Minggu, 01 Mei 2011

CATI, Metode Riset Pemasaran yang Cepat dan Efisien


Pelaksanaan riset pemasaran membutuhkan teknik wawancara yang tepat. Seiring dengan perkembangan teknologi membuat teknik wawancara dalam riset pemasaran semakin cepat dan efisien.

Secara umum teknik wawancara dalam riset pemasaran terbagi dalam beberapa teknik, yaitu face-to-face interview, mail survey, phone survey, Computer-Assisted Telephone Interviewing (CATI), internet/email survey, dan mobile survey.

Di Indonesia sendiri, teknik wawancara yang paling lazim digunakan oleh hampir semua lembaga riset pemasaran adalah face-to-face interview. Wawancara bisa dilakukan di rumah, di kantor, atau di lokasi tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti. Hampir 90 % pelaksanaan survei kuantitatif di Indonesia dilakukan dengan teknik ini.

Sementara di negara-negara yang memiliki tradisi risetnya sudah baik seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat, teknik wawancara berbasis telephone lebih banyak digunakan dibanding dengan face-to-face interview. Hal itu disebabkan oleh dua faktor yaitu waktu dan biaya. Wawancara menggunakan telephone lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan teknik face-to-face interview.

Teknik wawancara berbasis telephone terbagi menjadi dua yaitu phone interview yang bersifat lebih tradisional dan manual, dan yang kedua adalah CATI yang sudah computerized.

Dalam teknik CATI pewawancara tinggal mengikuti skrip/template pertanyaan yang disediakan oleh aplikasi perangkat lunak (software). Teknik wawancara menggunakan sistem terstruktur berupa pengumpulan data melalui telepon yang dapat mempercepat pengumpulan dan editing data, dan juga memungkinkan pewawancara untuk dapat melakukan wawancara dengan tepat waktu dan mendapatkan data yang lebih akurat. Perangkat lunak ini dapat menyesuaikan alur pertanyaan di kuesioner berdasarkan jawaban dan informasi yang telah diberikan oleh responden.

Keunggulan dan Manfaat CATI
Beberapa keunggulan CATI ini antara lain: Pertama, CATI memberikan peluang peneliti untuk dapat mengontrol secara penuh pelaksanaan risetnya, kuesioner dan sampel yang akan disurvei. Call-back atau pengecekan kembali bisa dilakukan sesuai dengan jadwal, dan peneliti dapat memeriksa status sampel dan kuota sampel dengan cepat.

Kedua, CATI memungkinkan peneliti dapat mengontrol biaya pelaksanaan riset lebih ketat. Peneliti dapat mendeteksi masalah yang dihadapi pewawancara dan produktivitas tim pewawancara. Peneliti bisa melakukan analisa setiap saat ketika wawancara sedang berlangsung.

Ketiga CATI akan meningkatkan kualitas dari hasil riset yang telah dilakukan. Riset ini akan menghasilkan kualitas data yang lebih baik, tidak ada data yang hilang atau tidak terisi, karena semua pertanyaan harus terisi dan akan diperiksa kekonsistenan jawabannya
Keempat, hasil riset dapat diketahui lebih cepat. Proses data entry yang dilakukan sekaligus bersamaan dengan proses wawancara memungkinkan hasil riset langsung bisa diketahui sesaat setelah proses wawancara selesai dilakukan.

Selain itu produktivitas akan lebih baik. Karena pelaksanaan survei lebih lebih sedikit membutuhkan tenaga kerja karena fungsi -fungsi administrasi sudah diambil-alih oleh sistem.

Pelaksanaan riset juga lebih simple. Desain kuesioner dan prosedur sampling dapat dilakukan secara sederhana dan cepat karena prosesnya dibantu oleh sistem komputer.

Namun demikian disamping keunggulan, CATI tetap memiliki keterbatasan. Untuk skala riset yang membutuhkan waktu wawancara lebih dari 15 menit peneliti akan kesulitan jika menggunakan CATI. Begitu juga halnya dengan riset yang banyak menggunakan open-ended question, tidak cocok dengan metode CATI.

CATI akan lebih efektif kalau menggunakan dasar database responden yang besar dan sudah terstruktur dengan rapi. Karena itu industri yang paling baik menerapkan CATI adalah perbankan, asuransi, telekomunikasi, dan otomotif.

