Jumat, 18 November 2011

MENJUAL ADALAH PROSES


Ingatlah bahwa penjualan merupakan sebuah proses. Closing sales atau penjualan, adalah hasil sebuah proses. Closing tidak pernah merupakan single event.

Bayangkan, bagaimana sebuah transaksi penjualan terjadi.

Pertama, kita harus mendapatkan prospek (prospecting). Kemudian melakukan pendekatan (approaching) kepada prospek tersebut. Pada tahap pendekatan ini, kita membangun kepercayaan (rapport) dan mengidentifikasikan kebutuhan prospek.

Setelah mendapat informasi kebutuhan prospek, lalu kita melakukan presentasi penjualan (presenting). Selama presentasi berjalan, kita harus bisa mengenali dan menjawab keragu-raguan prospek (handling objection). Apabila gagal menjawab keragu-raguan atau keberatan sang prospek, dapat dipastikan proses penjualan tidak berlanjut ke penutupan (closing). Lihatlah, sebelum closing minimal ada empat tahapan yang harus dilalui dengan baik. Gagal satu saja, maka penjualan tidak terjadi.

Apakah kita pernah menganalisis efektifitas menjual berdasarkan tahapan-tahapan tadi. Misalnya, bagaimana proses prospecting yang telah kita lakukan? Berapa prospek yang dihasilkan setiap bulannya? Berapa cara yang telah kita pergunakan dalam rangka mendapatkan prospek? Bagaimana pendekatan kita terhadap prospek yang sudah dengan susah payah kita kumpulkan? Sudah efektif atau masih perlu perbaikan?

Bagaimana teknik presentasi kita? Apakah kita sudah cukup baik mengatasi keragu-raguan prospek?
Kesalahan yang sering dilakukan manajer penjualan adalah hanya mengukur kinerja penjualan dari hasil, target penjualan tim tercapai ataukah tidak? Jarang sekali dibahas proses penjualan yang ada dibelakangnya, apakah prosesnya sudah berjalan dengan baik atau perlu ditingkatkan. Karena jika proses penjualan benar dan efektif bisa dipastikan hasilnya pun akan baik.

Kita tidak mengetahui masalah jika hanya mengukur hasilnya saja. Harus ada minimal tiga proses yakni mengukur, mengenali, dan meningkatkan efektivitas proses penjualannya.

Sama seperti saat sir Alex Ferguson mengoptimalkan David Beckham. Kita pun harus mengoptimalkan aktivitas kita untuk memperoleh extraordinary result dengan sumber daya terbatas yang dimiliki.

Sales Motivation

Sabtu, 12 November 2011

There is no Love at The First Sight


Apakah ada cinta pada pandangan pertama? Mungkin jika melihat Julie Estelle, artis yang selalu berpenampilan seksi, kita langsung akan jatuh cinta. Tapi kebanyakan wanita tidak seperti Julie Estelle.

Demikian pula dengan penjualan. Jangan pernah mengharapkan terjadi closing hanya dengan sekali kontak dengan prospek. Jangan mengharapkan first call yang Anda terima hari ini, otomatis akan membawa pulang contract. Sikap mental bersabar seperti ini yang jarang dimiliki para penjual karena mereka punya motto: Close now or Die!

Mereka berlaku seperti itu karena di pelatihan motivasi mereka “dicuci otak” dengan kata-kata yang sama: always Be Closing’, ‘Close now or Die’! Akibatnya, setelah lulus pelatihan penjualan mereka kecewa karena di medan pertempuran asli sangat susah melakukan Close Now and Die! Yang terjadi kebanyakan die-nya daripada close-nya. Akibatnya jelas frustasi.

Bagi penjual yang daya juangnya rendah terselamatkan karena dia menyerah, merenung, lalu membuat strategi baru. Namun bagi penjual daya juangnya luar biasa, penolakan menjadi cambuk semangat: semakin ditolak, semakin jualan! Semakin dibentak prospek, semakin nekad. Akibatnya, bisa dua kemungkinan yakni menjadi penjual yang sukses karena kegigihannya berlandaskan strategi atau menjadi penjual teroris yang berperilaku pantang mundur meski prospek tidak membutuhkan. Akibatnya, dia menjadi teroris bagi pelanggan yang menyebar teror siang malam dengan tawaran produknya.

Ada yang mengibaratkan menjual sama dengan pacaran, bagaimana menerima tanda cinta jika belum mengenal dekat. Demikian menjual, mengenal merupakan awal bangkitnya kepercayaan, dan kepercayaan adalah akarnya penjualan.

