Bagaimanakah nasib industri periklanan nasional pada 2008. Apakah ada angin segar yang membuat industri ini bisa bangkit dan bergairah setelah terpuruk selama tiga tahun terakhir.
Segenap praktisi komunikasi pemasaran nasional berharap tahun 2008 menjadi tahun kebangkitan industri komunikasi pemasaran setelah terpuruk selama beberapa tahun. Harapan mereka kampanye pemasaran dalam berbagai bentuk dan aktivitas promosi gencar dilakukan pemasar agar segenap komponen di industri ini bisa meraih billing sesuai target.
Nielsen Indonesia mencatat dua tahun terakhir terjadi kenaikan belanja iklan nasional sebesar 17 persen dari tahun sebelumnya. Pada Januari hingga November 2005 billing iklan nasional sekitar Rp 23,3 triliun naik menjadi Rp 27,3 triliun pada Januari hingga November 2006. Angka itu naik lagi menjadi Rp 31,8 triliun hingga November 2007. Nielsen memprediksi hingga Desember 2007 billing iklan nasional genap menjadi Rp 35 triliun.
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pada 2008 Nielsen memperkirakan terjadi kenaikan billing iklan sebesar 20 persen, lebih tinggi dari kenaikan tahun-tahun sebelumnya. Faktor yang diharapkan mendukung kenaikan tersebut adalah ajang Olimpiade dan Piala Eropa 2008. Pada 2004 ketika berlangsung kedua ajang tersebut billing iklan nasional naik 32 persen dari tahun sebelumnya.
Penuh Kekhawatiran
Tahun 2002, 2003 dan 2004 adalah tahun emas industri periklanan nasional. Data yang dilansir Harris Thajeb, President Direktur Dentsu Indonesia saat Seminar Cakram bertajuk Prediksi Belanja Iklan 2008 memperlihatkan pada 2002 terjadi kenaikan billing iklan nasional sebesar 34 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2003 billing iklan naik sebesar 46 persen dan pada 2004 sebesar 32 persen.
Beda dengan Nielsen Indonesia, Harris Thajeb lebih realistis dalam memprediksi kenaikan belanja iklan nasional 2008. Meski tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya, billing iklan nasional pada 2008 diperkirakan naik sebesar 11 persen.
Namun sayangnya kenaikan tersebut belum bisa membahagiakan segenap konstituen di industri ini. Pasalnya, pertumbuhan billing iklan nasional tidak menstimulasi pertumbuhan billing biro-biro iklan.
Ia merasa khawatir dengan nasib industri periklanan nasional pada 2008. Hingga akhir 2007 belum muncul tanda-tanda kebangkitan. Sejumlah faktor internal dan eksternal diprediksikan tidak sepenuhnya mendukung kebangkitan industri komunikasi pemasaran nasional.
Perekonomian dunia pada 2008 diperkirakan akan menurun. Penurunan itu terjadi karena melemahnya perekonomian Amerika Serikat akibat diguncang krisis subprime mortgage pada Agustus 2007 dan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai lebih dari US$ 90 per barrel.
Kondisi perekonomian global seperti itu berdampak pada kondisi perekonomian dalam negeri Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap US$ melemah hingga ke posisi Rp 9.400 per US$ dari Rp 9.000 per US$. Penurunan itu berdampak terhadap kenaikan harga barang dalam negeri. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang pada 2007 sebesar 6,3 persen diperkirakan akan lebih rendah menjadi 6 persen pada 2008. Sebuah kemunduran dalam perbaikan ekonomi nasional.
Secara internal, sejumlah event yang ada di tahun 2008, tampaknya belum bisa menggairahkan industri komunikasi pemasaran nasional. Menurut pengamatan Harris, ajang Piala Eropa yang disiarkan kelompok MNC dan ditawarkan kepada pengiklan Indonesia tidak akan sesukses Piala Dunia.
Pertandingan sepak bola tingkat tinggi di Piala Dunia 2006 yang bisa menghipnotis masyarakat dunia belum bisa dikalahkan oleh Euro 2008. ”Selama satu bulan orang rela bangun malam untuk nonton Piala Dunia, tetapi saya tidak yakin jika mereka juga rela menonton Piala Eropa,” paparnya.
Hal serupa juga terjadi untuk ajang Olimpiade. Olimpiade dan Euro 2008 tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan billing biro-biro iklan. Ia meramalkan, tidak banyak pemasar yang akan berpartisipasi dalam kedua event tersebut.
Pengalaman memperlihatkan event Sea Games XXIV di Thailand yang digelar beberapa waktu lalu tidak diminati penonton dan pengiklan. Televisi-televisi swasta hanya menyiarkan kilasan berita tentang SEA Games. Karena tidak menjual, tidak ada televisi swasta yang memiliki program khusus SEA Games XXIV.
Televisi Masih Dominan
Sama seperti tahun 2007, televisi masih menjadi media utama pilihan pengiklan pada 2008. Dari total kue iklan nasional sebesar Rp 31,8 triliun, pada 2007 Nielsen Indonesia mencatat televisi meraih 66 persen atau senilai Rp 21 triliun. Koran berada pada peringkat kedua dengan raihan kue iklan sebesar 30 persen. Sementara majalah dan tabloid meraih kue iklan sebesar Rp 4 persen.
Kategori komunikasi pada 2007 berada di puncak teratas kategori produk yang banyak beriklan di televisi dan koran. Billing iklan kategori komunikasi di televisi pada 2007 sebesar Rp 1,5 triliun, naik 46 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 1,04 triliun. Posisi kedua adalah kategori produk perawatan rambut sebesar Rp 1,3 triliun.
Pada 2008, kategori komunikasi diperkirakan akan tetap berada di posisi teratas kategori produk yang banyak beriklan di televisi dan koran.