Selamat mencoba.
Atajudin Nur

Kamis, 17 Februari 2011

Dengan Konsep New Wave Marketing, Telkom Menggarap UKM


Kecil-kecil cabe rawit, adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kiprah usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. UKM atau dalam bahasa keren-nya SME (Small and Medium Enterprise) memang berskala bisnis kecil. Namun begitu, kontribusi dan skala industrinya bagi negeri ini tidak bisa dipandang remeh.

Bahkan ketika perusahaan-perusahaan besar rontok diterjang badai krisis moneter pada 1998, UKM-UKM masih mampu berdiri. Kesederhaan dan kelangsingan organisasi di UKM membuat badan usaha ini lincah bergerak di saat krisis.

Pertumbuhan dan kontribusi SME terhadap Produk Domestik Bruto Nasional juga terbilang tinggi, yaitu mencapai 54%. Nilai bisnis UKM pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 11,6 triliun dan akan meningkat pada 2011 menjadi Rp 12,87 triliun.

Bila melihat angka tersebut dan jejak rekam UKM, peran mereka dalam pertumbuhan ekonomi nasional cukup besar. Dan bagi pemasar, UKM merupakan pasar yang strategis. Wajar bila ada sejumlah perusahaan swasta maupun BUMN besar yang membidik UKM sebagai pasar mereka, salah satunya adalah Telkom.

Pada awal April 2010 Telkom membentuk divisi baru, Divisi Business Service (DBS) yang khusus menggarap pasar UKM. Selama ini Telkom menggarap pasar ritel dan pasar corporate. Sementara pasar UKM yang memiliki potensi bisnis cukup besar belum tergarap secara maksimal. Di luar bisnis Wartel, kontribusi UKM terhadap Telkom baru di atas 10%.

Divisi Business Center Telkom menghadirkan SME Center sebagai pusat layanan pengembangan UKM. Pendirian SME Center antara lain untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing UKM melalui dukungan solusi lCT (Information and Communication Technology). DBS melayani UKM agar bisa bersaing di pasar domestik dan mancanegara.

Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah mengatakan, SME Center juga bisa menjadi wahana untuk menjalin kerjasama antara UKM dan Telkom, serta memperkenalkan Telkom sebagai Penyedia Solusi Tl. Melalui SME Center, UKM bisa mendapatkan bantuan teknis/solusi dalam pengelolaan bisnis, pemasaran, keuangan, dan desain.

Ada serangkaian faktor yang memengaruhi lanskap bisnis SME, yaitu teknologi, regulasi, budaya (culture), pasar (market), kompetisi, dan pelanggan (customer). Khusus faktor teknologi, erat terkait dengan berkembangnya access dan connectivity berikut jasa-jasa nilai tambah, serta perkembangan teknologi perangkat dan mobilitas. Dari sisi ini, Telkom sebagai operator dengan portofolio layanan terlengkap memiliki kapasitas untuk memberikan dukungan yang maksimal terhadap bisnis SME.

Menurut Executive General Manager Divisi Business Service Telkom Slamet Riyadi, kebutuhan SME terhadap solusi ICT akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya tuntutan efisiensi dan globalisasi. Pemanfaatan solusi berbasis lCT, yang di dalamnya melibatkan sisi aplikasi dan connectivity, merupakan sesuatu yang tak terelakkan ketika perusahaan ingin keluar sebagai pemenang dalam kancah persaingan bisnis.

Apa yang dilakukan Telkom dengan menghadirkan DBS adalah bagian dari praktek New Social Marketing. Dengan kekuatan teknologi, Telkom menggarap komunitas UKM yang jumlahnya sangat besar.

Melalui DBS, Telkom memberikan pelayanan solusi ICT kepada pelanggan SME secara fokus. Solusi ICT ini berfungsi sebagai business enabler yang ditawarkan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan bisnis melalui aplikasi cloud computing berbasis platform as a services (PaaS) seperti e-UKM, e-Koperasi, aplikasi untuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat), aplikasi pendidikan, dan sejenisnya.

