Saya pernah kedatangan seorang penjual mesin fotocopy yang menawarkan produknya kepada saya. Selama hampir setengah jam atau lebih, yang saya dengar darinya kehebatan mesin tersebut: irit, tajam hasil kopiannya, dan lain sebagainya.
Sebenarnya dalam hati saya ingin berteriak, “I don’t care! emangnya gue pikirin!” Karena yang saya butuhkan solusi bukan fitur fitur yang ada di kotak besar itu. Yang saya perhatikan adalah cara mesin itu meningkatkan efisiensi bisnis secara keseluruhan, bagaimana sebenarnya peran fotokopi itu untuk memudahkan bisnis, membuatnya lebih berkembang, lebih mendatangkan pelangggan, dan seterusnya.
Artinya, yang saya butuhkan adalah customer focus! We are not selling a matras, we are selling a good sleep! Begitu kata sebuah iklan kasur pegas. Saya tidak butuh fitur yang saya butuhkan adalah solusi.
Oleh karena itu, seharusnya sebelum jatuh cinta ke produk, seorang penjual harus jatuh cinta kepada pelanggan terlebih dahulu. Kesalahan terbesar para penjual adalah terlalu terobsesi ke produk. Jadi tidak heran saat menjual mereka selalu menonjolkan functional benefit produk dan tidak peduli pada masalah pelanggan. Penawaran yang dipresentasikan ke prospek hanya ingin menegaskan bahwa “kecapnya nomor satu.”
Center of attention dari penjual adalah meningkatkan kesejahteraan pelanggan, melalui aktivitas, proses, produk, dan jasa yang kita sediakan. Bukan hanya berusaha menonjolkan kelebihan produk dan service kita dari sisi features dan functional benefit.
Mulai sekarang kita sebagai penjual harus mengubah cara pandang dari: Apa yang harus saya katakan agar prospek mau membeli? Menjadi: Apa yang bisa saya berikan untuk pelanggan sehingga mereka puas?
Kita berusaha menjadi value generator yang senantiasa memberikan nilai tambah dengan senantiasa memperbaiki diri. Continuous and Never Ending Improvement!
sales motivations
Senin, 20 Februari 2012
Sabtu, 18 Februari 2012
Senjata Dahsyat Itu Bernama Empati
Kalau terus menerus melatih sensitivitas emosi, kemungkinan kita akan bisa merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan pelanggan. Inilah yang disebut empati.
Empati adalah senjata yang dahsyat. Jika benar-benar bisa berempati, maka kita menjadi satu dengan prospek. Kita tahu apa kebutuhannya, kita merasakan apa yang dikuatirkannya, dan kita menjiwai keberatan-keberatannya. Bukankah itu akan membuat kita lebih efektif dalam memberikan penawaran (offer), membangun rapport, handling objections dan closing the deal.
Membangun empati artinya kita mengatakan pada diri kita, “Saya merasakan apa yang orang lain rasakan, dan saya mengerti permasalahannya”. I feel the way you feel, I understand what your problems are and Let me help you.
Contohnya, saya paham bahwa setiap debitur yang mengajukan kredit ke bank akan marah jika dibiarkan menggantung—tidak mendapatkan keputusan secepatnya. Oleh karenanya, kemudian saya membuat prosedur standar untuk memproses pengajuan kredit diantaranya: 1 hari menemui pelanggan, 3 hari kelengkapan dokumen, dan 2-3 hari persetujuan kredit. Standar waktu pemrosesan kredit ini berguna untuk menciptakan harapan kualitas di benak pelanggan yang memudahkan sebuah bank untuk menciptakan kepuasan pelanggan. Standar pelayanan lain terus saya bangun yang membuat penawaran bank saya lebih baik daripada pesaing.
Kalau kita tidak senang antri, kemungkinan besar orang lain juga tidak senang mengantri. Solusinya tentu saja kita harus memikirkan cara agar dalam SOP servis kita orang tidak perlu mengantri, atau kalaupun harus mengantri telah disediakan perlakukan khusus sehingga orang tidak bosan mengantri. Misalnya dengan menyediakan buku-buku bacaan, film, dan musik.
