan terakhir, hambatan, dan peluangnya. Jika menawarkan produk permebelan, minimal Anda harus bisa menjelaskan jenis kayu yang digunakan, model dan desain terkini, bahan kainnya beserta kelebihan dan kekurangannya.

Demikian juga jika Anda seorang bankir, harus fasih menjawab apabila pelanggan menanyakan pergerakan suku bunga, kurs, risiko bisnis, hingga perkembangan bank terkini. Bankir juga harus tahu bagaimana prediksi industri perbankan di masa yang akan datang. Pengetahuan itu menjadi modal baginya untuk menjalin hubungan dengan prospek dan memberikan kepercayaan kepada mereka.

Perbaharui pengetahuan Anda dengan membaca buku, mengikuti seminar, berlangganan majalah, dan jalan-jalan. Semakin penuh kepala Anda dengan informasi terbaru, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan diri Anda.


Senin, 20 Februari 2012

Bimbinglah Pelanggan Anda dengan Tulus


Ketika pergi ke restoran seringkali kita bertanya ke waiters: “Menu apa yang enak di restoran ini?” Demikian juga ketika membeli baju, kita bertanya kepada penjualnya: “Cocok tidak baju yang saya pilih ini, model dan warnanya?”

Pertanyaan demikian termasuk retoris—kita sudah tahu jawabannya. Meskipun demikian, tetap saja kita suka melakukannya karena kadang bisa dipakai untuk mengetes tingkat kompetensi penjual. Kalau jawaban penjual memuaskan kita akan melanjutkan ke pembelian, tapi kalau tidak, barangkali kita tidak jadi membeli.

Sudah menjadi sifatnya jika manusia senang dibimbing dan ingin dibimbing, apalagi jika bimbingan itu mengarah ke kebaikan. Membeli sendiri adalah masalah (problem) karena sebelum membeli kita melewati proses belajar dari mulai menentukan kebutuhan, kemudian jenis produk, lalu brand, lalu harga, dan lain sebagainya. Apalagi dengan hadirnya puluhan merek dalam satu kategori di modern market seperti Carrefour atau Giant, aktivitas membeli bukannya menjadi aktivitas yang menyenangkan namun menjadi aktivitas yang memusingkan kepala.

Dengan kondisi demikian, pembeli pada dasarnya akan feel good jika ada penjual yang bisa membimbingnya memutuskan pembelian, meskipun pada akhirnya penjual tentu mengarahkan penjelasannya ke atribut produk yang menjadi USP-nya (Unique Selling Point).

Untuk bisa mengarahkan pembelian, seorang penjual harus diposisikan sebagai pemimpin. Oleh karenanya, ia harus memiliki tabungan kepercayaan (rapport) dari para pembeli sehingga penjelasan dan rekomendasinya kredibel.

Penjual yang sukses adalah penjual yang sadar akan informasi dan pengetahuan baru.  Ingat, para prinsipnya orang akan rela dipimpin oleh orang lain jika orang lain tersebut memiliki kelebihan (power). Jaman dulu, yang dijadikan pemimpin adalah orang yang fisiknya paling prima. Sedangkan sekarang yang dianggap pemimpin adalah orang yang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, konsistensi, dan yang paling penting niat baik.

Penjual yang bisa memimpin pembelian adalah penjual yang mempunyai pengetahuan dan menguasai informasi lebih banyak daripada prospek. Dengan demikian kita bisa memberikan solusi, memberikan pertimbangan, dan menjelaskan dasar pengambilan keputusan.

Selain itu penjual yang bisa memimpin pembelian adalah penjual yang bisa bersikap dan mengambil risiko untuk merekomendasikan keputusan, meskipun keputusan itu kadang tidak populer.

SALES MOTIVATIONS

Falling in Love with Your Customer

Saya pernah kedatangan seorang penjual mesin fotocopy yang menawarkan produknya kepada saya.  Selama hampir setengah jam atau lebih, yang saya dengar darinya kehebatan mesin tersebut: irit, tajam hasil kopiannya, dan lain sebagainya.

