Sabtu, 18 Februari 2012

Senjata Dahsyat Itu Bernama Empati


Kalau terus menerus melatih sensitivitas emosi, kemungkinan kita akan bisa merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan pelanggan. Inilah yang disebut empati.

Empati adalah senjata yang dahsyat. Jika benar-benar bisa berempati, maka kita menjadi satu dengan prospek. Kita tahu apa kebutuhannya, kita merasakan apa yang dikuatirkannya, dan kita menjiwai keberatan-keberatannya. Bukankah itu akan membuat kita lebih efektif dalam memberikan penawaran (offer), membangun rapport, handling objections dan closing the deal.

Membangun empati artinya kita mengatakan pada diri kita, “Saya merasakan apa yang orang lain rasakan, dan saya mengerti permasalahannya”. I feel the way you feel, I understand what your problems are and  Let me help you.

Contohnya, saya paham bahwa setiap debitur yang mengajukan kredit ke bank akan marah jika dibiarkan menggantung—tidak mendapatkan keputusan secepatnya. Oleh karenanya, kemudian saya membuat prosedur standar untuk memproses pengajuan kredit diantaranya: 1 hari menemui pelanggan, 3 hari kelengkapan dokumen, dan 2-3 hari persetujuan kredit. Standar waktu pemrosesan kredit ini berguna untuk menciptakan harapan kualitas di benak pelanggan yang memudahkan sebuah bank untuk menciptakan kepuasan pelanggan. Standar pelayanan lain terus saya bangun yang membuat penawaran bank saya lebih baik daripada pesaing. 

Kalau kita tidak senang antri, kemungkinan besar orang lain juga tidak senang mengantri. Solusinya tentu saja kita harus memikirkan cara agar dalam SOP servis kita orang tidak perlu mengantri, atau kalaupun harus mengantri telah disediakan perlakukan khusus sehingga orang tidak bosan mengantri. Misalnya dengan menyediakan buku-buku bacaan, film, dan musik.

Bukankah dengan cara sederhana ini saja, kita bisa lebih menyenangkan pelanggan  kita? Bukankah dengan terus menerus berempati, kita secara tidak langsung menyempurnakan produk dan layanan? Bukankah dengan demikian kita telah committed to excellence? Bukankah pada akhirnya kita bisa menciptakan keunggulan kompetitif dibandingkan dengan para kompetitor?


Alkisah saya berkunjung ke sebuah perusahaan saat jam makan siang. Setelah masuk, saya dipersilahkan menunggu karena petugas yang sedianya akan melayani saya sedang istirahat siang. Terpaksa saya membuang waktu untuk menunggu. Seandainya perusahaan ini berempati, tentunya dia tidak akan membiarkan pelanggan setianya menunggu terlalu lama. dia akan membuat jam kerja gilir sehingga tetap ada petugas yang melayani meskipun telah masuk jam makan siang.

Hal-hal sederhana seperti ini sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan namun jarang yang menghayati dan mau konsisten melakukannya. Padahal jika konsisten dengan empati, hal-hal yang sepintas kelihatannya sederhana ini akan menjadi sumber diferensiasi yang kokoh bagi sebuah perusahaan.


Proses selanjutnya adalah cara penjual menjawab semua keberatan, keragu-raguan yang ada dalam diri pelanggan. Ketika melakukan proses di atas berarti kita telah melatih empati kita. Jika kita fokus dan terus menerus mencoba menjawab keberatan dan keragu-raguan pelanggan, maka sebenarnya kita telah berada di jalan yang benar—senantiasa membangun nilai tambah.

Banyak diantara kita yang tidak bisa mengartikulasikan perasaannya. Mereka menginginkan sesuatu, mereka merasakan sesuatu, mereka keberatan akan sesuatu, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. It is a silent majority!

Ketika kita berempati, merasakan apa-apa yang tidak terucapkan. Mengerti permasalahan yang tidak terekspose. We can read between the line!
sales motivations

Tidak ada komentar:

Posting Komentar