Jumat, 18 November 2011

Menjual adalah Proses



Ingatlah bahwa penjualan merupakan sebuah proses. Closing sales atau penjualan, adalah hasil sebuah proses. Closing tidak pernah merupakan single event.

Bayangkan, bagaimana sebuah transaksi penjualan terjadi.

Pertama, kita harus mendapatkan prospek (prospecting). Kemudian melakukan pendekatan (approaching) kepada prospek tersebut. Pada tahap pendekatan ini, kita membangun kepercayaan (rapport) dan mengidentifikasikan kebutuhan prospek.

Setelah mendapat informasi kebutuhan prospek, lalu kita melakukan presentasi penjualan (presenting). Selama presentasi berjalan, kita harus bisa mengenali dan menjawab keragu-raguan prospek (handling objection). Apabila gagal menjawab keragu-raguan atau keberatan sang prospek, dapat dipastikan proses penjualan tidak berlanjut ke penutupan (closing). Lihatlah, sebelum closing minimal ada empat tahapan yang harus dilalui dengan baik. Gagal satu saja, maka penjualan tidak terjadi.

Apakah kita pernah menganalisis efektifitas menjual berdasarkan tahapan-tahapan tadi. Misalnya, bagaimana proses prospecting yang telah kita lakukan? Berapa prospek yang dihasilkan setiap bulannya? Berapa cara yang telah kita pergunakan dalam rangka mendapatkan prospek? Bagaimana pendekatan kita terhadap prospek yang sudah dengan susah payah kita kumpulkan? Sudah efektif atau masih perlu perbaikan?

Bagaimana teknik presentasi kita? Apakah kita sudah cukup baik mengatasi keragu-raguan prospek?
Kesalahan yang sering dilakukan manajer penjualan adalah hanya mengukur kinerja penjualan dari hasil, target penjualan tim tercapai ataukah tidak? Jarang sekali dibahas proses penjualan yang ada dibelakangnya, apakah prosesnya sudah berjalan dengan baik atau perlu ditingkatkan. Karena jika proses penjualan benar dan efektif bisa dipastikan hasilnya pun akan baik.

Kita tidak mengetahui masalah jika hanya mengukur hasilnya saja. Harus ada minimal tiga proses yakni mengukur, mengenali, dan meningkatkan efektivitas proses penjualannya.

Sama seperti saat sir Alex Ferguson mengoptimalkan David Beckham. Kita pun harus mengoptimalkan aktivitas kita untuk memperoleh extraordinary result dengan sumber daya terbatas yang dimiliki.

Sales Motivation

Sabtu, 12 November 2011

There is no Love at The First Sight


Apakah ada cinta pada pandangan pertama? Mungkin jika melihat Julie Estelle, artis yang selalu berpenampilan seksi, kita langsung akan jatuh cinta. Tapi kebanyakan wanita tidak seperti Julie Estelle.

Demikian pula dengan penjualan. Jangan pernah mengharapkan terjadi closing hanya dengan sekali kontak dengan prospek. Jangan mengharapkan first call yang Anda terima hari ini, otomatis akan membawa pulang contract. Sikap mental bersabar seperti ini yang jarang dimiliki para penjual karena mereka punya motto: Close now or Die!

Mereka berlaku seperti itu karena di pelatihan motivasi mereka “dicuci otak” dengan kata-kata yang sama: always Be Closing’, ‘Close now or Die’! Akibatnya, setelah lulus pelatihan penjualan mereka kecewa karena di medan pertempuran asli sangat susah melakukan Close Now and Die! Yang terjadi kebanyakan die-nya daripada close-nya. Akibatnya jelas frustasi.

Bagi penjual yang daya juangnya rendah terselamatkan karena dia menyerah, merenung, lalu membuat strategi baru. Namun bagi penjual daya juangnya luar biasa, penolakan menjadi cambuk semangat: semakin ditolak, semakin jualan! Semakin dibentak prospek, semakin nekad. Akibatnya, bisa dua kemungkinan yakni menjadi penjual yang sukses karena kegigihannya berlandaskan strategi atau menjadi penjual teroris yang berperilaku pantang mundur meski prospek tidak membutuhkan. Akibatnya, dia menjadi teroris bagi pelanggan yang menyebar teror siang malam dengan tawaran produknya.

Ada yang mengibaratkan menjual sama dengan pacaran, bagaimana menerima tanda cinta jika belum mengenal dekat. Demikian menjual, mengenal merupakan awal bangkitnya kepercayaan, dan kepercayaan adalah akarnya penjualan.