Bukankah dengan cara sederhana ini saja, kita bisa lebih menyenangkan pelanggan kita? Bukankah dengan terus menerus berempati, kita secara tidak langsung menyempurnakan produk dan layanan? Bukankah dengan demikian kita telah committed to excellence? Bukankah pada akhirnya kita bisa menciptakan keunggulan kompetitif dibandingkan dengan para kompetitor?
Alkisah saya berkunjung ke sebuah perusahaan saat jam makan siang. Setelah masuk, saya dipersilahkan menunggu karena petugas yang sedianya akan melayani saya sedang istirahat siang. Terpaksa saya membuang waktu untuk menunggu. Seandainya perusahaan ini berempati, tentunya dia tidak akan membiarkan pelanggan setianya menunggu terlalu lama. dia akan membuat jam kerja gilir sehingga tetap ada petugas yang melayani meskipun telah masuk jam makan siang.
Hal-hal sederhana seperti ini sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan namun jarang yang menghayati dan mau konsisten melakukannya. Padahal jika konsisten dengan empati, hal-hal yang sepintas kelihatannya sederhana ini akan menjadi sumber diferensiasi yang kokoh bagi sebuah perusahaan.
Proses selanjutnya adalah cara penjual menjawab semua keberatan, keragu-raguan yang ada dalam diri pelanggan. Ketika melakukan proses di atas berarti kita telah melatih empati kita. Jika kita fokus dan terus menerus mencoba menjawab keberatan dan keragu-raguan pelanggan, maka sebenarnya kita telah berada di jalan yang benar—senantiasa membangun nilai tambah.
Banyak diantara kita yang tidak bisa mengartikulasikan perasaannya. Mereka menginginkan sesuatu, mereka merasakan sesuatu, mereka keberatan akan sesuatu, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. It is a silent majority!
Ketika kita berempati, merasakan apa-apa yang tidak terucapkan. Mengerti permasalahan yang tidak terekspose. We can read between the line!
sales motivations
Jumat, 10 Februari 2012
Ketika Kapolri Timur Pradopo Galau
Kalau boleh jujur, sebenarnya suara Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo tidak merdu-merdu amat. Serak-serak basah, atau lebih tepatnya nge-bass. Namun karena lagu yang dinyanyikannya sedang hot di kalangan anak muda, dan band yang mengiringinya benar-benar piawai, Bhayangkara Wind Orchestra, lagu Kehilangan-nya Firman Idol terdengar renyah di kuping para hadirin, yakni para pengusaha, perwira menengah dan tinggi yang hadir di acara Jakarta CMO Club di Mabes Polri beberapa hari lalu.
Tidak ada protes dari para pendengar. Bukan karena mereka takut yang menyanyi Kapolri. Tetapi yang muncul adalah tepuk tangan dan rasa kagum. Karena Timor Pradopo menyanyi dengan hati dan perasaan. Meski pun lagu itu merupakan satu-satunya lagu yang bisa ia nyanyikan. Bahkan jika disuruh milih, antara lari dan nanyi, ia akan memilih lari. Namun menyanyi itu ia lakukan demi hubungan yang baik antara tuan rumah dan tamu.
Lagu berjudul Kehilangan merupakan ungkapan galau Timor Pradopo. Jika Firman menyanyikan lagu tersebut karena ia menyesal kehilangan kekasihnya dan ingin kembali mengulang kisah cinta yang lama. Beda dengan Kapolri Timur Pradopo. Ia galau karena tidak ingin kebersamaan dengan tamunya para pengusaha segera berakhir. Dan ia ingin lagu itu menjadi kenangan manis para hadirin ketika pulang ke tempat masing-masing.
Mengutip kata-kata Plato, menurut Timur Pradopo, maju tidaknya suatu negara karena tiga unsur, yakni cendekiawan, militer (polisi) dan pengusaha. Jika polisi dan pengusaha bersinergi dengan baik, maka negara bisa maju. “Karena Polri memiliki kewajiban untuk melindungi dunia usaha di Indonesia agar bisa berbisnis dengan aman dan bisa bersaing di dunia internasional,” papar Timur.
“Sejujurnya, ku tak bisa
Hidup tanpa ada kamu aku gila
Seandainya kamu bisa
Mengulang kembali lagi cinta kita
Takkan ku sia-siakan kamu lagi”
Rabu, 18 Januari 2012
Mau Jadi Rambo atau Sniper
Sebagian besar dari Anda pasti sudah pernah melihat film Rambo dan Sniper. Kedua film tersebut sering diputar di stasiun televisi nasional. Mungkin sebagian besar dari Anda sudah hapal jalan ceritanya.