Perang operator selular serta handset telepon selular yang makin tajam sejak dua terakhir akan terus berlanjut pada 2008. Operator selular dan perangkat telepon selular akan terus berkampanye guna merebut dan mempertahankan pasar yang ada.
Saat ini Telkomsel masih menjadi pemimpin pasar telepon selular GSM dengan market share sebesar 56 persen. Posisi kedua diraih Indosat sebesar 26 persen dan XL berada di posisi ketiga sebesar 18 persen.
Di kategori CDMA, Telkom Fleksi menjadi pemimpin pasar dengan market share sebesar 43 persen. Posisi kedua diraih Mobile-8 dengan market share sebesar 28 persen dan posisi ketiga dipegang Bakrie Telecom sebesar 24 persen.
Re-alokasi frekuensi CDMA pada gelombang 800 MHz menjadi peluang bagi operator CDMA untuk tumbuh semakin besar. Dengan re-alokasi frekuensi itu semua operator selular memiliki peluang untuk beroperasi dan berkomunikasi secara nasional.
Yanti Agus Marketing Manager Mobile Devices South Asia PT Motorola Indonesia mengutarakan dari tahun ke tahun belanja iklan kategori selular naik sebesar 25 persen. Belanja iklan mereka akan tetap naik pada 2008. Penyebabnya, baik operator maupun perusahaan telepon selular tetap akan menggelontorkan dana berkampanye. “ Dan televisi akan tetap menjadi media beriklan favorit,” ujarnya.
Ia menambahkan, secara alamiah operator selular akan menggenjot kampanyenya di televisi. Sementara dana beriklan yang digelontorkan produsen telepon selular akan berimbang antara televisi dan media cetak. Pasalnya, produsen telepon selular perlu banyak bercerita tentang benefit dan fitur hand phone mereka. Di luar itu aktivitas BTL tetap dilaksanakan.
Meski cukup banyak dana yang akan dikucurkan pemasar pada 2008, namun nasib yang dialami biro-biro iklan diperkirakan belum bisa berubah ke arah yang lebih baik. Sejumlah pemasar sudah semakin cerdas untuk menekan biro iklan dengan agcncy fee seminim mungkin di bawah 3 persen.
Belum lagi pemasar acapkali memisahkan antara kreatif agency dan media placement agency dalam menangani kampanye pemasaran merek mereka. Dengan begitu margin keuntungan yang diperoleh biro iklan tetap kecil.
Kenyataan yang ada di industri komunikasi pada tahun mendatang memang pahit. Namun kenyataan itu harus dihadapi dan bukan dihindari agar industri tetap tumbuh dan bergairah. Atajudin Nur
Selasa, 08 Januari 2008
Rabu, 05 Desember 2007
Memilih Program dan Rubrik Unggulan di Media
Memiliki program dan rubrik unggulan bagi media massa merupakan keharusan. Program atau rubrik unggulan yang bisa menyedot khalayak sasaran akan menjadi jualan utama media kepada pengiklan. Hanya saja hasil riset bisa membuktikan apakah program atau rubrik tersebut benar-benar unggulan atau biasa-biasa saja.
Sah-sah saja bila bisnis media massa berorientasi keuntungan. Layaknya industri lain hidup media massa tergantung pada pemasukan laba, sebagai upah hasil kerja pengelola. Akan tetapi, bila melulu ingin meraup untung, juga tidak benar. Hal itu bertentangan dengan tujuan ideal dari bisnis media massa, yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Sehubungan dengan tujuan komersialnya mencari laba dari penjualan halaman atau slot iklan, pengelola media mau tak mau harus membuat program atau rubrikasi yang laku dijual. Program atau rubrikasi unggulan itulah yang bisa menarik khalayak sasaran, sekaligus pengiklan dan sponsorship.
Dampak Program Unggulan
Bagi televisi, menayangkan program yang benar-benar unggulan membutuhkan anggaran yang cukup besar. Selain untuk pembelian atau produksi program, dana juga terserap untuk promosi di beragam media.
Namun begitu, bila tepat memilih program unggulan dampak yang dihasilkanya tidak tanggung-tanggung. Rating terdongkrak naik dan spot iklan dipenuhi beragam merek yang ingin berpromosi di program tersebut.
Hal itu terjadi di program Piala Dunia 2006 di SCTV. Stasiun televisi ini mengeluarkan dana sekitar US$ 10 juta untuk membeli hak siar program tersebut di Indonesia. Promosi terhadap program unggulan itu dilakukan selama dua tahun, sejak 2004 usai pembelian hak siar Piala Dunia dari Infront Sports & Media WM pada pertengahan 2003. Promosi digelar di beragam media periklanan hingga berakhirnya Piala Dunia pada Juli 2006.
Hasilnya, Piala Dunia 2006 berhasil menyedot banyak pemirsa dan pengiklan. Nielsen Media Research (NMR) mencatat, Piala Dunia 2006 menjadi jawara program televisi dengan rating tertinggi dari Januari hingga November 2006. Rating pertandingan sepakbola Jerman melawan Argentina sebesar 16,0 mengalahkan program lainnya.
Peringkat 10 besar program televisi dengan rating tertinggi hingga November 2006 semuanya diraih program sepakbola Piala Dunia. Posisi ke-10 dipegang pertandingan Inggris melawan Paraguay dengan rating 12,5.
Tiga bulan menjelang Piala Dunia 2006, sekitar 90 persen slot iklan sudah laku terjual. Djarum Super mengambil paket iklan Platinum dan Extra Joss mengambil paket iklan gold. NMR mencatat hingga Oktober 2006 perolehan kotor iklannya—belum dipotong bonus dan diskon—sebesar Rp 2,8 triliun. Dengan angka tersebut memposisikan SCTV berada di peringkat dua besar televisi dengan perolehan iklan tertinggi setelah RCTI (Rp 3,3 triliun).