Bagaimana kalau kita fokuskan perhatian kita, teknik kita pada stage ini yaitu mengenal lebih dekat, membangun kepercayaan (build rapport), mendapatkan informasi. Mendengar lebih banyak daripada mengeluarkan perkataan. Kebanyakan para salesman, lebih banyak berkata-kata daripada mendengarkan.

Kita perlu tahu, apa saja yang diimpikan prospek? Kebutuhan prospek dan masalahnya? Tujuannya agar kita bisa memformulasikan penawaran produk yang memenuhi kebutuhannya, mengatasi masalahnya, dan merealisasikan impiannya. There is no love at the first sight, kecuali Anda Julie Estelle.

*Sales Motivation

Sabtu, 24 September 2011

Mengubah Alam menjadi Bisnis

Anda jenuh dengan rutinitas sehari-hari? Ingin mencoba aktivitas yang bikin adrenalin bergejolak? Cobalah berpetualang dengan Arung Jeram, Arus Liar. Arus Liar yang menyediakan program outbound tidak hanya memberikan petualangan arung jeram  tetapi juga trekking, hiking, paint ball, dan olahraga petualangan lainnya.

Aktivitas itulah yang disebut dengan layanan one stop shopping adventure dari PT. PT Lintas Jeram Nusantara yang lebih dikenal dengan sebutan Arus Liar. Di sana orang tidak hanya mendapatkan sensasi berarung jeram, tetapi memilih paket menarik sesuai minat dan kebutuhan. Aktivitas arung jeram menjadi pilihan utama tamu-tamu PT Lintas Jeram Nusantara.

Amalia Yunita  adalah orang yang menjadi motor dari perusahaan outbond yang dibangunnya bersama suami dan teman-temannya. Ketika membangun bisnis ini 14 tahun lalu, ia melihat adanya kebutuhan baik yang datang dari individu maupun institusi.

Bagi peserta, olahraga tersebut tidak hanya bisa menghilangkan kebosanan tetapi juga membuat tubuh kembali fresh untuk menghadapi rutinitas hari berikutnya.  Sementara bagi perusahaan, olahraga arung jeram bisa membentuk kekompakan tim.

Alam Begitu Menjanjikan
Olahraga arung jeram yang dirintis Amalia di Indonesia sudah ada sejak tahun 1992. Saat itu, bisnis ini dimulai dari hobby dan belum berbentuk perusahaan. Amalia yang merupakan pecinta alam sejak SMA dan berlanjut semasa kuliah memiliki hobby arung jeram dan ekspedisi. Ia melihat sejumlah sungai di Amerika dibisniskan sebagai lokasi arung jeram dengan segala perlengkapannya.

Untuk itu bersama suami ia mengajak tamu-tamunya yang 100% ekspatriat untuk melakukan aktivitas arung jeram di Indonesia yang memiliki lokasi tidak kalah menarik dengan sungai di luar negeri. Orang asing sudah lebih dulu mengenal olahraga ini di negara asalnya.

Ketika aktivitas ini begitu menjanjikan dari sisi komersial maka pada tahun 1995 Arus Liar berdiri sebagai sebuah badan usaha berbentuk Perusahaan Terbatas. Pada awal berdirinya olahraga ini hanya diminati oleh kaum ekspatriat. Orang Indonesia belum berani, karena mereka belum mengerti dan masih menganggap bahwa arung jeram termasuk aktivitas yang berbahaya. Hal itu terjadi karena kurangnya informasi tentang arung jeram.

Belakangan, setelah sosialisasi informasi yang baik tentang arung jeram, banyak orang Indonesia yang berani mencoba. Sekarang ini, jumlah tamu Arus Liar 80 persen orang Indonesia, sisanya ekspatriat. Peminat arun jeram sudah merambah ke berbagai kalangan.

Ketika ia membuka Arus Liar banyak teman-temannya sesama alumi Trisaksi menyangsikan kelangsungan hidup bisnis ini. Namun karena dikelola dengan baik, bisnis ini bisa menghasilkan dan menghidupi banyak orang, termasuk para penduduk lokal. Ketika dibuka, karyawan Arus Liar hanya 19 orang tetapi kini karyawannya sudah mencapai 150 orang.

Selain Sungai Citarik di Sukabumi, ia melihat masih banyak lokasi wisata di Indonesia yang belum tergarap dengan baik. Padahal Indonesia memiliki potensi alam yang indah, baik untuk aktivitas arung jeram maupun olahraga petualang lainnya.

Bisnis ini tidak terpengaruh krisis ekonomi karena  khalayak sasarannya adalah eksekutif muda yang ingin mencari suasana kehidupan baru di luar pekerjaan kantor. Mereka berani membayar mahal untuk sesuatu yang menghilangkan kejenuhan dan kebosanan dari rutinitas sehari-hari.