Coba Anda perhatikan bagaimana cara Rambo dan tokoh utama film Sniper menembak? Kalau Rambo cenderung menembak dengan cara membabi buta dan memuntahkan peluru ratusan butir hanya untuk sebuah target. Sepertinya dia tidak tahu mahalnya sebutir peluru M16. Kebalikannya, Sniper menembak dengan sangat hati-hati, satu peluru hanya untuk satu orang sasaran dan tidak boleh gagal. Istilahnya, one shoot, one down.
Bagi saya, cara menembak Sniper adalah contoh tindakan yang efektif, sedangkan cara Rambo adalah contoh tindakan yang memboroskan sumber daya. Dalam situasi serba terbatas seperti sekarang ini—baik waktu, tenaga, maupun uang— kemampuan mengelola efektivitas menjadi faktor kunci penentu kesuksesan seseorang.
Sayangnya banyak penjual yang tidak menyadari perubahan ini dan masih mengembangkan pendekatan penjualan gaya lama: menjual dengan gaya Rambo. Seakan-akan semua orang pasti membutuhkan barang. Padahal tidak ada satu pun produk di dunia ini yang cocok untuk semua orang dan untuk semua situasi. Bahkan untuk produk atau servis terbaik sekalipun, harus dirancang khusus (segmented) untuk segmen market tertentu.
Demikian pula ketika proses prospecting harus didesain agar semaksimal mungkin mendekati target market yang sesuai. Inilah mengapa saya lebih senang mendapat prospek dari referral orang lain karena sudah segmented sekali—99% pasti cocok dengan spesifikasi produk yang kita tawarkan.
Jika penjual mengasumsikan semua orang adalah target market-nya, maka dia pun akan menawarkan produknya ke setiap orang yang dijumpainya. Padahal sangat sedikit orang yang memiliki kebutuhan yang sama kecuali yang dijual adalah sabun mandi. Sabun mandi pun sekarang beraneka ragam dan orang memiliki preferensi produk tertentu. Orang yang biasa memakai sabun mandi cair pasti menolak jika ditawari produk sabun mandi batangan. Itu hanya soal bentuk, belum bicara mengenai kandungan produk lebih dalam lagi, misalnya mengandung sulfur, wangi lavender, herbal, dan sebagainya.
Akibatnya, jelas penjual bergaya Rambo sekarang akan mendapat penolakan lebih sering dari para pendahulunya. Ingatlah selalu bahwa teknik menjual yang bagaimanapun tidak akan berhasil, jika produk ditawarkan pada prospek yang salah. Sebaliknya, jika prospeknya benar, dengan sedikit pendekatan saja penjualan bisa terjadi.
sales motivation
Coba Anda perhatikan bagaimana cara Rambo dan tokoh utama film Sniper menembak? Kalau Rambo cenderung menembak dengan cara membabi buta dan memuntahkan peluru ratusan butir hanya untuk sebuah target. Sepertinya dia tidak tahu mahalnya sebutir peluru M16. Kebalikannya, Sniper menembak dengan sangat hati-hati, satu peluru hanya untuk satu orang sasaran dan tidak boleh gagal. Istilahnya, one shoot, one down.
Bagi saya, cara menembak Sniper adalah contoh tindakan yang efektif, sedangkan cara Rambo adalah contoh tindakan yang memboroskan sumber daya. Dalam situasi serba terbatas seperti sekarang ini—baik waktu, tenaga, maupun uang— kemampuan mengelola efektivitas menjadi faktor kunci penentu kesuksesan seseorang.
Sayangnya banyak penjual yang tidak menyadari perubahan ini dan masih mengembangkan pendekatan penjualan gaya lama: menjual dengan gaya Rambo. Seakan-akan semua orang pasti membutuhkan barang. Padahal tidak ada satu pun produk di dunia ini yang cocok untuk semua orang dan untuk semua situasi. Bahkan untuk produk atau servis terbaik sekalipun, harus dirancang khusus (segmented) untuk segmen market tertentu.