DBS juga menjadi tempat communal activation bagi seluruh anggota UKM. DBS mengemban serangkaian fungsi, yakni sebagai etalase pelayanan Telkom, sebagai arena demo layanan, klinik solusi, Virtual Office, dan e-Commerce. DBS juga menggelar program pelatihan rutin yang saat ini bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja, perguruan tinggi, perbankan, dan lembaga-lembaga asosiasi.

Pembentukan DBS sekaligus SME Center bukan sekadar praktek New Wave Marketing. Kehadiran DBS itu sebagai bukti keberpihakan Telkom kepada rakyat. Setidaknya para pelaku bisnis UKM yang gagap teknologi akan sangat terbantu. Dengan bantuan teknologi dan pelatihan, UKM akan semakin eksis di perdagangan internasional.

Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, yang meresmikan SME Center, berharap dengan adanya kepedulian Telkom itu, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin berkurang dari 13,8 % saat ini menjadi kurang dari 8% pada 2014.

Atajudin Nur

Rabu, 16 Februari 2011

Meramu Jazz Sebagai Hiburan dan Bisnis



Kisah Sukses Nazar Noe'man, Chairman Radio KLCBS Bandung



Bagi pengemar sejatinya, jazz memang musik untuk segala usia dan golongan. Jazz bagi mereka bukan musiknya kaum elite dan mapan sebagaimana anggapan banyak orang selama ini.

Tradisi jazz berkembang dari gaya hidup masyarakat kulit hitam di Amerika yang tertindas. Tribal drums, musik gospel, blues, serta teriakan peladang mewarnai musik ini. Proses kelahirannya memperlihatkan bahwa musik jazz berhubungan erat dengan pertahanan hidup dan ekspresi kehidupan.

Nazar Noe’man adalah penggemar jazz. Sejak kecil, anak kedua dari empat bersaudara ini sudah dikenalkan musik jazz dan klasik oleh ayahnya Achmad Noe’man, arsitek terkenal yang merancang Masjid Salman ITB Bandung dan masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sejak kecil telinganya sudah akrab dengan permainan legenda jazz seperti Miles Davis dan Jhon Coltrane.

Bagi Nazar Noe’man, musik jazz bukan sekadar hiburan. Jazz adalah napasnya. Pria yang memiliki nama lengkap Nazar Achnuldy Taufiqurrachim Noe’man ini adalah pemilik radio KLCBS Bandung, yang mengusung musik jazz sebagai jualan utama. Baginya musik jazz tidak sekadar menghibur dan mencerahkan tetapi juga bisa menjual.

Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan Nazar kepada audience KLCBS ketika penulis mewawancarainya beberapa waktu lalu. KLCBS sendiri menjadi radio jazz berwibawa untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Radio ini tidak hanya menyajikan musik tetapi menjadi referensi bagi penikmat jazz.

Perjalanan Panjang KLCBS
KLCBS yang lahir tahun 1982 adalah singkatan dari Karang Layung Citra Budaya Suara. Nama itu sesuai dengan alamat radio ini yang berlokasi di Jl Karang layung 10, Sukajadi Bandung Utara. Studio ini berdampingan dengan rumah Nazar yang berada di sebelahnya.

Nazar berhasil membangun KLCBS lewat racikan musiknya yang digemari beragam usia dan kalangan. Ia yang paham tentang jazz dibantu istri dan anak pertamanya Khirzan Noe’man dalam meramu musik tersebut.

Kesungguhannya meramu musik itulah yang membuat KLCBS selalu dikenang pendengar. Beberapa mantan pelajar dan mahasiswa Bandung merasa kehilangan musik ini ketika harus meninggalkan kota tersebut. Mereka yang bertestimoni di blog KLCBS mengaku, setelah meninggalkan Bandung tidak bisa lagi mendapatkan musik jazz seapik yang disiarkan KLCBS.

Namun belakangan kerinduan mereka terobati. Bukan karena mendengar musik jazz dari stasiun radio lain, tetapi berkat siaran KLCBS yang bisa diakses melalui internet. Teknologi berhasil mendekatkan para penggemar jazz dengan KLCBS. ”Saya senang, KLCBS sudah ada online streamingnya. Ini cukup membantu kerinduan para pendengarnya yang kebetulan punya koneksi internet yang berada jauh dari jangkauan radio,” papar salah seorang penggemar KLCBS.

