Memiliki program dan rubrik unggulan bagi media massa merupakan keharusan. Program atau rubrik unggulan yang bisa menyedot khalayak sasaran akan menjadi jualan utama media kepada pengiklan. Hanya saja hasil riset bisa membuktikan apakah program atau rubrik tersebut benar-benar unggulan atau biasa-biasa saja.
Sah-sah saja bila bisnis media massa berorientasi keuntungan. Layaknya industri lain hidup media massa tergantung pada pemasukan laba, sebagai upah hasil kerja pengelola. Akan tetapi, bila melulu ingin meraup untung, juga tidak benar. Hal itu bertentangan dengan tujuan ideal dari bisnis media massa, yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Sehubungan dengan tujuan komersialnya mencari laba dari penjualan halaman atau slot iklan, pengelola media mau tak mau harus membuat program atau rubrikasi yang laku dijual. Program atau rubrikasi unggulan itulah yang bisa menarik khalayak sasaran, sekaligus pengiklan dan sponsorship.
Dampak Program Unggulan
Bagi televisi, menayangkan program yang benar-benar unggulan membutuhkan anggaran yang cukup besar. Selain untuk pembelian atau produksi program, dana juga terserap untuk promosi di beragam media.
Namun begitu, bila tepat memilih program unggulan dampak yang dihasilkanya tidak tanggung-tanggung. Rating terdongkrak naik dan spot iklan dipenuhi beragam merek yang ingin berpromosi di program tersebut.
Hal itu terjadi di program Piala Dunia 2006 di SCTV. Stasiun televisi ini mengeluarkan dana sekitar US$ 10 juta untuk membeli hak siar program tersebut di Indonesia. Promosi terhadap program unggulan itu dilakukan selama dua tahun, sejak 2004 usai pembelian hak siar Piala Dunia dari Infront Sports & Media WM pada pertengahan 2003. Promosi digelar di beragam media periklanan hingga berakhirnya Piala Dunia pada Juli 2006.
Hasilnya, Piala Dunia 2006 berhasil menyedot banyak pemirsa dan pengiklan. Nielsen Media Research (NMR) mencatat, Piala Dunia 2006 menjadi jawara program televisi dengan rating tertinggi dari Januari hingga November 2006. Rating pertandingan sepakbola Jerman melawan Argentina sebesar 16,0 mengalahkan program lainnya.
Peringkat 10 besar program televisi dengan rating tertinggi hingga November 2006 semuanya diraih program sepakbola Piala Dunia. Posisi ke-10 dipegang pertandingan Inggris melawan Paraguay dengan rating 12,5.
Tiga bulan menjelang Piala Dunia 2006, sekitar 90 persen slot iklan sudah laku terjual. Djarum Super mengambil paket iklan Platinum dan Extra Joss mengambil paket iklan gold. NMR mencatat hingga Oktober 2006 perolehan kotor iklannya—belum dipotong bonus dan diskon—sebesar Rp 2,8 triliun. Dengan angka tersebut memposisikan SCTV berada di peringkat dua besar televisi dengan perolehan iklan tertinggi setelah RCTI (Rp 3,3 triliun).
Di luar sepakbola Piala Dunia program peraih rating tertinggi antara lain, sinetron dari berbagai jenis, film barat pilihan dan ajang lomba mencari bakat. Meski perolehan rating makin mengecil seirama dengan banyaknya stasiun televisi, namun program-program tersebut memiliki peluang untuk duduk di peringkat atas program dengan rating tertinggi.
Ketiga jenis tontonan itu tampaknya tetap menjadi program unggulan televisi pada 2007. Hampir semua televisi swasta nasional memiliki sinetron dari beragam jenis dan segmentasi. Begitu pula dengan film barat pilihan yang akan tayang di semua televisi swasta nasional termasuk TVRI.
Sedangkan untuk program ajang pencari bakat, Indosiar akan tetap melanjutkan program ”AFI 2007” (Akademi Fantasi Indosiar) yang sukses pada 2004. TPI dan RCTI yang sukses menggelar ”KDI” dan ”Indonesia Idol” akan kembali tampil pada 2007.