Demikian pula ketika proses prospecting harus didesain agar semaksimal mungkin mendekati target market yang sesuai. Inilah mengapa saya lebih senang mendapat prospek dari referral orang lain karena sudah segmented sekali—99% pasti cocok dengan spesifikasi produk yang kita tawarkan.
Jika penjual mengasumsikan semua orang adalah target market-nya, maka dia pun akan menawarkan produknya ke setiap orang yang dijumpainya. Padahal sangat sedikit orang yang memiliki kebutuhan yang sama kecuali yang dijual adalah sabun mandi. Sabun mandi pun sekarang beraneka ragam dan orang memiliki preferensi produk tertentu. Orang yang biasa memakai sabun mandi cair pasti menolak jika ditawari produk sabun mandi batangan. Itu hanya soal bentuk, belum bicara mengenai kandungan produk lebih dalam lagi, misalnya mengandung sulfur, wangi lavender, herbal, dan sebagainya.
Akibatnya, jelas penjual bergaya Rambo sekarang akan mendapat penolakan lebih sering dari para pendahulunya. Ingatlah selalu bahwa teknik menjual yang bagaimanapun tidak akan berhasil, jika produk ditawarkan pada prospek yang salah. Sebaliknya, jika prospeknya benar, dengan sedikit pendekatan saja penjualan bisa terjadi.
sales motivation
Sabtu, 14 Januari 2012
Makin Waras, Makin Baik
Selalu ada jarak antara kejadian dengan responnya. Beberapa kali misalnya, kita baru tersadar setelah sesuatu menimpa kita. Hal-hal sepele seperti meletakkan kunci mobil pada tempatnya. Karena tidak sadar manfaatnya, kita tidak pernah disiplin melakukan dengan rapi dan teratur. Akibatnya, saat pergi ke kantor dengan kondisi terburu-buru, kita sering lupa. Mencari ke sana-kemari hingga membuang waktu dan energi. Bagaimana jika kesadaran meletakkan kunci di tempatnya telah ada sebelum kejadian itu? Berapa aset berupa waktu dan emosi positif yang bisa kita hemat?
Karena itu, jika kita bisa memanfaatkan kesadaran (kewarasan), kita bisa melakukan sesuatu dengan benar dari awal sebelum kejadian menimpa (proaktif), dan dampaknya akan luar biasa.
Bagaimana caranya supaya kita bisa proaktif?
Gampang yakni memahami respon yang benar atas sebuah kejadian yang kita lakukan. Apakah dengan melakukan tindakan A akan menyebabkan hasil B ataukah C? Apakah sebuah keputusan akan menghantar kita kepada kesuksesan ataukah tidak. Kesadaran adalah langkah awal menuju efektivitas. Awareness is the first step to effectiveness.
Misalnya, mengapa pandangan orang cenderung negatif terhadap profesi penjual? Karena sebagaian besar orang menganggap terlalu banyak faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol ketika menjual produk, sehingga profesi menjual bukanlah profesi yang menjanjikan kesuksesan. Padahal faktanya, banyak hal yang bisa kita kontrol dalam proses penjualan kalau kita mau menyadari dan mau melakukannya. Fokus dan keyakinan bisa dikontrol asal kita berusaha. Gerakan yang benar akan membantu kita mendapatkan kondisi puncak emosi yang optimal untuk meraih kesuksesan.
Kesadaran adalah buah dari komunikasi internal yang kita jalin antara otak dan hati. Apakah sebuah kejadian benar atau tidak, berprospek atau tidak, bermanfaat atau tidak, merugikan atau tidak.
Coba renungkan, apa penyebab kegagalan Anda selama ini? Apakah karena faktor eksternal ataukah karena gagal berdialog dengan kesadaran yang Anda miliki?
Kita gagal karena terlalu sering ‘terhanyut ’ oleh arus. Ikut pendirian orang lain, pandangan kelompok, ukuran umum, dan lain sebagainya. Kita jarang mau membuat ukuran pencapaian kita sendiri: apa definisi sukses dan gagal yang kita kehendaki, tidak usah ikut dengan penilaian orang. Ada teman bijaksana yang mengatakan: “ Dalam hidup di dunia, sebenarnya kita terlalu sering menjadi “bebek tersesat” daripada “bebek yang memiliki tujuan.”
Sales Motivation
Langganan:
Postingan (Atom)