Bagaimana kalau kita fokuskan perhatian kita, teknik kita pada stage ini yaitu mengenal lebih dekat, membangun kepercayaan (build rapport), mendapatkan informasi. Mendengar lebih banyak daripada mengeluarkan perkataan. Kebanyakan para salesman, lebih banyak berkata-kata daripada mendengarkan.

Kita perlu tahu, apa saja yang diimpikan prospek? Kebutuhan prospek dan masalahnya? Tujuannya agar kita bisa memformulasikan penawaran produk yang memenuhi kebutuhannya, mengatasi masalahnya, dan merealisasikan impiannya. There is no love at the first sight, kecuali Anda Julie Estelle.

*Sales Motivation

Sabtu, 24 September 2011

Mengubah Alam menjadi Bisnis

Anda jenuh dengan rutinitas sehari-hari? Ingin mencoba aktivitas yang bikin adrenalin bergejolak? Cobalah berpetualang dengan Arung Jeram, Arus Liar. Arus Liar yang menyediakan program outbound tidak hanya memberikan petualangan arung jeram  tetapi juga trekking, hiking, paint ball, dan olahraga petualangan lainnya.

Aktivitas itulah yang disebut dengan layanan one stop shopping adventure dari PT. PT Lintas Jeram Nusantara yang lebih dikenal dengan sebutan Arus Liar. Di sana orang tidak hanya mendapatkan sensasi berarung jeram, tetapi memilih paket menarik sesuai minat dan kebutuhan. Aktivitas arung jeram menjadi pilihan utama tamu-tamu PT Lintas Jeram Nusantara.

Amalia Yunita  adalah orang yang menjadi motor dari perusahaan outbond yang dibangunnya bersama suami dan teman-temannya. Ketika membangun bisnis ini 14 tahun lalu, ia melihat adanya kebutuhan baik yang datang dari individu maupun institusi.

Bagi peserta, olahraga tersebut tidak hanya bisa menghilangkan kebosanan tetapi juga membuat tubuh kembali fresh untuk menghadapi rutinitas hari berikutnya.  Sementara bagi perusahaan, olahraga arung jeram bisa membentuk kekompakan tim.

Alam Begitu Menjanjikan
Olahraga arung jeram yang dirintis Amalia di Indonesia sudah ada sejak tahun 1992. Saat itu, bisnis ini dimulai dari hobby dan belum berbentuk perusahaan. Amalia yang merupakan pecinta alam sejak SMA dan berlanjut semasa kuliah memiliki hobby arung jeram dan ekspedisi. Ia melihat sejumlah sungai di Amerika dibisniskan sebagai lokasi arung jeram dengan segala perlengkapannya.

Untuk itu bersama suami ia mengajak tamu-tamunya yang 100% ekspatriat untuk melakukan aktivitas arung jeram di Indonesia yang memiliki lokasi tidak kalah menarik dengan sungai di luar negeri. Orang asing sudah lebih dulu mengenal olahraga ini di negara asalnya.

Ketika aktivitas ini begitu menjanjikan dari sisi komersial maka pada tahun 1995 Arus Liar berdiri sebagai sebuah badan usaha berbentuk Perusahaan Terbatas. Pada awal berdirinya olahraga ini hanya diminati oleh kaum ekspatriat. Orang Indonesia belum berani, karena mereka belum mengerti dan masih menganggap bahwa arung jeram termasuk aktivitas yang berbahaya. Hal itu terjadi karena kurangnya informasi tentang arung jeram.

Belakangan, setelah sosialisasi informasi yang baik tentang arung jeram, banyak orang Indonesia yang berani mencoba. Sekarang ini, jumlah tamu Arus Liar 80 persen orang Indonesia, sisanya ekspatriat. Peminat arun jeram sudah merambah ke berbagai kalangan.

Ketika ia membuka Arus Liar banyak teman-temannya sesama alumi Trisaksi menyangsikan kelangsungan hidup bisnis ini. Namun karena dikelola dengan baik, bisnis ini bisa menghasilkan dan menghidupi banyak orang, termasuk para penduduk lokal. Ketika dibuka, karyawan Arus Liar hanya 19 orang tetapi kini karyawannya sudah mencapai 150 orang.

Selain Sungai Citarik di Sukabumi, ia melihat masih banyak lokasi wisata di Indonesia yang belum tergarap dengan baik. Padahal Indonesia memiliki potensi alam yang indah, baik untuk aktivitas arung jeram maupun olahraga petualang lainnya.

Bisnis ini tidak terpengaruh krisis ekonomi karena  khalayak sasarannya adalah eksekutif muda yang ingin mencari suasana kehidupan baru di luar pekerjaan kantor. Mereka berani membayar mahal untuk sesuatu yang menghilangkan kejenuhan dan kebosanan dari rutinitas sehari-hari.