Bahkan TPI melebarkan sayapnya dengan mencari finalis ”KDI 2007” dari negeri jiran seperti Brunei dan Malaysia. Apakah program ”KDI” akan sesukses tahun 2005 yang berhasil meraih rating tertinggi tahun itu di bawah program ”Rahasia Illahi”. Kita lihat saja nanti.
Mengukur Rubrik Unggulan
Hasil riset menjadi tolak ukur mencari program atau rubrikasi unggulan yang sukses, dalam arti banyak dilihat khalayak sasaran. Kerap kali pengelola media massa menyebut semua program atau rubrikasinya merupakan unggulan. Namun tidak semua program atau rubrikasi tersebut berhasil menarik cukup banyak khalayak sasarannya.
Selain riset jumlah pembaca media cetak, ada pula riset mengenai rubrikasi atau artikel yang paling banyak dibaca orang. Dalam riset gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan (Urban Rural Lifestyle) pertengahan tahun 2006 Polling Center merilis majalah dan tabloid yang paling banyak dibaca serta 10 besar artikel atau rubrikasi yang paling digemari pembaca majalah dan tabloid di perkotaan dan pedesaan.
Untuk masyarakat perkotaan pembahasan mengenai ”mode dan fashion” duduk di peringkat pertama artikel atau rubrikasi paling favorit di majalah dengan jumlah responden sebanyak 21 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”kisah nyata” (9,26 persen), ”infotainment” (5,56 persen), ”masakan” (4,94 persen) dan ”tokoh” (4,94 persen).
Sementara pembahasan mengenai “sepakbola” di tabloid duduk di peringkat pertama rubrik atau artikel paling favorit dengan meraih responden sebanyak 15,56 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”infotainment” (15,38 persen), ”kesehatan” (4,72 persen), ”otomotif” (4,72 persen) dan ”mode atau busana” (4,55 persen).
Urban Rural Lifestyle 2006 adalah penelitian gaya hidup yang dilakukan Polling Center dengan metodologi kuantitatif, tatap muka terhadap 2.000 responden urban dan 2.000 responden rural. Cakupan kota yang disurvei adalah Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar.
Survei rubrikasi terfavorit di majalah dilakukan terhadap 324 orang yang membaca majalah selama satu bulan terakhir, Mei 2006. Sementara responden rubrikasi terfavorit berjumlah 572 orang yang membaca tabloid selama satu bulan terakhir, Mei 2006.
Dalam promosinya cukup banyak pengelola media massa menyebutkan sebagian besar program atau rubrik yang dimilikinya adalah unggulan. Namun riset bisa membuktikan mana saja rubrik atau program yang berhasil meraih banyak khalayak sasaran. Atajudin nur
Rabu, 05 Desember 2007
Jumat, 23 November 2007
Cerita dan Harapan Tentang Anak
Segala sesuatu yang terjadi pada masa dewasa seseorang berawal dari kejadian di masa kecilnya, baik kesuksesan maupun kegagalan, baik kedewasaan, maupun kedangkalan berpikir. Pendidikan di dalam keluarga sangat berpengaruh, disamping faktor lingkungan lain seperti sekolah maupun tempat bermain. Kegagalan mendidik anak di masa kecil akan terlihat dari perilaku dan watak anak saat dewasa.
Kondisi seperti itulah yang ingin disampaikan kreator iklan layanan masyarakat berjudul “Life is Fast” karya MACS 909. “Life is Fast” adalah potret dari sebagian besar masyarakat di kota besar, terutama Jakarta yang workaholic dan bekerja tanpa mengenal waktu. Mereka kerja keras cari uang buat keluarga tapi lupa bahwa keluarganya tidak hanya hidup dari uang. Mereka susah-payah mengejar karir, tapi lupa pada karir utamanya sebagai orang tua.
Iklan itu menggambarkan seorang bapak yang gagal memberikan waktu dan perhatian cukup bagi anaknya. Bapak ini dengan kekuatan materi dan pengaruhnya cenderung membeli kompensasi dengan memberikan mainan dan menuruti semua kemauan anaknya. Ketika sang anak membutuhkan perhatian, bapak tersebut hanya memberi uang lalu kembali ke kesibukannya sehari-hari.