Bisnis ini masih menjanjikan. Selain sebagai gaya hidup, cukup banyak orang-orang berduit di perkotaan yang membutuhkan olahraga petualangan ini guna mengobati kejenuhan kehidupan kota. Atajudin Nur

Jumat, 06 Mei 2011

No Woman No Cry, No Sales No Income!


No Woman No Cry adalah judul lagu yang dinyanyikan aktor legendaris Bob Marley. Sementara No Sales No Income adalah kata kunci bagi para sales person untuk menjadi penjual yang baik. Mau tahu bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya.
Pernyataan sales equal income dan no sales no income adalah benar.
Karena untuk menuju sukses orang tidak cukup jika hanya berbekal keahlian profesional saja... Menjadi pintar saja tidak cukup... Bahkan jenius pun tidak cukup...

Mau bukti?
Vincent Van Gough boleh dibilang, pelukis paling jenius. Saking jenius dan visionernya, banyak masyarakat yang tidak bisa mengerti lukisan Van Gough. Akibatnya, banyak karya Van Gough yang tidak laku dijual. Bahkan pernah suatu waktu karena saking miskinnya, dia membakar beberapa lukisannya untuk menghangatkan ruangan.

Dalam soal asmara, Van Gough juga tidak bernasib mujur. Cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Karena berkali-kali ditolak, Van Gough pernah mengiris telinga di depan gadis yang dicintainya. Meski sudah berlumuran darah, tetap saja cintanya ditolak sang gadis pujaan. Sungguh malang nasib pelukis hebat Van Gough, sampai akhir hayat, hidupnya merana, patah hati, dan miskin.

Sebaliknya Pablo Picasso, pelukis yang keahlian melukisnya tidak secanggih Van Gough, bisa hidup makmur dari hasil penjualan lukisan. Lukisan Picasso yang lebih ”market oriented” mudah dipahami orang sehingga laku terjual. Di tambah lagi sebagai pelukis, Picasso mampu dan piawai mempengaruhi pelanggan untuk membeli produknya di atas rata-rata. Dalam film ”Surviving Picasso” yang dibintangi Anthony Hoppkins, digambarkan salah satu trik Picasso menjual lukisannya. Apabila pembelinya wanita, Picasso akan menggunakan magic word: “Nona, sepertinya saya pernah melukis wajah cantik Anda, di mana kita pernah bertemu sebelumnya?” Hati wanita mana yang tidak takluk jika dipuja seperti itu oleh pelukis top sekelas Picasso?

Dengan status ekonomi yang lebih mapan, kehidupan cinta Picasso juga lebih baik daripada Van Gough. Ia menjadi pujaan wanita. Sampai akhir hidupnya, Picasso hidup makmur, senang, dan bahagia.

Sebenarnya perbedaan antara Van Gough dengan Picasso hanya terletak pada satu hal yakni: kemampuan menjual. Picasso mampu mengkombinasikan antara proses keartisan (art sense) dengan penjualan (selling sense)—sesuatu yang tidak pernah dilakukan Van Gough sebelumnya.

Van Gough merupakan representasi dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sangat sedikit profesional yang mempunyai keahlian menjual. Akibatnya, meskipun mereka berhasil membuat produk dengan kualitas terbaik atau mahakarya yang bernilai seni tinggi, produknya tidak bisa terjual. Otomatis secara ekonomi kehidupan para profesional tidak mengalami perbaikan.

Mengapa para profesional banyak yang tidak memiliki keahlian menjual?
Pertama, karena mereka tidak menganggap menjual sebagai bagian dari aktivitas profesionalnya.
Kedua, karena mereka tidak mau belajar.

Saya kan professor, saya tidak mu menjual! Anda saja yang menjual, saya focus memproduksi saja…
Saya kan sekretaris perusahaan, mengapa saya perlu repot belajar selling skill, bos saya pasti akan menaikkan gaji saya karena saya cakap dalam bekerja.

Itulah contoh reaksi spontan para profesional yang diminta menjual atau diminta mengikuti pelatihan penjualan. Mereka menganggap keahlian menjual bukanlah keahlian yang wajib dipelajari dan akan berdampak pada karier atau kehidupan.

Orang yang menempatkan penjualan di sisi inferior adalah orang yang tidak mempunyai indera untuk menjadi makmur, kaya, dan bahagia. Mengapa? Karena penjualan selalu sama dengan pendapatan (sales equals income). Semakin pintar orang menjual, maka semakin banyak pula produk yang akan dijualnya, dan semakin banyak produk yang dijual, maka semakin banyak uang yang masuk ke kantong. Untuk mendapatkan kemakmuran, siapapun harus mau menjual!