Di luar sepakbola Piala Dunia program peraih rating tertinggi antara lain, sinetron dari berbagai jenis, film barat pilihan dan ajang lomba mencari bakat. Meski perolehan rating makin mengecil seirama dengan banyaknya stasiun televisi, namun program-program tersebut memiliki peluang untuk duduk di peringkat atas program dengan rating tertinggi.
Ketiga jenis tontonan itu tampaknya tetap menjadi program unggulan televisi pada 2007. Hampir semua televisi swasta nasional memiliki sinetron dari beragam jenis dan segmentasi. Begitu pula dengan film barat pilihan yang akan tayang di semua televisi swasta nasional termasuk TVRI.
Sedangkan untuk program ajang pencari bakat, Indosiar akan tetap melanjutkan program ”AFI 2007” (Akademi Fantasi Indosiar) yang sukses pada 2004. TPI dan RCTI yang sukses menggelar ”KDI” dan ”Indonesia Idol” akan kembali tampil pada 2007.
Bahkan TPI melebarkan sayapnya dengan mencari finalis ”KDI 2007” dari negeri jiran seperti Brunei dan Malaysia. Apakah program ”KDI” akan sesukses tahun 2005 yang berhasil meraih rating tertinggi tahun itu di bawah program ”Rahasia Illahi”. Kita lihat saja nanti.
Mengukur Rubrik Unggulan
Hasil riset menjadi tolak ukur mencari program atau rubrikasi unggulan yang sukses, dalam arti banyak dilihat khalayak sasaran. Kerap kali pengelola media massa menyebut semua program atau rubrikasinya merupakan unggulan. Namun tidak semua program atau rubrikasi tersebut berhasil menarik cukup banyak khalayak sasarannya.
Selain riset jumlah pembaca media cetak, ada pula riset mengenai rubrikasi atau artikel yang paling banyak dibaca orang. Dalam riset gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan (Urban Rural Lifestyle) pertengahan tahun 2006 Polling Center merilis majalah dan tabloid yang paling banyak dibaca serta 10 besar artikel atau rubrikasi yang paling digemari pembaca majalah dan tabloid di perkotaan dan pedesaan.
Untuk masyarakat perkotaan pembahasan mengenai ”mode dan fashion” duduk di peringkat pertama artikel atau rubrikasi paling favorit di majalah dengan jumlah responden sebanyak 21 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”kisah nyata” (9,26 persen), ”infotainment” (5,56 persen), ”masakan” (4,94 persen) dan ”tokoh” (4,94 persen).
Sementara pembahasan mengenai “sepakbola” di tabloid duduk di peringkat pertama rubrik atau artikel paling favorit dengan meraih responden sebanyak 15,56 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”infotainment” (15,38 persen), ”kesehatan” (4,72 persen), ”otomotif” (4,72 persen) dan ”mode atau busana” (4,55 persen).
Urban Rural Lifestyle 2006 adalah penelitian gaya hidup yang dilakukan Polling Center dengan metodologi kuantitatif, tatap muka terhadap 2.000 responden urban dan 2.000 responden rural. Cakupan kota yang disurvei adalah Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar.
Survei rubrikasi terfavorit di majalah dilakukan terhadap 324 orang yang membaca majalah selama satu bulan terakhir, Mei 2006. Sementara responden rubrikasi terfavorit berjumlah 572 orang yang membaca tabloid selama satu bulan terakhir, Mei 2006.
Dalam promosinya cukup banyak pengelola media massa menyebutkan sebagian besar program atau rubrik yang dimilikinya adalah unggulan. Namun riset bisa membuktikan mana saja rubrik atau program yang berhasil meraih banyak khalayak sasaran. Atajudin nur
Sah-sah saja bila bisnis media massa berorientasi keuntungan. Layaknya industri lain hidup media massa tergantung pada pemasukan laba, sebagai upah hasil kerja pengelola. Akan tetapi, bila melulu ingin meraup untung, juga tidak benar. Hal itu bertentangan dengan tujuan ideal dari bisnis media massa, yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Sehubungan dengan tujuan komersialnya mencari laba dari penjualan halaman atau slot iklan, pengelola media mau tak mau harus membuat program atau rubrikasi yang laku dijual. Program atau rubrikasi unggulan itulah yang bisa menarik khalayak sasaran, sekaligus pengiklan dan sponsorship.
Dampak Program Unggulan
Bagi televisi, menayangkan program yang benar-benar unggulan membutuhkan anggaran yang cukup besar. Selain untuk pembelian atau produksi program, dana juga terserap untuk promosi di beragam media.
Namun begitu, bila tepat memilih program unggulan dampak yang dihasilkanya tidak tanggung-tanggung. Rating terdongkrak naik dan spot iklan dipenuhi beragam merek yang ingin berpromosi di program tersebut.
Hal itu terjadi di program Piala Dunia 2006 di SCTV. Stasiun televisi ini mengeluarkan dana sekitar US$ 10 juta untuk membeli hak siar program tersebut di Indonesia. Promosi terhadap program unggulan itu dilakukan selama dua tahun, sejak 2004 usai pembelian hak siar Piala Dunia dari Infront Sports & Media WM pada pertengahan 2003. Promosi digelar di beragam media periklanan hingga berakhirnya Piala Dunia pada Juli 2006.
Hasilnya, Piala Dunia 2006 berhasil menyedot banyak pemirsa dan pengiklan. Nielsen Media Research (NMR) mencatat, Piala Dunia 2006 menjadi jawara program televisi dengan rating tertinggi dari Januari hingga November 2006. Rating pertandingan sepakbola Jerman melawan Argentina sebesar 16,0 mengalahkan program lainnya.