Sebenarnya dalam hati saya ingin berteriak, “I don’t care! emangnya gue pikirin!” Karena yang saya butuhkan solusi bukan  fitur fitur yang ada di kotak besar itu.  Yang saya perhatikan adalah cara mesin itu meningkatkan efisiensi bisnis secara keseluruhan,  bagaimana sebenarnya peran  fotokopi itu untuk memudahkan bisnis, membuatnya lebih berkembang, lebih mendatangkan pelangggan, dan seterusnya.

Artinya, yang saya butuhkan adalah customer focus! We are not selling a matras, we are selling a good sleep! Begitu kata sebuah iklan kasur pegas. Saya tidak butuh fitur yang saya butuhkan adalah solusi.

Oleh karena itu, seharusnya sebelum jatuh cinta ke produk, seorang penjual harus jatuh cinta kepada pelanggan terlebih  dahulu. Kesalahan terbesar para penjual adalah terlalu terobsesi ke produk. Jadi tidak heran saat menjual mereka selalu menonjolkan functional benefit produk dan tidak peduli pada masalah pelanggan.  Penawaran yang dipresentasikan ke prospek  hanya ingin menegaskan bahwa “kecapnya nomor satu.”


Center of attention dari penjual adalah meningkatkan kesejahteraan pelanggan, melalui aktivitas, proses, produk, dan jasa  yang kita sediakan.  Bukan hanya berusaha menonjolkan kelebihan produk dan service kita dari sisi features dan functional benefit.

Mulai sekarang kita sebagai penjual harus mengubah cara pandang dari: Apa yang harus saya katakan agar prospek mau membeli?  Menjadi: Apa yang bisa saya berikan untuk pelanggan sehingga mereka puas? 

Kita berusaha menjadi value generator yang senantiasa memberikan nilai tambah dengan senantiasa memperbaiki diri.  Continuous and Never Ending Improvement!

sales motivations

Rabu, 18 Januari 2012

Mau Jadi Rambo atau Sniper

Sebagian besar dari Anda pasti sudah pernah melihat film Rambo dan Sniper. Kedua film tersebut sering diputar di stasiun televisi nasional. Mungkin sebagian besar dari Anda sudah hapal jalan ceritanya.


Coba Anda perhatikan bagaimana cara Rambo dan tokoh utama film Sniper menembak? Kalau Rambo cenderung menembak dengan cara membabi buta dan memuntahkan peluru ratusan butir hanya untuk sebuah target. Sepertinya dia tidak tahu mahalnya sebutir peluru M16. Kebalikannya, Sniper menembak dengan sangat hati-hati, satu peluru hanya untuk satu orang sasaran dan tidak boleh gagal. Istilahnya, one shoot, one down.

Bagi saya, cara menembak Sniper adalah contoh tindakan yang efektif, sedangkan cara Rambo adalah contoh tindakan yang memboroskan sumber daya. Dalam situasi serba terbatas seperti sekarang ini—baik waktu, tenaga, maupun uang— kemampuan mengelola efektivitas menjadi faktor kunci penentu kesuksesan seseorang.

Sayangnya banyak penjual yang tidak menyadari perubahan ini dan masih mengembangkan pendekatan penjualan gaya lama: menjual dengan gaya Rambo. Seakan-akan semua orang pasti membutuhkan barang. Padahal tidak ada satu pun produk di dunia ini yang cocok untuk semua orang dan untuk semua situasi. Bahkan untuk produk atau servis terbaik sekalipun, harus dirancang khusus (segmented) untuk segmen market tertentu.

Demikian pula ketika proses prospecting harus didesain agar semaksimal mungkin mendekati target market yang sesuai. Inilah mengapa saya lebih senang mendapat prospek dari referral orang lain karena sudah segmented sekali—99% pasti cocok dengan spesifikasi produk yang kita tawarkan.