Bisnis ini masih menjanjikan. Selain sebagai gaya hidup, cukup banyak orang-orang berduit di perkotaan yang membutuhkan olahraga petualangan ini guna mengobati kejenuhan kehidupan kota. Atajudin Nur

Jumat, 06 Mei 2011

No Woman No Cry, No Sales No Income!


No Woman No Cry adalah judul lagu yang dinyanyikan aktor legendaris Bob Marley. Sementara No Sales No Income adalah kata kunci bagi para sales person untuk menjadi penjual yang baik. Mau tahu bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya.
Pernyataan sales equal income dan no sales no income adalah benar.
Karena untuk menuju sukses orang tidak cukup jika hanya berbekal keahlian profesional saja... Menjadi pintar saja tidak cukup... Bahkan jenius pun tidak cukup...

Mau bukti?
Vincent Van Gough boleh dibilang, pelukis paling jenius. Saking jenius dan visionernya, banyak masyarakat yang tidak bisa mengerti lukisan Van Gough. Akibatnya, banyak karya Van Gough yang tidak laku dijual. Bahkan pernah suatu waktu karena saking miskinnya, dia membakar beberapa lukisannya untuk menghangatkan ruangan.

Dalam soal asmara, Van Gough juga tidak bernasib mujur. Cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Karena berkali-kali ditolak, Van Gough pernah mengiris telinga di depan gadis yang dicintainya. Meski sudah berlumuran darah, tetap saja cintanya ditolak sang gadis pujaan. Sungguh malang nasib pelukis hebat Van Gough, sampai akhir hayat, hidupnya merana, patah hati, dan miskin.

Sebaliknya Pablo Picasso, pelukis yang keahlian melukisnya tidak secanggih Van Gough, bisa hidup makmur dari hasil penjualan lukisan. Lukisan Picasso yang lebih ”market oriented” mudah dipahami orang sehingga laku terjual. Di tambah lagi sebagai pelukis, Picasso mampu dan piawai mempengaruhi pelanggan untuk membeli produknya di atas rata-rata. Dalam film ”Surviving Picasso” yang dibintangi Anthony Hoppkins, digambarkan salah satu trik Picasso menjual lukisannya. Apabila pembelinya wanita, Picasso akan menggunakan magic word: “Nona, sepertinya saya pernah melukis wajah cantik Anda, di mana kita pernah bertemu sebelumnya?” Hati wanita mana yang tidak takluk jika dipuja seperti itu oleh pelukis top sekelas Picasso?

Dengan status ekonomi yang lebih mapan, kehidupan cinta Picasso juga lebih baik daripada Van Gough. Ia menjadi pujaan wanita. Sampai akhir hidupnya, Picasso hidup makmur, senang, dan bahagia.

Sebenarnya perbedaan antara Van Gough dengan Picasso hanya terletak pada satu hal yakni: kemampuan menjual. Picasso mampu mengkombinasikan antara proses keartisan (art sense) dengan penjualan (selling sense)—sesuatu yang tidak pernah dilakukan Van Gough sebelumnya.

Van Gough merupakan representasi dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sangat sedikit profesional yang mempunyai keahlian menjual. Akibatnya, meskipun mereka berhasil membuat produk dengan kualitas terbaik atau mahakarya yang bernilai seni tinggi, produknya tidak bisa terjual. Otomatis secara ekonomi kehidupan para profesional tidak mengalami perbaikan.

Mengapa para profesional banyak yang tidak memiliki keahlian menjual?
Pertama, karena mereka tidak menganggap menjual sebagai bagian dari aktivitas profesionalnya.
Kedua, karena mereka tidak mau belajar.

Saya kan professor, saya tidak mu menjual! Anda saja yang menjual, saya focus memproduksi saja…
Saya kan sekretaris perusahaan, mengapa saya perlu repot belajar selling skill, bos saya pasti akan menaikkan gaji saya karena saya cakap dalam bekerja.

Itulah contoh reaksi spontan para profesional yang diminta menjual atau diminta mengikuti pelatihan penjualan. Mereka menganggap keahlian menjual bukanlah keahlian yang wajib dipelajari dan akan berdampak pada karier atau kehidupan.

Orang yang menempatkan penjualan di sisi inferior adalah orang yang tidak mempunyai indera untuk menjadi makmur, kaya, dan bahagia. Mengapa? Karena penjualan selalu sama dengan pendapatan (sales equals income). Semakin pintar orang menjual, maka semakin banyak pula produk yang akan dijualnya, dan semakin banyak produk yang dijual, maka semakin banyak uang yang masuk ke kantong. Untuk mendapatkan kemakmuran, siapapun harus mau menjual!