Peringkat 10 besar program televisi dengan rating tertinggi hingga November 2006 semuanya diraih program sepakbola Piala Dunia. Posisi ke-10 dipegang pertandingan Inggris melawan Paraguay dengan rating 12,5.
Tiga bulan menjelang Piala Dunia 2006, sekitar 90 persen slot iklan sudah laku terjual. Djarum Super mengambil paket iklan Platinum dan Extra Joss mengambil paket iklan gold. NMR mencatat hingga Oktober 2006 perolehan kotor iklannya—belum dipotong bonus dan diskon—sebesar Rp 2,8 triliun. Dengan angka tersebut memposisikan SCTV berada di peringkat dua besar televisi dengan perolehan iklan tertinggi setelah RCTI (Rp 3,3 triliun).
Di luar sepakbola Piala Dunia program peraih rating tertinggi antara lain, sinetron dari berbagai jenis, film barat pilihan dan ajang lomba mencari bakat. Meski perolehan rating makin mengecil seirama dengan banyaknya stasiun televisi, namun program-program tersebut memiliki peluang untuk duduk di peringkat atas program dengan rating tertinggi.
Ketiga jenis tontonan itu tampaknya tetap menjadi program unggulan televisi pada 2007. Hampir semua televisi swasta nasional memiliki sinetron dari beragam jenis dan segmentasi. Begitu pula dengan film barat pilihan yang akan tayang di semua televisi swasta nasional termasuk TVRI.
Sedangkan untuk program ajang pencari bakat, Indosiar akan tetap melanjutkan program ”AFI 2007” (Akademi Fantasi Indosiar) yang sukses pada 2004. TPI dan RCTI yang sukses menggelar ”KDI” dan ”Indonesia Idol” akan kembali tampil pada 2007.
Bahkan TPI melebarkan sayapnya dengan mencari finalis ”KDI 2007” dari negeri jiran seperti Brunei dan Malaysia. Apakah program ”KDI” akan sesukses tahun 2005 yang berhasil meraih rating tertinggi tahun itu di bawah program ”Rahasia Illahi”. Kita lihat saja nanti.
Mengukur Rubrik Unggulan
Hasil riset menjadi tolak ukur mencari program atau rubrikasi unggulan yang sukses, dalam arti banyak dilihat khalayak sasaran. Kerap kali pengelola media massa menyebut semua program atau rubrikasinya merupakan unggulan. Namun tidak semua program atau rubrikasi tersebut berhasil menarik cukup banyak khalayak sasarannya.
Selain riset jumlah pembaca media cetak, ada pula riset mengenai rubrikasi atau artikel yang paling banyak dibaca orang. Dalam riset gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan (Urban Rural Lifestyle) pertengahan tahun 2006 Polling Center merilis majalah dan tabloid yang paling banyak dibaca serta 10 besar artikel atau rubrikasi yang paling digemari pembaca majalah dan tabloid di perkotaan dan pedesaan.
Untuk masyarakat perkotaan pembahasan mengenai ”mode dan fashion” duduk di peringkat pertama artikel atau rubrikasi paling favorit di majalah dengan jumlah responden sebanyak 21 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”kisah nyata” (9,26 persen), ”infotainment” (5,56 persen), ”masakan” (4,94 persen) dan ”tokoh” (4,94 persen).
Sementara pembahasan mengenai “sepakbola” di tabloid duduk di peringkat pertama rubrik atau artikel paling favorit dengan meraih responden sebanyak 15,56 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”infotainment” (15,38 persen), ”kesehatan” (4,72 persen), ”otomotif” (4,72 persen) dan ”mode atau busana” (4,55 persen).
Urban Rural Lifestyle 2006 adalah penelitian gaya hidup yang dilakukan Polling Center dengan metodologi kuantitatif, tatap muka terhadap 2.000 responden urban dan 2.000 responden rural. Cakupan kota yang disurvei adalah Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar.
Survei rubrikasi terfavorit di majalah dilakukan terhadap 324 orang yang membaca majalah selama satu bulan terakhir, Mei 2006. Sementara responden rubrikasi terfavorit berjumlah 572 orang yang membaca tabloid selama satu bulan terakhir, Mei 2006.
Dalam promosinya cukup banyak pengelola media massa menyebutkan sebagian besar program atau rubrik yang dimilikinya adalah unggulan. Namun riset bisa membuktikan mana saja rubrik atau program yang berhasil meraih banyak khalayak sasaran. Atajudin nur
Jumat, 23 November 2007
Cerita dan Harapan Tentang Anak
Segala sesuatu yang terjadi pada masa dewasa seseorang berawal dari kejadian di masa kecilnya, baik kesuksesan maupun kegagalan, baik kedewasaan, maupun kedangkalan berpikir. Pendidikan di dalam keluarga sangat berpengaruh, disamping faktor lingkungan lain seperti sekolah maupun tempat bermain. Kegagalan mendidik anak di masa kecil akan terlihat dari perilaku dan watak anak saat dewasa.
Kondisi seperti itulah yang ingin disampaikan kreator iklan layanan masyarakat berjudul “Life is Fast” karya MACS 909. “Life is Fast” adalah potret dari sebagian besar masyarakat di kota besar, terutama Jakarta yang workaholic dan bekerja tanpa mengenal waktu. Mereka kerja keras cari uang buat keluarga tapi lupa bahwa keluarganya tidak hanya hidup dari uang. Mereka susah-payah mengejar karir, tapi lupa pada karir utamanya sebagai orang tua.
Iklan itu menggambarkan seorang bapak yang gagal memberikan waktu dan perhatian cukup bagi anaknya. Bapak ini dengan kekuatan materi dan pengaruhnya cenderung membeli kompensasi dengan memberikan mainan dan menuruti semua kemauan anaknya. Ketika sang anak membutuhkan perhatian, bapak tersebut hanya memberi uang lalu kembali ke kesibukannya sehari-hari.