Jika penjual mengasumsikan semua orang adalah target market-nya, maka dia pun akan menawarkan produknya ke setiap orang yang dijumpainya. Padahal sangat sedikit orang yang memiliki kebutuhan yang sama kecuali yang dijual adalah sabun mandi. Sabun mandi pun sekarang beraneka ragam dan orang memiliki preferensi produk tertentu. Orang yang biasa memakai sabun mandi cair pasti menolak jika ditawari produk sabun mandi batangan. Itu hanya soal bentuk, belum bicara mengenai kandungan produk lebih dalam lagi, misalnya mengandung sulfur, wangi lavender, herbal, dan sebagainya.

Akibatnya, jelas penjual bergaya Rambo sekarang akan mendapat penolakan lebih sering dari para pendahulunya. Ingatlah selalu bahwa teknik menjual yang bagaimanapun tidak akan berhasil, jika produk ditawarkan pada prospek yang salah. Sebaliknya, jika prospeknya benar, dengan sedikit pendekatan saja penjualan bisa terjadi. 
sales motivation

Jumat, 18 November 2011

MENJUAL ADALAH PROSES


Ingatlah bahwa penjualan merupakan sebuah proses. Closing sales atau penjualan, adalah hasil sebuah proses. Closing tidak pernah merupakan single event.

Bayangkan, bagaimana sebuah transaksi penjualan terjadi.

Pertama, kita harus mendapatkan prospek (prospecting). Kemudian melakukan pendekatan (approaching) kepada prospek tersebut. Pada tahap pendekatan ini, kita membangun kepercayaan (rapport) dan mengidentifikasikan kebutuhan prospek.

Setelah mendapat informasi kebutuhan prospek, lalu kita melakukan presentasi penjualan (presenting). Selama presentasi berjalan, kita harus bisa mengenali dan menjawab keragu-raguan prospek (handling objection). Apabila gagal menjawab keragu-raguan atau keberatan sang prospek, dapat dipastikan proses penjualan tidak berlanjut ke penutupan (closing). Lihatlah, sebelum closing minimal ada empat tahapan yang harus dilalui dengan baik. Gagal satu saja, maka penjualan tidak terjadi.

Apakah kita pernah menganalisis efektifitas menjual berdasarkan tahapan-tahapan tadi. Misalnya, bagaimana proses prospecting yang telah kita lakukan? Berapa prospek yang dihasilkan setiap bulannya? Berapa cara yang telah kita pergunakan dalam rangka mendapatkan prospek? Bagaimana pendekatan kita terhadap prospek yang sudah dengan susah payah kita kumpulkan? Sudah efektif atau masih perlu perbaikan?

Bagaimana teknik presentasi kita? Apakah kita sudah cukup baik mengatasi keragu-raguan prospek?
Kesalahan yang sering dilakukan manajer penjualan adalah hanya mengukur kinerja penjualan dari hasil, target penjualan tim tercapai ataukah tidak? Jarang sekali dibahas proses penjualan yang ada dibelakangnya, apakah prosesnya sudah berjalan dengan baik atau perlu ditingkatkan. Karena jika proses penjualan benar dan efektif bisa dipastikan hasilnya pun akan baik.

Kita tidak mengetahui masalah jika hanya mengukur hasilnya saja. Harus ada minimal tiga proses yakni mengukur, mengenali, dan meningkatkan efektivitas proses penjualannya.

Sama seperti saat sir Alex Ferguson mengoptimalkan David Beckham. Kita pun harus mengoptimalkan aktivitas kita untuk memperoleh extraordinary result dengan sumber daya terbatas yang dimiliki.

Sales Motivation

Sabtu, 12 November 2011

There is no Love at The First Sight


Apakah ada cinta pada pandangan pertama? Mungkin jika melihat Julie Estelle, artis yang selalu berpenampilan seksi, kita langsung akan jatuh cinta. Tapi kebanyakan wanita tidak seperti Julie Estelle.