Dalam menggodok siaran, Nazar memegang teguh cita rasa jazz. Ia meracik musik berdasarkan apresiasi KLCBS dan musikalitas musisi. Dia juga mem¬pertimbangkan aspek pemasar¬an agar radio itu sukses menda¬patkan iklan.

Keterlibatan Nazar dengan radio melalui sejarah yang panjang. Kecintaannya kepada radio dimulai sejak umur 10 tahun. Sejak kecil Nazar suka mengutak-atik masalah keradioan.

Pria yang lahir 19 Februari 1960 ini tinggal dekat kampus ITB di Jalan Ganesha, tempat mangkal mahasiwa teknik elektro yang membuat pemancar radio. Di depan studio radio, Nazar kerap berlama-lama nongkrong hingga ia sering diperingatkan untuk hati-hati agar tidak kesetrum.

Dari hobi dan pengalaman itu, Nazar mencoba membuat pemancar. Mulanya hanya pe-mancar liar, namun akhirnya mendapat izin frekuensi FM 100,55. Pada 1982 ketika KLCBS res¬mi mengudara, secara berani ia memproklamirkan radionya sebagai “The Jazz Wave” atau gelombang jazz. Kemudian, KLCBS menggunakan gelombang FM 100,4.

Selain misi komersial, radionya juga memiliki tanggung jawab memberi informasi yang menarik dan mencerdaskan. Na¬zar juga memasukkan unsur pencerahan lewat siraman rohani singkat yang disiarkan setiap jam, tepat pada pergantian waktu. Dengan KLCBS, ia ingin mengajak pemirsa untuk bersyukur dan merenungi makna hidup.

Ajakan itu berdasarkan pengalaman hidup Nazar yang sukses berkat rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Ketika duduk di kelas II SMA, Nazar terkena glu¬koma hingga mengakibatkan gangguan penglihatan. Berbagai upaya pengobatan telah ditempuh, termasuk ber¬obat ke Belanda, tetapi kurang membantu.

Sejak itu Nazar terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah se¬perti kakak dan adik-adiknya yang menempuh pendidikan di luar negeri. Namun berkat saran ayahnya, ia berhasil memanfaatkan kelebihan pendengarannya dan hobinya terhadap musik jazz dengan mendirikan KLCBS. Lewat radio itu, ia berhasil menjalani hidup dengan penuh makna.


Atajudin Nur

Selasa, 21 Desember 2010

Kiat Menjadi Salesman Tangguh

Tim sales adalah ujung tombak bisnis. Tim sales yang hebat akan menghasilkan penjualan yang hebat pula.

Namun terkadang di dunia penjualan, halangan terbesar untuk sukses adalah diri sendiri. Terlalu banyak orang yang gagal jadi salesman hebat karena rasa minder dan pesimistis. Sebaliknya, salesman yang sukses dalam industri manapun biasanya memiliki daya tahan yang kuat dan optimisme yang tinggi.

Chris Gardner yang kisah hidupnya diceritakan dalam film In Pursuit of Happiness adalah contoh salesman tangguh. Ia mampu menjalani kehidupan yang keras dengan cobaan yang bertubi-tubi demi kehidupan yang lebih baik bagi putra tercintanya. Karena ketegaran dan kesabarannya inilah dia akhirnya mampu menjadi salesman yang sukses di sebuah perusahaan sekuritas terkemuka.

Dan ternyata kesuksesan akibat positive thinking ini tidak hanya ada di film-film Hollywood tetapi malah telah dapat dibuktikan secara akademis oleh ilmuwan psychology. Fred Luthans, dalam buku “Psychological Capital”, membuktikan bahwa pengaruh psychologis dari positive thinking dapat berpengaruh pada kinerja dan pencapaian pebisnis. Beliau membuktikan bahwa keadaan psychologis yang positif dari seseorang memiliki andil 10% pada kesuksesan orang tersebut. 90% sisasnya ditentukan oleh hal-hal lain seperti skill, pengalaman dan keberuntungan yang tentunya juga memiliki pengaruh tidak sedikit pada kinerja sesorang.