Tanpa disadari, seiring waktu berjalan, orang tua ini akan terkejut, atau bahkan bisa kecewa, melihat anaknya tiba-tiba sudah tumbuh besar. Parahnya, yang tumbuh hanya fisik sang anak, sementara jiwanya—perilaku dan pola pikirnya--tetap seperti anak-anak. Anak ini tetap ingin dinomorsatukan, ingin dimanja, dan ingin hal lain yang sebelumnya selalu dituruti oleh si orang tua karena kurangnya waktu dan komunikasi yang mereka sempatkan bersama.
Cukup sulit mencari pesan yang terkandung dalam PSA “Life is Fast” hanya dengan sekali melihat iklannya. Kendati PSA ini serius mengkampanyekan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak, namun disampaikan dalam nuansa humor. Orang akan tersenyum saat melihat sang anak yang tiba-tiba tumbuh besar menomplok manja pada punggung sang bapak.
Menurut Stevie Sulaiman (Art Director), iklan ini diharapkan dapat sedikit menggugah para orang tua yang selama ini ignorant terhadap anaknya, dan syukur-syukur menggerakkan hati mereka. Sehingga keluarga mereka bisa jadi keluarga yang lebih baik, dan masyarakat kita bisa jadi masyarakat yang lebih baik. “Karena kami percaya semua berawal dari yang paling kecil dan dasar yakni diri sendiri dan keluarga,” paparnya.
Tema Universal
“Life is Fast” berhasil meraih emas di Pinasthika Adfest 2007 untuk kategori PSA Bawana. Kemenangan iklan ini boleh dibilang fenomenal karena berhasil mengalahkan PSA “Adi” dan “Wati” karya Exist Comm Yogya. Di kategori yang sama PSA Bawana “Adi” dan “Wati” masing-masing meraih perak.
Padahal di dua ajang festival iklan sebelumnya, New York Festivals 2007 dan Adoi Award 2007 iklan garapan Exist Comm ini cukup berjaya. Di New York Festivals iklan Adi memperoleh perunggu, sedangkan di Adoi Award dengan juri asing “Adi” dan “Wati” memperoleh emas. Berkat iklan itu pul Exist Comm berhasil merebut dua emas dari empat emas yang lahir di Adoi Award.
Melihat ketiga iklan tersebut, tampaknya “Adi” dan “Wati” lebih kental nuansa lokalnya ketimbang “Life is Fast”. Tema yang diambil “Life is Fast” bersifat universal karena situasi yang digambarkan bisa ditemukan di mana saja. “Life is Fast” bercerita tentang perilaku masyarakat perkotaan terhadap anak yang tidak
hanya terjadi di kota-kota besar di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Sementara iklan “Adi” dan “Wati” bercerita tentang tentang anak-anak korban gempa Yogyakarta beberapa waktu lalu yang kehilangan orang tua dan rumahnya. Adi dan Wati digarap dalam suasana tragedi yang bisa menyentuh hati orang yang melihatnya. Adi yang kehilangan orang tua mencurahkan hati dan perasaannya pada orang-orangan sawah. Wati juga melakukan hal yang sama, tetapi kepada patung polisi.
Kendati berbeda, namun ketiga iklan tersebut memiliki pesan moral yang sama bagi masyarakat negeri ini, yaitu peduli terhadap anak agar tidak kehilangan masa depan yang lebih baik. “Life is Fast” mengajak kita untuk peduli terhadap anak sendiri, sedangkan “Adi” maupun “Wati” mengajak kita peduli terhadap anak-anak korban bencana alam yang kehilangan masa depan. atajudin nur
Kondisi seperti itulah yang ingin disampaikan kreator iklan layanan masyarakat berjudul “Life is Fast” karya MACS 909. “Life is Fast” adalah potret dari sebagian besar masyarakat di kota besar, terutama Jakarta yang workaholic dan bekerja tanpa mengenal waktu. Mereka kerja keras cari uang buat keluarga tapi lupa bahwa keluarganya tidak hanya hidup dari uang. Mereka susah-payah mengejar karir, tapi lupa pada karir utamanya sebagai orang tua.
Iklan itu menggambarkan seorang bapak yang gagal memberikan waktu dan perhatian cukup bagi anaknya. Bapak ini dengan kekuatan materi dan pengaruhnya cenderung membeli kompensasi dengan memberikan mainan dan menuruti semua kemauan anaknya. Ketika sang anak membutuhkan perhatian, bapak tersebut hanya memberi uang lalu kembali ke kesibukannya sehari-hari.
Tanpa disadari, seiring waktu berjalan, orang tua ini akan terkejut, atau bahkan bisa kecewa, melihat anaknya tiba-tiba sudah tumbuh besar. Parahnya, yang tumbuh hanya fisik sang anak, sementara jiwanya—perilaku dan pola pikirnya--tetap seperti anak-anak. Anak ini tetap ingin dinomorsatukan, ingin dimanja, dan ingin hal lain yang sebelumnya selalu dituruti oleh si orang tua karena kurangnya waktu dan komunikasi yang mereka sempatkan bersama.
Cukup sulit mencari pesan yang terkandung dalam PSA “Life is Fast” hanya dengan sekali melihat iklannya. Kendati PSA ini serius mengkampanyekan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak, namun disampaikan dalam nuansa humor. Orang akan tersenyum saat melihat sang anak yang tiba-tiba tumbuh besar menomplok manja pada punggung sang bapak.