Demikian pula dengan penjualan. Jangan pernah mengharapkan terjadi closing hanya dengan sekali kontak dengan prospek. Jangan mengharapkan first call yang Anda terima hari ini, otomatis akan membawa pulang contract. Sikap mental bersabar seperti ini yang jarang dimiliki para penjual karena mereka punya motto: Close now or Die!

Mereka berlaku seperti itu karena di pelatihan motivasi mereka “dicuci otak” dengan kata-kata yang sama: always Be Closing’, ‘Close now or Die’! Akibatnya, setelah lulus pelatihan penjualan mereka kecewa karena di medan pertempuran asli sangat susah melakukan Close Now and Die! Yang terjadi kebanyakan die-nya daripada close-nya. Akibatnya jelas frustasi.

Bagi penjual yang daya juangnya rendah terselamatkan karena dia menyerah, merenung, lalu membuat strategi baru. Namun bagi penjual daya juangnya luar biasa, penolakan menjadi cambuk semangat: semakin ditolak, semakin jualan! Semakin dibentak prospek, semakin nekad. Akibatnya, bisa dua kemungkinan yakni menjadi penjual yang sukses karena kegigihannya berlandaskan strategi atau menjadi penjual teroris yang berperilaku pantang mundur meski prospek tidak membutuhkan. Akibatnya, dia menjadi teroris bagi pelanggan yang menyebar teror siang malam dengan tawaran produknya.

Ada yang mengibaratkan menjual sama dengan pacaran, bagaimana menerima tanda cinta jika belum mengenal dekat. Demikian menjual, mengenal merupakan awal bangkitnya kepercayaan, dan kepercayaan adalah akarnya penjualan.

Bagaimana kalau kita fokuskan perhatian kita, teknik kita pada stage ini yaitu mengenal lebih dekat, membangun kepercayaan (build rapport), mendapatkan informasi. Mendengar lebih banyak daripada mengeluarkan perkataan. Kebanyakan para salesman, lebih banyak berkata-kata daripada mendengarkan.

Kita perlu tahu, apa saja yang diimpikan prospek? Kebutuhan prospek dan masalahnya? Tujuannya agar kita bisa memformulasikan penawaran produk yang memenuhi kebutuhannya, mengatasi masalahnya, dan merealisasikan impiannya. There is no love at the first sight, kecuali Anda Julie Estelle.

*Sales Motivation

Jumat, 06 Mei 2011

No Woman No Cry, No Sales No Income!


No Woman No Cry adalah judul lagu yang dinyanyikan aktor legendaris Bob Marley. Sementara No Sales No Income adalah kata kunci bagi para sales person untuk menjadi penjual yang baik. Mau tahu bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya.
Pernyataan sales equal income dan no sales no income adalah benar.
Karena untuk menuju sukses orang tidak cukup jika hanya berbekal keahlian profesional saja... Menjadi pintar saja tidak cukup... Bahkan jenius pun tidak cukup...

Mau bukti?
Vincent Van Gough boleh dibilang, pelukis paling jenius. Saking jenius dan visionernya, banyak masyarakat yang tidak bisa mengerti lukisan Van Gough. Akibatnya, banyak karya Van Gough yang tidak laku dijual. Bahkan pernah suatu waktu karena saking miskinnya, dia membakar beberapa lukisannya untuk menghangatkan ruangan.

Dalam soal asmara, Van Gough juga tidak bernasib mujur. Cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Karena berkali-kali ditolak, Van Gough pernah mengiris telinga di depan gadis yang dicintainya. Meski sudah berlumuran darah, tetap saja cintanya ditolak sang gadis pujaan. Sungguh malang nasib pelukis hebat Van Gough, sampai akhir hayat, hidupnya merana, patah hati, dan miskin.