Jika paham prinsip penjualan sama dengan pendapatan, siapa pun akan termotivasi dan bangga dengan profesi sebagai penjual (salesman). Setiap orang sukses dan kaya adalah orang yang menempatkan menjual sebagai aktivitas inti dalam kehidupannya. Baik menjual produk jadi kepada orang lain, menjual network, menjual keahlian, menjual keyakinan, dan lain sebagainya.

“Sales equal Income, no Sales No Income” harus menjadi mantra yang selalu diucapkan seorang penjual supaya bersemangat. Mantra ini ampuh mengusir rasa malu, rasa gampang menyerah, takut gagal atau frutasi ketika menjual. Saya pun sering meneriakkannya, sambil mengingat kembali cerita Vincent Van Gough dan Pablo Picasso di atas. Lalu saya putuskan, “Saya akan menjadi seorang Picasso yang sejahtera bukan seorang Van Gough yang pintar namun menderita!”


Sales Motivation

Kamis, 05 Mei 2011

Bukan Sulap Bukan Sihir. Ini adalah Magic Marketing



Magic marketing memang masih baru di Indonesia. Namun begitu, sejumlah manfaat bisa dirasakan perusahaan yang menjalankan trik dan konsep magic marketing dalam aktivitas pemasarannya.

Kompetisi yang semakin ketat dan terjadinya perubahan customer behavior dari rasional ke emotional serta perubahan market yang semakin terfragmentasi menjadi niche-niche market membuat pemasaran cara-cara lama menjadi tidak relevan lagi.

Agar mampu bersaing, customer harus didekati secara personal. Customer butuh layanan yang tidak hanya standar tapi delight, bahkan butuh sesuatu yang tidak terduga.

Banyak perusahaan mengira, butuh dana besar untuk menciptakan kondisi tersebut. Sayangnya kebanyakan perusahaan tidak ingin mengeluarkan biaya yang mahal untuk merespon perubahan market dan perilaku konsumen tersebut. Sebisa mungkin mereka menerapkan prinsip low budget high impact dalam segala aspek.

Untuk itu magic marketing merupakan salah satu solusi menjawab perubahan tersebut. Magic marketing merupakan penggabungan antara teori marketing yang ada dengan keterampilan sulap. Harapannya dengan pemahaman teori marketing digabung dengan keterampilan sulap ini bisa membuat tim sales force mampu bersaing dalam merebut hati konsumennya sehingga tercipta customer for life.

Selain itu magic marketing merupakan aktivitas marketing yang out of the box guna menciptakan ide dan aktivitas pemasaran di luar kebiasaan. Dengan aktivitas itu, diharapkan pemasar mampu memenangkan hati konsumen, memberikan surprising emotional atau curiously approach sehingga konsumen betah berada di dekat mereka atau outlet. Dampaknya, kosumen puas dengan layanan yang ada dan mau menggunakan kembali produk atau layanan kita serta merekomendasikannya kepada pihak lain.

Untuk itulah Herry Budijanto Dragono, sang trainer magic marketing memperkenalkan konsep tersebut kepada khalayak ramai. Herry Budijanto memberi kesempatan para pemasar untuk mengikuti training magic marketing yang dikelolanya.

Ia mengatakan. training yang dikemas secara lengkap (knowledge, attitude, creativity dan skill) ini berbeda dengan training-training yang pernah ada selama ini yang cenderung hanya konseptual saja. Menurutnya, training magic marketing juga mengajarkan (game) untuk keluar dari "price war" yang cenderung mengarah pada "red ocean" yang pelan tapi pasti akan menghancurkan profit perusahaan.

Salah satu materi dalam training ini adalah peserta dilatih trik-trik sulap sederhana yang diharapkan mampu menarik perhatian konsumen. Di awal sesi, peserta dijamin bisa menebak angka, warna dan membengkokkan sendok untuk training basic. Dengan menerapkan konsep-konsep dasar dari magic marketing ini perusahaan keluar dari red ocean dan menciptakan konsep layanan baru dengan memberikan value proposition fun kepada customer.

Di tingkat advance, peserta akan memiliki kemampuan "magic leadership", yakni bagaimana menerapkan konsep leadership yang horizontal dengan staf dan customer. Dengan penerapan konsep tersebut diharapkan leader bisa mengelola perusahaan dengan excellent yang ujung-ujungnya peningkatan profit secara signifikan.