Menurut Stevie Sulaiman (Art Director), iklan ini diharapkan dapat sedikit menggugah para orang tua yang selama ini ignorant terhadap anaknya, dan syukur-syukur menggerakkan hati mereka. Sehingga keluarga mereka bisa jadi keluarga yang lebih baik, dan masyarakat kita bisa jadi masyarakat yang lebih baik. “Karena kami percaya semua berawal dari yang paling kecil dan dasar yakni diri sendiri dan keluarga,” paparnya.
Tema Universal
“Life is Fast” berhasil meraih emas di Pinasthika Adfest 2007 untuk kategori PSA Bawana. Kemenangan iklan ini boleh dibilang fenomenal karena berhasil mengalahkan PSA “Adi” dan “Wati” karya Exist Comm Yogya. Di kategori yang sama PSA Bawana “Adi” dan “Wati” masing-masing meraih perak.
Padahal di dua ajang festival iklan sebelumnya, New York Festivals 2007 dan Adoi Award 2007 iklan garapan Exist Comm ini cukup berjaya. Di New York Festivals iklan Adi memperoleh perunggu, sedangkan di Adoi Award dengan juri asing “Adi” dan “Wati” memperoleh emas. Berkat iklan itu pul Exist Comm berhasil merebut dua emas dari empat emas yang lahir di Adoi Award.
Melihat ketiga iklan tersebut, tampaknya “Adi” dan “Wati” lebih kental nuansa lokalnya ketimbang “Life is Fast”. Tema yang diambil “Life is Fast” bersifat universal karena situasi yang digambarkan bisa ditemukan di mana saja. “Life is Fast” bercerita tentang perilaku masyarakat perkotaan terhadap anak yang tidak
hanya terjadi di kota-kota besar di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Sementara iklan “Adi” dan “Wati” bercerita tentang tentang anak-anak korban gempa Yogyakarta beberapa waktu lalu yang kehilangan orang tua dan rumahnya. Adi dan Wati digarap dalam suasana tragedi yang bisa menyentuh hati orang yang melihatnya. Adi yang kehilangan orang tua mencurahkan hati dan perasaannya pada orang-orangan sawah. Wati juga melakukan hal yang sama, tetapi kepada patung polisi.
Kendati berbeda, namun ketiga iklan tersebut memiliki pesan moral yang sama bagi masyarakat negeri ini, yaitu peduli terhadap anak agar tidak kehilangan masa depan yang lebih baik. “Life is Fast” mengajak kita untuk peduli terhadap anak sendiri, sedangkan “Adi” maupun “Wati” mengajak kita peduli terhadap anak-anak korban bencana alam yang kehilangan masa depan. atajudin nur
Kamis, 08 November 2007
Meraih Untung di Kota Pinggiran Jawa Tengah
Peta persaingan bisnis koran di Jawa Tengah cukup seru. Di provinsi ini, lebih dari tiga koran dari kelompok penerbit besar mengisi pasar suratkabar harian. Kendati Suara Merdeka masih menjadi pemimpin pasar di Semarang dan sekitarnya, namun pemain lain mencoba meraih untung di kota atau kabupaten di luar ibukota provinsi.
Di ibukota provinsi dan sekitarnya popularitas merek Suara Merdeka tidak bisa diragukan lagi. Koran ini selama bertahun-tahun telah menjadi pemimpin pasar di Jawa Tengah, karena berhasil meraih jumlah pembaca dan pengiklan terbanyak di wilayah tersebut.
Namun di sejumlah kota dan kabupaten di sana, sebagai pemimpin pasar Suara Merdeka tampaknya tidak berjalan sendirian. Eksistensi Suara Merdeka di sejumlah daerah tingkat dua di provinsi itu mulai didampingi pemain lain yang tidak bisa dipandang remeh.
Koran milik kelompok Jawa Pos dan Bisnis Indonesia misalnya turut menjadi pemain utama di sejumlah kabupaten atau kotamadya. Koran-koran tersebut berhasil menggarap pasar suratkabar harian di kota-kota pinggiran yang selama ini relatif dikuasai Suara Merdeka. Di daerah Tegal dan sekitarnya hadir Radar Tegal yang lahir dari koran induknya, Radar Cirebon. Koran yang masuk dalam kelompok Jawa Pos ini juga melahirkan Radar Indramayu dan Radar Pekalongan.
Ketika masuk ke daerah eks Karesidenan Surakarta seperti Solo, koran Solopos masih menguasai pasar kota tersebut. Koran milik kelompok Bisnis Indonesia ini telah menjadi ikon kota Solo. Nielsen Media Research mencatat jumlah perolehan iklan Solopos pada 2006 sebesar 21.167 spot, angka tersebut lebih tinggi dari perolehan iklan Suara Merdeka (15.606 spot).
Solopos juga sukses menggarap komunitasnya. Sejak 2001, Solopos menggelar riset Solo Customer Satisfaction Index (SCSI) di kota Solo dan sekitarnya. Riset ini memperlihatkan, brand-brand yang sukses di kota Solo dan sekitarnya baik dalam hal popularitas, market share dan kepuasan pelanggan. Tak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan merek-merek tersebut di sana berkat berkat promosi yang gencar di media massa, khususnya media massa lokal. Solopos berupaya menyakinkan konstituennya, berpromosi itu perlu agar merek tetap hidup dan terjaga di benak khalayak sasarannya.
Pasar Tetap Tumbuh
Kendati Suara Merdeka menjadi pemain lama dan pemimpin pasar, namun pasar suratkabar di daerah tingkat dua di Jawa Tengah tetap tumbuh dan menerima kehadiran pemain baru. Di kota Tegal dan sekitarnya seperti Brebes, Pekalongan, Kendal dan Pemalang, Radar Tegal cukup berhasil mengelola pasar. Dengan oplah 42 ribu eksemplar, koran yang baru berusia enam tahun ini berhasil diterima masyarakatnya.