Sebaliknya Pablo Picasso, pelukis yang keahlian melukisnya tidak secanggih Van Gough, bisa hidup makmur dari hasil penjualan lukisan. Lukisan Picasso yang lebih ”market oriented” mudah dipahami orang sehingga laku terjual. Di tambah lagi sebagai pelukis, Picasso mampu dan piawai mempengaruhi pelanggan untuk membeli produknya di atas rata-rata. Dalam film ”Surviving Picasso” yang dibintangi Anthony Hoppkins, digambarkan salah satu trik Picasso menjual lukisannya. Apabila pembelinya wanita, Picasso akan menggunakan magic word: “Nona, sepertinya saya pernah melukis wajah cantik Anda, di mana kita pernah bertemu sebelumnya?” Hati wanita mana yang tidak takluk jika dipuja seperti itu oleh pelukis top sekelas Picasso?

Dengan status ekonomi yang lebih mapan, kehidupan cinta Picasso juga lebih baik daripada Van Gough. Ia menjadi pujaan wanita. Sampai akhir hidupnya, Picasso hidup makmur, senang, dan bahagia.

Sebenarnya perbedaan antara Van Gough dengan Picasso hanya terletak pada satu hal yakni: kemampuan menjual. Picasso mampu mengkombinasikan antara proses keartisan (art sense) dengan penjualan (selling sense)—sesuatu yang tidak pernah dilakukan Van Gough sebelumnya.

Van Gough merupakan representasi dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sangat sedikit profesional yang mempunyai keahlian menjual. Akibatnya, meskipun mereka berhasil membuat produk dengan kualitas terbaik atau mahakarya yang bernilai seni tinggi, produknya tidak bisa terjual. Otomatis secara ekonomi kehidupan para profesional tidak mengalami perbaikan.

Mengapa para profesional banyak yang tidak memiliki keahlian menjual?
Pertama, karena mereka tidak menganggap menjual sebagai bagian dari aktivitas profesionalnya.
Kedua, karena mereka tidak mau belajar.

Saya kan professor, saya tidak mu menjual! Anda saja yang menjual, saya focus memproduksi saja…
Saya kan sekretaris perusahaan, mengapa saya perlu repot belajar selling skill, bos saya pasti akan menaikkan gaji saya karena saya cakap dalam bekerja.

Itulah contoh reaksi spontan para profesional yang diminta menjual atau diminta mengikuti pelatihan penjualan. Mereka menganggap keahlian menjual bukanlah keahlian yang wajib dipelajari dan akan berdampak pada karier atau kehidupan.

Orang yang menempatkan penjualan di sisi inferior adalah orang yang tidak mempunyai indera untuk menjadi makmur, kaya, dan bahagia. Mengapa? Karena penjualan selalu sama dengan pendapatan (sales equals income). Semakin pintar orang menjual, maka semakin banyak pula produk yang akan dijualnya, dan semakin banyak produk yang dijual, maka semakin banyak uang yang masuk ke kantong. Untuk mendapatkan kemakmuran, siapapun harus mau menjual!

Jika paham prinsip penjualan sama dengan pendapatan, siapa pun akan termotivasi dan bangga dengan profesi sebagai penjual (salesman). Setiap orang sukses dan kaya adalah orang yang menempatkan menjual sebagai aktivitas inti dalam kehidupannya. Baik menjual produk jadi kepada orang lain, menjual network, menjual keahlian, menjual keyakinan, dan lain sebagainya.

“Sales equal Income, no Sales No Income” harus menjadi mantra yang selalu diucapkan seorang penjual supaya bersemangat. Mantra ini ampuh mengusir rasa malu, rasa gampang menyerah, takut gagal atau frutasi ketika menjual. Saya pun sering meneriakkannya, sambil mengingat kembali cerita Vincent Van Gough dan Pablo Picasso di atas. Lalu saya putuskan, “Saya akan menjadi seorang Picasso yang sejahtera bukan seorang Van Gough yang pintar namun menderita!”


Sales Motivation