Jika paham prinsip penjualan sama dengan pendapatan, siapa pun akan termotivasi dan bangga dengan profesi sebagai penjual (salesman). Setiap orang sukses dan kaya adalah orang yang menempatkan menjual sebagai aktivitas inti dalam kehidupannya. Baik menjual produk jadi kepada orang lain, menjual network, menjual keahlian, menjual keyakinan, dan lain sebagainya.

“Sales equal Income, no Sales No Income” harus menjadi mantra yang selalu diucapkan seorang penjual supaya bersemangat. Mantra ini ampuh mengusir rasa malu, rasa gampang menyerah, takut gagal atau frutasi ketika menjual. Saya pun sering meneriakkannya, sambil mengingat kembali cerita Vincent Van Gough dan Pablo Picasso di atas. Lalu saya putuskan, “Saya akan menjadi seorang Picasso yang sejahtera bukan seorang Van Gough yang pintar namun menderita!”


Sales Motivation

Kamis, 05 Mei 2011

Bukan Sulap Bukan Sihir. Ini adalah Magic Marketing



Magic marketing memang masih baru di Indonesia. Namun begitu, sejumlah manfaat bisa dirasakan perusahaan yang menjalankan trik dan konsep magic marketing dalam aktivitas pemasarannya.

Kompetisi yang semakin ketat dan terjadinya perubahan customer behavior dari rasional ke emotional serta perubahan market yang semakin terfragmentasi menjadi niche-niche market membuat pemasaran cara-cara lama menjadi tidak relevan lagi.

Agar mampu bersaing, customer harus didekati secara personal. Customer butuh layanan yang tidak hanya standar tapi delight, bahkan butuh sesuatu yang tidak terduga.

Banyak perusahaan mengira, butuh dana besar untuk menciptakan kondisi tersebut. Sayangnya kebanyakan perusahaan tidak ingin mengeluarkan biaya yang mahal untuk merespon perubahan market dan perilaku konsumen tersebut. Sebisa mungkin mereka menerapkan prinsip low budget high impact dalam segala aspek.

Untuk itu magic marketing merupakan salah satu solusi menjawab perubahan tersebut. Magic marketing merupakan penggabungan antara teori marketing yang ada dengan keterampilan sulap. Harapannya dengan pemahaman teori marketing digabung dengan keterampilan sulap ini bisa membuat tim sales force mampu bersaing dalam merebut hati konsumennya sehingga tercipta customer for life.

Selain itu magic marketing merupakan aktivitas marketing yang out of the box guna menciptakan ide dan aktivitas pemasaran di luar kebiasaan. Dengan aktivitas itu, diharapkan pemasar mampu memenangkan hati konsumen, memberikan surprising emotional atau curiously approach sehingga konsumen betah berada di dekat mereka atau outlet. Dampaknya, kosumen puas dengan layanan yang ada dan mau menggunakan kembali produk atau layanan kita serta merekomendasikannya kepada pihak lain.

Untuk itulah Herry Budijanto Dragono, sang trainer magic marketing memperkenalkan konsep tersebut kepada khalayak ramai. Herry Budijanto memberi kesempatan para pemasar untuk mengikuti training magic marketing yang dikelolanya.

Ia mengatakan. training yang dikemas secara lengkap (knowledge, attitude, creativity dan skill) ini berbeda dengan training-training yang pernah ada selama ini yang cenderung hanya konseptual saja. Menurutnya, training magic marketing juga mengajarkan (game) untuk keluar dari "price war" yang cenderung mengarah pada "red ocean" yang pelan tapi pasti akan menghancurkan profit perusahaan.

Salah satu materi dalam training ini adalah peserta dilatih trik-trik sulap sederhana yang diharapkan mampu menarik perhatian konsumen. Di awal sesi, peserta dijamin bisa menebak angka, warna dan membengkokkan sendok untuk training basic. Dengan menerapkan konsep-konsep dasar dari magic marketing ini perusahaan keluar dari red ocean dan menciptakan konsep layanan baru dengan memberikan value proposition fun kepada customer.

Di tingkat advance, peserta akan memiliki kemampuan "magic leadership", yakni bagaimana menerapkan konsep leadership yang horizontal dengan staf dan customer. Dengan penerapan konsep tersebut diharapkan leader bisa mengelola perusahaan dengan excellent yang ujung-ujungnya peningkatan profit secara signifikan.

Menurut Budijanto, ia pernah menerapkan magic marketing dalam memimpin armadanya di perusahaan lama. Hasilnya, dalam waktu tiga tahun selama memimpin cabang di perusahaan otomotif nasional di Palembang profit yang diperolehnya meningkat 15 kali lipat. Profit juga meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam waktu satu tahun ketika ia memimpin cabang Semarang. Atajudin Nur