Guna menjaga keberadaannya, Radar Tegal mengikat komunitasnya dengan rubrikasi dan kegiatan off air. Radar Tegal memiliki rubrik “Daerah” dan “Madani” yang isinya berupa peristiwa dan potret keberhasilan kota Tegal dan sekitarnya yang diulas secara mendalam. Di luar itu Radar Tegal juga memiliki rubrik “Ekbis”, “Olahraga Nasional” dan “Kreasi”.
Koran ini juga berhasil membangun komunitas yang dikenal dengan “Rembug Kampung”. Setiap kegiatan warga di kota tersebut dibantu Radar Tegal dan beritanya dimasukkan dalam koran ini. Misalnya ketika warga kampung ingin membangun gapura atau mengadakan peringatan kemerdekaan RI, Radar Tegal membantu mencari sponsor dan memuat berita tersebut.
Menurut Dirut Radar Tegal, Yanto Utomo kegiatan-kegiatan off air yang dilakukan Radar Tegal itu tidak bisa dijangkau Suara Merdeka secara optimal. Masyarakat di kota tersebut jauh dari perhatian Suara Merdeka karena lokasinya yang jauh dari kantor pusat mereka. Di kota-kota perifer seperti itu, Suara Merdeka hanya memiliki perwakilan atau kontributor, sementara Radar Tegal membangun kantor pusat. ”Kami bisa lebih dekat dengan masyarakat tersebut,” papar Yanto.
Apa yang dikatakan Yanto ada benarnya. Radar Tegal yang lahir pada tahun 2000, kini bisa membangun kantor baru, berupa gedung dua tingkat di atas tanah seluas 1.000 meter persegi dengan nama Graha Pena Radar Tegal. Ketika lahir, koran yang terbit 20 halaman setiap harinya ini dicetak di percetakan milik Radar Cirebon, kini memiliki percetakan sendiri. Bahkan setiap bulan target pendapatan iklannya sebesar Rp 350 juta bisa dipenuhi.
Ia menilai, pasar koran di daerah tingkat dua tetap tumbuh. Kendati sudah ada pemain lama namun jika digarap dengan baik, koran di daerah tingkat dua akan tetap hidup dan berkembang. Hanya saja, yang perlu dilihat adalah kondisi daerah dan pertumbuhan ekonominya.
“Pertumbuhan ekonomi Tegal memang tidak sebagus Cirebon, tapi koran kami tetap hidup di dua kota tersebut. Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi kota, pendapatan Radar Cirebon dua kali lebih besar dari pendapatan Radar Tegal,” bebernya.
Bukan Koran Kotamadya
Sebagai pemain lama sekaligus pemimpin pasar, Suara Merdeka harus terus inovatif dalam mempertahankan supremasinya. Jika tidak, pasar Suara Merdeka di kota pinggiran akan digerus pemain lain yang sama kuatnya dari sisi bisnis dan pengalaman mengelola suratkabar. Kendati bermain di tingkat kotamadya, koran-koran tersebut terbilang sukses dan bisa mengelola komunitasnya dengan baik.
Melihat peta persuratkabaran di Jawa Tengah seperti itu Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka mengutarakan, kondisi tersebut menuntut kepiawaian Suara Merdeka menempatkan diri. Selama ini positioning Suara Merdeka adalah korannya Jawa Tengah, koran yang berbasis di wilayah provinsi bukan kabupaten atau kota. Posisi Suara Merdeka tidak pas dengan semangat otonomi daerah yang berbasis kabupaten atau kota.
Ia menambahkan, positioning sangat terkait dengan segmentasi dan diferensiasi. Korannya Jawa Tengah itulah diferensiasi dan segmentasi Suara Merdeka di tengah-tengah semangat otonomi daerah. Semboyan sebagai perekat komunitas Jawa Tengah justru memperkuat bendera Suara Merdeka ketika yang lain mengarah ke kabupaten dan kotamadya. “Kita membuat orang Magelang kenyang informasi tentang Jawa Tengah, juga membuat orang Purwokerto menikmati kabar baru dari wilayah lain di propinsi ini dan seterusnya,” papar Kukrit.
Ia menambahkan, kompetisi yang sehat justru melahirkan inovasi-inovasi baru. Tanpa kompetisi hidup tidak berkembang. ”Adanya kompetitor membuat kita semakin tahu apa kekurangannya dan kita berharap ke depan akan menjadi lebih baik,” paparnya.
Untuk mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar, Suara Merdeka menurut alumnus San Diego University of California ini senantiasa membuat adanya suatu kepercayaan antara pembaca dan pihaknya. Suara Merdeka adalah koran yang dipercaya masyarakat Jawa Tengah. “Kedepan Suara Merdeka harus terus bisa menjadi bagian masyarakat Jawa Tengah dari berbagai sisi, seperti politik, ekonomi dan lain-lain,” ujarnya.
Dalam upaya mendekatkan merek dengan khalayak sasaran, Suara Merdeka menggelar kegiatan off air dengan konsep part of solution bukan part of problem. Suara Merdeka harus bisa menjadi menjadi mediator yang baik untuk semua kalangan sehingga muncul solusi bermanfaat. Karena itu program off air yang digelar bukan sekadar promosi, tetapi langsung bersentuhan dengan masyarakat banyak dan melibatkan semua elemen.
Tidak mudah untuk mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar. Banyak pemain lain yang juga berupaya menyabet predikat tersebut. Namun pada akhirnya kompetisi yang sehat bermanfaat bagi semua khalayak. Penerbit akan terus-menerus meningkatkan mutu produk, sementara pembaca dan pengiklan akan mendapatkan produk yang lebih baik dari sebelumnya.