Menurut Budijanto, ia pernah menerapkan magic marketing dalam memimpin armadanya di perusahaan lama. Hasilnya, dalam waktu tiga tahun selama memimpin cabang di perusahaan otomotif nasional di Palembang profit yang diperolehnya meningkat 15 kali lipat. Profit juga meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam waktu satu tahun ketika ia memimpin cabang Semarang. Atajudin Nur

Selasa, 03 Mei 2011

The Flower of Service, Amunisi di Era Legacy Marketing


Kunci utama untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan adalah memberikan value yang lebih superior ketimbang pesaing kita. Untuk menciptakan value yang superior, Christopher Lovelock, Pakar Marketing Service asal Inggris memperkenalkan konsep The Flower of Service.

Dalam konsep ini, value dibentuk oleh core products dan supplementary services. Core product merupakan hal paling dasar dalam produk maupun servis perusahaan. Hal itu wajib dimiliki semua perusahaan yang masuk ke pasar persaingan. Itu adalah inti dari bunga yang terletak di tengah. Perusahaan yang tidak memiliki inti tersebut jangan ikut berkompetisi.

Sedangkan supplementary services adalah servis-servis tambahan untuk membedakan core product yang Anda miliki dengan kompetitor. Itulah kelopak dari bunga yang bisa dibuat berbeda-beda. Satu inti bunga bisa terdiri dari beberapa kelopak.

Sebagai contoh, apabila Anda membuka usaha hotel, maka core product Anda adalah tempat tidur dan kamar yang nyaman untuk melepas lelah. Sedangkan supplementary services nya adalah room service, business center, cashier, reservation, valet parking, restaurant, internet, dan lain sebagainya.

Lovelock yang wafat pada 24 Februari 2008 mengingatkan bahwa perusahaan tidak bisa mengandalkan core product (inti bunga) sebagai keunggulan bersaing. Di tengah situasi kompetisi yang semakin ketat akibat perkembangan teknologi, politik-legal, ekonomi, sosial-budaya, dan market, tidak sulit bagi perusahaan-perusahaan baru untuk meniru core product Anda. Bahkan ada kemungkinan teknologi mereka lebih canggih dari Anda karena masuk ke pasar belakangan. Contohnya ketika Airbus memperkenalkan pesawat yang lebih besar ketimbang Boeing.

Oleh sebab itu, medan peperangan saat ini lebih diarahkan kepada supplementary services atau kelopak bunga. Lovelock sendiri membagi supplementary services ke dalam dua kategori yakni, facilitate core product, dan enhance core product. Facilitate core product adalah service tambahan yang diberikan perusahaan kepada klien yang berhubungan dengan core produk seperti business center dan room service dari sebuah hotel.

Sementara enhance core produk adalah service tambahan yang diberikan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah atau yang menjadi diferensiasi perusahaan seperti menyediakan guide untuk tamu hotel yang ingin mengunjungi tempat wisata di daerah tersebut.

Bila semua itu sudah dilakukan perusahaan, maka setidaknya klien mendapatkan nilai tambah ketika berhubungan dengan perusahaan kita. Mereka akan merasakan layanan yang beda antara produk kita dengan produk pesaing. Diferensiasi inilah yang di era legacy marketing bisa menjadi amunisi bagi perusahaan untuk berkompetisi. Tanpa amunisi di medan perang, perusahaan akan menjadi bulan-bulanan musuh. Atajudin Nur

Minggu, 01 Mei 2011

CATI, Metode Riset Pemasaran yang Cepat dan Efisien


Pelaksanaan riset pemasaran membutuhkan teknik wawancara yang tepat. Seiring dengan perkembangan teknologi membuat teknik wawancara dalam riset pemasaran semakin cepat dan efisien.

Secara umum teknik wawancara dalam riset pemasaran terbagi dalam beberapa teknik, yaitu face-to-face interview, mail survey, phone survey, Computer-Assisted Telephone Interviewing (CATI), internet/email survey, dan mobile survey.

Di Indonesia sendiri, teknik wawancara yang paling lazim digunakan oleh hampir semua lembaga riset pemasaran adalah face-to-face interview. Wawancara bisa dilakukan di rumah, di kantor, atau di lokasi tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti. Hampir 90 % pelaksanaan survei kuantitatif di Indonesia dilakukan dengan teknik ini.

Sementara di negara-negara yang memiliki tradisi risetnya sudah baik seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat, teknik wawancara berbasis telephone lebih banyak digunakan dibanding dengan face-to-face interview. Hal itu disebabkan oleh dua faktor yaitu waktu dan biaya. Wawancara menggunakan telephone lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan teknik face-to-face interview.