Terdapat 4 elemen utama dalam Psychological Capital yang disebutkan oleh Prof. Luthans dalam bukunya yakni: Hope, Efficacy, Resiliency dan Optimism (atau disingkat HERO®). Fred Luthans merupakan Professor Management di University of Nebraska. Ia datang ke Jakarta membawakan workshop HERO pada 27 Mei 2010 di Four Seasons Hotel yang difasilitasi MarkPlus.

Mari kita bahas elemen ini satu per satu:
Hope, atau harapan adalah pemikiran akan suatu kesuksesan yang dapat menimbulkan motivasi untuk mencapai tujuan. Harapan dan mimpi merupakan bunga kehidupan, sangat sulit dibayangkan orang yang tidak punya harapan dapat memiliki motivasi untuk mencapai kesuksesan.

Efficacy, adalah rasa percaya diri bahwa kita memiliki kemampuan untuk menjalankan apa yang diperlukan. Rasa percaya diri dan tidak minder ini memang menjadi modal utama bagi salesman apapun dalam berhadapan, berpresentasi dan bernegosiasi dengan pelanggan.

Resiliency adalah kemampuan untuk bangkit dari kegagalan dan konflik. Ada pameo lama yang mengatakan bahwa diperlukan 10 “tidak” untuk bisa mencapai satu “iya”. Karena itu bila salesman sudah give up pada penolakan yang ke 7, 8 atau 9, dia tidak akan pernah mencapai “iya”.

Optimism adalah sifat manusiawi yang membuat orang mampu melihat sisi positif dari suatu situasi. Orang-orang yang optimistik cenderung memiliki kemauan yang lebih besar untuk maju karena dia melihat situasi yang lebih positif dari orang yang pesimistik.

Ke-empat elemen ini dapat ditingkatkan dalam diri orang yang sudah dewasa. Dalam salah satu studi yang dilakukannya di perusahaan Boeing, Prof. Luthans menjalankan sebuah workshop peningkatan HERO bagi para insinyur. Hasilnya produktivitas kerja insinyur yang ditingkatkan HERO-nya naik secara signifikan sehingga return on investment atas workshop peningkatan HERO tersebut mencapai 200%. Hasil yang bukan main bagus.

Dalam kompetisi di pasar terkadang teknologi dan produk yang ditawarkan sudah sama bagusnya. Faktor pembeda utama hanyalah sumber daya manusia. Oleh karena itu, organisasi yang dapat mendayagunakan sumber daya manusianya dengan lebih optimal-lah yang akan memenangkan persaingan.
Untuk keluar sebagai pemenang, bekerjalah lebih baik dan jangan pernah putus asa. Tetap semangat.

Sabtu, 25 September 2010

Chief Destruction Officer


Destruction is cool!
CDO… Chief Destruction Officer.
Easier to KILL an organization—and report it—than change it substansially.
Learn to swallow it: DESTRUCTION IS JOB NO.1
(before the competition does it to you).

Ini adalah kata-kata nyentrik dan provokatif dari Tom Peters. Pakar satu ini memang “gendheng” tapi oke. Pemikiran-pemikiran manajemennya selalu revolusioner, breakthrough, menjangkau jauh ke depan. Ia punya mata elang yang mampu secara tajam melihat masa depan, melihat fenomena yang secuil pun kita belum pernah memikirkannya. Karena tak paham, yang bisa kita lakukan kemudian cuma satu: “mengumpat” dengan mengatakan “dia memang gendheng”. Itulah Tom Peters.

Yang sering kita dengar tentu adalah Chief Executive Officer, Chief Financial Officer, Chief Operating Officer, atau Chief Marketing Officer. Eh… kini ada binatang baru lagi namanya Chief Destruction Officer. Dari arti harafiahnya saja sangat aneh dan “nggak nyambung”. Destruction artinya “perusakan” atau “penghancuran”. Jadi, kalau CEO bertugas mengelola seluruh strategi dan operasi perusahaan; CFO mengelola keuangan perusahaan; CMO membangun dan mengekskusi strategi pemasaran; lha si CDO ini tugasnya “menghancurkan” perusahaan. Memang gendheng!