Koran Gratis Melanda Asia
Koran gratis bukan cerita baru, karena ia lahir sejak 1947 ketika Dean Lesher menerbitkan koran gratis Contra Costa Times di California AS. Namun dalam perjalanannya, pada 1960 Dean menggabungkan tiga koran di kota tersebut termasuk Contra Costa Times menjadi harian yang biaya pengirimannya ditanggung pembaca.
Koran gratis mulai unjuk kekuatan pada 1995, ketika lahir harian Palo Alto Daily News di Palo Alto California. Dalam usia enam bulan, koran ini untung dengan meraih sedikitnya 100 pengiklan berupa kolom dan iklan display setiap hari.
Pada tahun yang sama, di Stockholm Swedia lahir koran gratis Metro yang diterbitkan oleh Metro International. Koran ini dibagikan di kendaran umum serta pusat pertokoan dan perkantoran. Pada tahun-tahun berikutnya penerbit Metro International melahirkan koran Metro sampai di 63 kota di 17 negara di dunia, seperti Hungaria (1998), Belanda dan Finlandia (1999), Chili dan Italia (2000).
Tidak semua koran gratis Metro hidup dan menguntungkan. Di Swis, Argentina dan Inggris, koran Metro hanya bisa bertahan beberapa bulan setelah terbit. Sementara di Stockholm, Metro sore ditutup setelah enam bulan terbit.
Koran Metro melanda Asia Pasifik lewat edisi perdananya yang terbit di Hong Kong pada 15 April 2002. Koran gratis ini berisi informasi yang ditulis dalam bahasa Cina dan Inggris dengan oplah 300 ribu eksemplar setiap hari.
Metro Hong Kong didistribusikan cuma-cuma kepada penumpang angkutan umum massal di 43 stasiun MRT. Ia juga bisa ditemukan di 50 lokasi pengambilan koran di pusat pertokoan dan perkantoran. “Hongkong adalah tempat yang ideal buat Metro untuk menembus pasar Asia,” papar Pelle Tornberg, CEO Metro International saat launching perdana koran tersebut. Bersamaan dengan peluncuran Metro di Hongkong, pada tahun itu juga Metro International meluncurkan koran gratis di Korea Selatan.
Dari Hong Kong dan Korea Selatan, langkah Metro di Asia Pasifik berlanjut hingga ke Guangzhou Cina, pada Oktober 2006. Pada masa-masa awal, koran ini terbit tiga kali seminggu yakni pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Koran yang ditujukan kepada khalayak sasaran menengah atas ini dicetak 300 ribu eksemplar yang dibagikan di stasiun angkutan umum dan pusat perkantoran.
Koran Gratis di Indonesia
Koran gratis juga melanda Indonesia, bukan diterbitkan oleh kelompok Metro International tetapi penerbit Indonesia, yakni kelompok Bali Post. Koran yang lahir pada 3 Januari 2007 ini bernama Bisnis Jakarta ditujukan kepada khalayak sasaran menengah atas dan dibagikan gratis di stasiun kereta api dan pusat keramaian lainnya. Bisnis Jakarta juga dikirim langsung ke kantor biro iklan, produsen, dan kantor pemerintahan di Jakarta dan sekitarnya.
Setiap hari, sejak pukul 6.00 WIB hingga 10.00 WIB sebanyak 10 ribu eksemplar koran Bisnis Jakarta dibagikan gratis kepada penumpang kereta api ekspres Bogor- Jakarta. Keberadaan koran gratis Bisnis Jakarta di kereta api membuat sengit persaingan koran di kawasan jalur kereta api Jakarta-Bogor. Koran Kompas yang awalnya dijual Rp 2.500 oleh pengasong turun harganya menjadi Rp 1.000. Begitu pula koran Tempo yang semula dijual Rp 1.500 menjadi Rp 1.000.
Menurut Satria Narada, Pemimpin Redaksi Bisnis Jakarta, kehadiran koran gratis Bisnis Jakarta setidaknya untuk menggairahkan kembali bisnis koran yang mulai meredup karena kehadiran media elektronik, khususnya televisi.
Perolehan Iklan
Perolehan iklan koran di Asia pasifik cukup bagus. Asian Federation of Advertising Associations mencatat pada 2006 koran berhasil meraih kue iklan sebesar 24 persen dari keseluruhan perolehan iklan Asia Pasifik. Angka tersebut berada di bawah perolehan iklan televisi sebanyak 55 persen dan di atas majalah dan radio, masing-masing lima dan empat persen.
Dari 13 negara, hanya empat negara di Asia Pacifik yang perolehan iklan koran lebih besar dari iklan televisi. Keempat negara tersebut adalah Australia, India, Malaysia dan Korea Selatan.
Perolehan iklan koran di Australia sebesar US$ 3,7 miliar dan televisi US$ 2,5 miliar dengan kategori produk retail sebagai penyokong utama kue iklan. Koran di India berhasil meraih kue iklan nasional sebesar US$ 1,3 miliar dan televisi US$ 1,1 miliar. Kategori makanan dan minuman duduk di peringkat pertama produk yang banyak beriklan di India.
Perolehan iklan koran di Malaysia sebesar US$ 735 juta dan televisi US$ 368 juta dengan kategori komunikasi sebagai produk yang paling banyak beriklan. Sementara perolehan iklan koran di Korea Selatan US$ 4 miliar dan perolehan iklan televisi US$ 2,3 miliar. Iklan jasa layanan menduduki peringkat pertama kategori yang paling banyak beriklan di Korea Selatan.
Bercermin dari empat negara tersebut, masa depan koran cukup cerah. Kendati televisi masih mendominasi perolehan iklan di Asia Pasifik dan Indonesia, namun koran tidak akan tergusur. Kedua media tersebut memiliki pasar yang berbeda serta kelebihan tersendiri dalam menjangkau khalayak sasaran. atajudin
Langganan:
Postingan (Atom)