Teknik wawancara berbasis telephone terbagi menjadi dua yaitu phone interview yang bersifat lebih tradisional dan manual, dan yang kedua adalah CATI yang sudah computerized.

Dalam teknik CATI pewawancara tinggal mengikuti skrip/template pertanyaan yang disediakan oleh aplikasi perangkat lunak (software). Teknik wawancara menggunakan sistem terstruktur berupa pengumpulan data melalui telepon yang dapat mempercepat pengumpulan dan editing data, dan juga memungkinkan pewawancara untuk dapat melakukan wawancara dengan tepat waktu dan mendapatkan data yang lebih akurat. Perangkat lunak ini dapat menyesuaikan alur pertanyaan di kuesioner berdasarkan jawaban dan informasi yang telah diberikan oleh responden.

Keunggulan dan Manfaat CATI
Beberapa keunggulan CATI ini antara lain: Pertama, CATI memberikan peluang peneliti untuk dapat mengontrol secara penuh pelaksanaan risetnya, kuesioner dan sampel yang akan disurvei. Call-back atau pengecekan kembali bisa dilakukan sesuai dengan jadwal, dan peneliti dapat memeriksa status sampel dan kuota sampel dengan cepat.

Kedua, CATI memungkinkan peneliti dapat mengontrol biaya pelaksanaan riset lebih ketat. Peneliti dapat mendeteksi masalah yang dihadapi pewawancara dan produktivitas tim pewawancara. Peneliti bisa melakukan analisa setiap saat ketika wawancara sedang berlangsung.

Ketiga CATI akan meningkatkan kualitas dari hasil riset yang telah dilakukan. Riset ini akan menghasilkan kualitas data yang lebih baik, tidak ada data yang hilang atau tidak terisi, karena semua pertanyaan harus terisi dan akan diperiksa kekonsistenan jawabannya
Keempat, hasil riset dapat diketahui lebih cepat. Proses data entry yang dilakukan sekaligus bersamaan dengan proses wawancara memungkinkan hasil riset langsung bisa diketahui sesaat setelah proses wawancara selesai dilakukan.

Selain itu produktivitas akan lebih baik. Karena pelaksanaan survei lebih lebih sedikit membutuhkan tenaga kerja karena fungsi -fungsi administrasi sudah diambil-alih oleh sistem.

Pelaksanaan riset juga lebih simple. Desain kuesioner dan prosedur sampling dapat dilakukan secara sederhana dan cepat karena prosesnya dibantu oleh sistem komputer.

Namun demikian disamping keunggulan, CATI tetap memiliki keterbatasan. Untuk skala riset yang membutuhkan waktu wawancara lebih dari 15 menit peneliti akan kesulitan jika menggunakan CATI. Begitu juga halnya dengan riset yang banyak menggunakan open-ended question, tidak cocok dengan metode CATI.

CATI akan lebih efektif kalau menggunakan dasar database responden yang besar dan sudah terstruktur dengan rapi. Karena itu industri yang paling baik menerapkan CATI adalah perbankan, asuransi, telekomunikasi, dan otomotif.

Selamat mencoba.
Atajudin Nur

Kamis, 17 Februari 2011

Dengan Konsep New Wave Marketing, Telkom Menggarap UKM


Kecil-kecil cabe rawit, adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kiprah usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. UKM atau dalam bahasa keren-nya SME (Small and Medium Enterprise) memang berskala bisnis kecil. Namun begitu, kontribusi dan skala industrinya bagi negeri ini tidak bisa dipandang remeh.

Bahkan ketika perusahaan-perusahaan besar rontok diterjang badai krisis moneter pada 1998, UKM-UKM masih mampu berdiri. Kesederhaan dan kelangsingan organisasi di UKM membuat badan usaha ini lincah bergerak di saat krisis.

Pertumbuhan dan kontribusi SME terhadap Produk Domestik Bruto Nasional juga terbilang tinggi, yaitu mencapai 54%. Nilai bisnis UKM pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 11,6 triliun dan akan meningkat pada 2011 menjadi Rp 12,87 triliun.

Bila melihat angka tersebut dan jejak rekam UKM, peran mereka dalam pertumbuhan ekonomi nasional cukup besar. Dan bagi pemasar, UKM merupakan pasar yang strategis. Wajar bila ada sejumlah perusahaan swasta maupun BUMN besar yang membidik UKM sebagai pasar mereka, salah satunya adalah Telkom.