Sekilas memang gendheng. Tapi jangan salah! Komentar nakal dan provokatif di atas bukanlah celotehan main-main. Bukan pula gurauan siang bolong para kernet angkot yang sedang menunggu penumpang. Kata demi kata itu keluar dari mulut seorang maha guru manajemen (“guru of gurus”) yang memiliki arti yang amat dalam, yang kalau kita “mampu mencernanya” akan menyentak kesadaran kita. Kata demi kata itu akan membangunkan “sense of urgency” dan “sense of crisis” kita.

Mari pelan-pelan kita coba mencernanya. Lanskap bisnis sekarang ini bergerak dengan kecepatan tinggi secepat kecepatan cahaya—“chaotic”, “radical”, “turbulent”, volatile”, “uncertain”, “unpredictable”, dan masih banyak lagi istilah yang digunakan untuk menggambarkannya. Lanskap bisnis yang bergerak dengan kecepatan cahaya ini bukannya tanpa resiko dan bahaya. Bahayanya sangat-sangat besar.

Mau contoh? Layanan pos “mati” dimakan killer app baru seperti email, SMS, dan ATM. “Raksasa tak punya lawan” seperti IBM hampir saja hancur karena adanya apa yang yang disebut Andy Grove, pendiri Intel, sebagai “industry inflection point”—berubahnya struktur industri komputer dunia dari vertikal ke horizontal. Atau tak usah jauh-jauh, selama tahun 1998 kita menyaksikan para konglomerat yang dulu demikian perkasa, pada waktu itu luluh-lantak praktis dalam semalam, karena menggilanya dolar, meroketnya inflasi, tak menentunya suku bunga dan harga saham. TVRI megap-megap oleh terpaan regulasi yang membawa masuk fresh new entrant seperti RCTI, SCTV atau Trans TV.

Untuk menjadi the survivors persis seperti yang dikatakan Tom Peters, kuncinya terletak pada satu kata: “penghancuran”. Untuk sukses di era light-speed changes Anda tak boleh segan-segan menghancurkan sendi-sendi kesuksesan masa lalu Anda—“break with the immediate past”. Kenapa? Karena barangkali formula dan sendi-sendi kesuksesan tersebut sudah tak relevan lagi sekarang. Kalau perlu, persis seperti di bilang Tom Peters, Anda tak boleh segan-segan “membunuh” organisasi Anda, dan kemudian merubahnya menjadi organisasi yang sama sekali baru. Kapanpun, Anda harus siap dan tak segan-segan melakukan “creative destruction”atau aksi “bunuh-bangun”

Kalau krisis bisa kapan pun datang dan terus “mengintai”, tanpa sinyal, tanpa pemberitahuan, maka creative destruction haruslah menjadi “keseharian” operasi perusahaan Anda. Organisasi Anda, orang Anda, sistem yang Anda bangun, budaya perusahaan Anda, haruslah memiliki kapasitas dan kepiawaian untuk melakukan creative destruction dari waktu ke waktu. Organisasi Anda haruslah memiliki “alert system” untuk mengendus munculnya krisis, dan kemudian dengan agilitas yang tinggi organisasi Anda harus mampu mereseponsnya dengan creative destruction yang terkelola secara baik.

Kalau sudah demikian, menjadi jelas bahwa, “winning in the light-speed change era is about survival”. Dan daya survival organisasi Anda akan ditentukan oleh kapasitasnya melakukan creative destruction secara kontinyu. Dan kalau kita sepakat bahwa sustainability adalah tujuan akhir dari sukses perusahaan, maka bisa dikatakan bahwa sesungguhnya: sustainability is a “journey of destruction”; it is “a destruction safari” for long-term survival. Sebuah perjalanan panjang di mana kita melompat dari satu creative destruction ke creative destruction yang lain.

Untuk sukses melakukan destruction safari Anda butuh seorang CEO yang juga seorang CDO. Anda butuh seorang di pucuk pimpinan yang punya satu dedikasi untuk menghancurkan status quo lama, dan membangun “kerajaan baru” di atas puing-puing kehancuran itu, sebuah organisasi yang barangkali sama sekali baru.

Terakhir, ingat-ingat pernyataan guru manajemen, Tom Peters: “DESTRUCTION IS YOUR JOB NO. 1”.  
By Yuswohadi