Pada awal April 2010 Telkom membentuk divisi baru, Divisi Business Service (DBS) yang khusus menggarap pasar UKM. Selama ini Telkom menggarap pasar ritel dan pasar corporate. Sementara pasar UKM yang memiliki potensi bisnis cukup besar belum tergarap secara maksimal. Di luar bisnis Wartel, kontribusi UKM terhadap Telkom baru di atas 10%.

Divisi Business Center Telkom menghadirkan SME Center sebagai pusat layanan pengembangan UKM. Pendirian SME Center antara lain untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing UKM melalui dukungan solusi lCT (Information and Communication Technology). DBS melayani UKM agar bisa bersaing di pasar domestik dan mancanegara.

Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah mengatakan, SME Center juga bisa menjadi wahana untuk menjalin kerjasama antara UKM dan Telkom, serta memperkenalkan Telkom sebagai Penyedia Solusi Tl. Melalui SME Center, UKM bisa mendapatkan bantuan teknis/solusi dalam pengelolaan bisnis, pemasaran, keuangan, dan desain.

Ada serangkaian faktor yang memengaruhi lanskap bisnis SME, yaitu teknologi, regulasi, budaya (culture), pasar (market), kompetisi, dan pelanggan (customer). Khusus faktor teknologi, erat terkait dengan berkembangnya access dan connectivity berikut jasa-jasa nilai tambah, serta perkembangan teknologi perangkat dan mobilitas. Dari sisi ini, Telkom sebagai operator dengan portofolio layanan terlengkap memiliki kapasitas untuk memberikan dukungan yang maksimal terhadap bisnis SME.

Menurut Executive General Manager Divisi Business Service Telkom Slamet Riyadi, kebutuhan SME terhadap solusi ICT akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya tuntutan efisiensi dan globalisasi. Pemanfaatan solusi berbasis lCT, yang di dalamnya melibatkan sisi aplikasi dan connectivity, merupakan sesuatu yang tak terelakkan ketika perusahaan ingin keluar sebagai pemenang dalam kancah persaingan bisnis.

Apa yang dilakukan Telkom dengan menghadirkan DBS adalah bagian dari praktek New Social Marketing. Dengan kekuatan teknologi, Telkom menggarap komunitas UKM yang jumlahnya sangat besar.

Melalui DBS, Telkom memberikan pelayanan solusi ICT kepada pelanggan SME secara fokus. Solusi ICT ini berfungsi sebagai business enabler yang ditawarkan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan bisnis melalui aplikasi cloud computing berbasis platform as a services (PaaS) seperti e-UKM, e-Koperasi, aplikasi untuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat), aplikasi pendidikan, dan sejenisnya.

DBS juga menjadi tempat communal activation bagi seluruh anggota UKM. DBS mengemban serangkaian fungsi, yakni sebagai etalase pelayanan Telkom, sebagai arena demo layanan, klinik solusi, Virtual Office, dan e-Commerce. DBS juga menggelar program pelatihan rutin yang saat ini bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja, perguruan tinggi, perbankan, dan lembaga-lembaga asosiasi.

Pembentukan DBS sekaligus SME Center bukan sekadar praktek New Wave Marketing. Kehadiran DBS itu sebagai bukti keberpihakan Telkom kepada rakyat. Setidaknya para pelaku bisnis UKM yang gagap teknologi akan sangat terbantu. Dengan bantuan teknologi dan pelatihan, UKM akan semakin eksis di perdagangan internasional.

Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, yang meresmikan SME Center, berharap dengan adanya kepedulian Telkom itu, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin berkurang dari 13,8 % saat ini menjadi kurang dari 8% pada 2014.

Atajudin Nur

Rabu, 16 Februari 2011

Meramu Jazz Sebagai Hiburan dan Bisnis



Kisah Sukses Nazar Noe'man, Chairman Radio KLCBS Bandung



Bagi pengemar sejatinya, jazz memang musik untuk segala usia dan golongan. Jazz bagi mereka bukan musiknya kaum elite dan mapan sebagaimana anggapan banyak orang selama ini.

Tradisi jazz berkembang dari gaya hidup masyarakat kulit hitam di Amerika yang tertindas. Tribal drums, musik gospel, blues, serta teriakan peladang mewarnai musik ini. Proses kelahirannya memperlihatkan bahwa musik jazz berhubungan erat dengan pertahanan hidup dan ekspresi kehidupan.

Nazar Noe’man adalah penggemar jazz. Sejak kecil, anak kedua dari empat bersaudara ini sudah dikenalkan musik jazz dan klasik oleh ayahnya Achmad Noe’man, arsitek terkenal yang merancang Masjid Salman ITB Bandung dan masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sejak kecil telinganya sudah akrab dengan permainan legenda jazz seperti Miles Davis dan Jhon Coltrane.

Bagi Nazar Noe’man, musik jazz bukan sekadar hiburan. Jazz adalah napasnya. Pria yang memiliki nama lengkap Nazar Achnuldy Taufiqurrachim Noe’man ini adalah pemilik radio KLCBS Bandung, yang mengusung musik jazz sebagai jualan utama. Baginya musik jazz tidak sekadar menghibur dan mencerahkan tetapi juga bisa menjual.

Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan Nazar kepada audience KLCBS ketika penulis mewawancarainya beberapa waktu lalu. KLCBS sendiri menjadi radio jazz berwibawa untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Radio ini tidak hanya menyajikan musik tetapi menjadi referensi bagi penikmat jazz.

Perjalanan Panjang KLCBS
KLCBS yang lahir tahun 1982 adalah singkatan dari Karang Layung Citra Budaya Suara. Nama itu sesuai dengan alamat radio ini yang berlokasi di Jl Karang layung 10, Sukajadi Bandung Utara. Studio ini berdampingan dengan rumah Nazar yang berada di sebelahnya.

Nazar berhasil membangun KLCBS lewat racikan musiknya yang digemari beragam usia dan kalangan. Ia yang paham tentang jazz dibantu istri dan anak pertamanya Khirzan Noe’man dalam meramu musik tersebut.

Kesungguhannya meramu musik itulah yang membuat KLCBS selalu dikenang pendengar. Beberapa mantan pelajar dan mahasiswa Bandung merasa kehilangan musik ini ketika harus meninggalkan kota tersebut. Mereka yang bertestimoni di blog KLCBS mengaku, setelah meninggalkan Bandung tidak bisa lagi mendapatkan musik jazz seapik yang disiarkan KLCBS.

Namun belakangan kerinduan mereka terobati. Bukan karena mendengar musik jazz dari stasiun radio lain, tetapi berkat siaran KLCBS yang bisa diakses melalui internet. Teknologi berhasil mendekatkan para penggemar jazz dengan KLCBS. ”Saya senang, KLCBS sudah ada online streamingnya. Ini cukup membantu kerinduan para pendengarnya yang kebetulan punya koneksi internet yang berada jauh dari jangkauan radio,” papar salah seorang penggemar KLCBS.

Dalam menggodok siaran, Nazar memegang teguh cita rasa jazz. Ia meracik musik berdasarkan apresiasi KLCBS dan musikalitas musisi. Dia juga mem¬pertimbangkan aspek pemasar¬an agar radio itu sukses menda¬patkan iklan.

Keterlibatan Nazar dengan radio melalui sejarah yang panjang. Kecintaannya kepada radio dimulai sejak umur 10 tahun. Sejak kecil Nazar suka mengutak-atik masalah keradioan.

Pria yang lahir 19 Februari 1960 ini tinggal dekat kampus ITB di Jalan Ganesha, tempat mangkal mahasiwa teknik elektro yang membuat pemancar radio. Di depan studio radio, Nazar kerap berlama-lama nongkrong hingga ia sering diperingatkan untuk hati-hati agar tidak kesetrum.

Dari hobi dan pengalaman itu, Nazar mencoba membuat pemancar. Mulanya hanya pe-mancar liar, namun akhirnya mendapat izin frekuensi FM 100,55. Pada 1982 ketika KLCBS res¬mi mengudara, secara berani ia memproklamirkan radionya sebagai “The Jazz Wave” atau gelombang jazz. Kemudian, KLCBS menggunakan gelombang FM 100,4.

Selain misi komersial, radionya juga memiliki tanggung jawab memberi informasi yang menarik dan mencerdaskan. Na¬zar juga memasukkan unsur pencerahan lewat siraman rohani singkat yang disiarkan setiap jam, tepat pada pergantian waktu. Dengan KLCBS, ia ingin mengajak pemirsa untuk bersyukur dan merenungi makna hidup.

Ajakan itu berdasarkan pengalaman hidup Nazar yang sukses berkat rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Ketika duduk di kelas II SMA, Nazar terkena glu¬koma hingga mengakibatkan gangguan penglihatan. Berbagai upaya pengobatan telah ditempuh, termasuk ber¬obat ke Belanda, tetapi kurang membantu.

Sejak itu Nazar terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah se¬perti kakak dan adik-adiknya yang menempuh pendidikan di luar negeri. Namun berkat saran ayahnya, ia berhasil memanfaatkan kelebihan pendengarannya dan hobinya terhadap musik jazz dengan mendirikan KLCBS. Lewat radio itu, ia berhasil menjalani hidup dengan penuh makna.


Atajudin Nur