Tanpa disadari, seiring waktu berjalan, orang tua ini akan terkejut, atau bahkan bisa kecewa, melihat anaknya tiba-tiba sudah tumbuh besar. Parahnya, yang tumbuh hanya fisik sang anak, sementara jiwanya—perilaku dan pola pikirnya--tetap seperti anak-anak. Anak ini tetap ingin dinomorsatukan, ingin dimanja, dan ingin hal lain yang sebelumnya selalu dituruti oleh si orang tua karena kurangnya waktu dan komunikasi yang mereka sempatkan bersama.
Cukup sulit mencari pesan yang terkandung dalam PSA “Life is Fast” hanya dengan sekali melihat iklannya. Kendati PSA ini serius mengkampanyekan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak, namun disampaikan dalam nuansa humor. Orang akan tersenyum saat melihat sang anak yang tiba-tiba tumbuh besar menomplok manja pada punggung sang bapak.
Menurut Stevie Sulaiman (Art Director), iklan ini diharapkan dapat sedikit menggugah para orang tua yang selama ini ignorant terhadap anaknya, dan syukur-syukur menggerakkan hati mereka. Sehingga keluarga mereka bisa jadi keluarga yang lebih baik, dan masyarakat kita bisa jadi masyarakat yang lebih baik. “Karena kami percaya semua berawal dari yang paling kecil dan dasar yakni diri sendiri dan keluarga,” paparnya.
Tema Universal
“Life is Fast” berhasil meraih emas di Pinasthika Adfest 2007 untuk kategori PSA Bawana. Kemenangan iklan ini boleh dibilang fenomenal karena berhasil mengalahkan PSA “Adi” dan “Wati” karya Exist Comm Yogya. Di kategori yang sama PSA Bawana “Adi” dan “Wati” masing-masing meraih perak.
Padahal di dua ajang festival iklan sebelumnya, New York Festivals 2007 dan Adoi Award 2007 iklan garapan Exist Comm ini cukup berjaya. Di New York Festivals iklan Adi memperoleh perunggu, sedangkan di Adoi Award dengan juri asing “Adi” dan “Wati” memperoleh emas. Berkat iklan itu pul Exist Comm berhasil merebut dua emas dari empat emas yang lahir di Adoi Award.
Melihat ketiga iklan tersebut, tampaknya “Adi” dan “Wati” lebih kental nuansa lokalnya ketimbang “Life is Fast”. Tema yang diambil “Life is Fast” bersifat universal karena situasi yang digambarkan bisa ditemukan di mana saja. “Life is Fast” bercerita tentang perilaku masyarakat perkotaan terhadap anak yang tidak
hanya terjadi di kota-kota besar di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Sementara iklan “Adi” dan “Wati” bercerita tentang tentang anak-anak korban gempa Yogyakarta beberapa waktu lalu yang kehilangan orang tua dan rumahnya. Adi dan Wati digarap dalam suasana tragedi yang bisa menyentuh hati orang yang melihatnya. Adi yang kehilangan orang tua mencurahkan hati dan perasaannya pada orang-orangan sawah. Wati juga melakukan hal yang sama, tetapi kepada patung polisi.
Kendati berbeda, namun ketiga iklan tersebut memiliki pesan moral yang sama bagi masyarakat negeri ini, yaitu peduli terhadap anak agar tidak kehilangan masa depan yang lebih baik. “Life is Fast” mengajak kita untuk peduli terhadap anak sendiri, sedangkan “Adi” maupun “Wati” mengajak kita peduli terhadap anak-anak korban bencana alam yang kehilangan masa depan. atajudin nur
Kondisi seperti itulah yang ingin disampaikan kreator iklan layanan masyarakat berjudul “Life is Fast” karya MACS 909. “Life is Fast” adalah potret dari sebagian besar masyarakat di kota besar, terutama Jakarta yang workaholic dan bekerja tanpa mengenal waktu. Mereka kerja keras cari uang buat keluarga tapi lupa bahwa keluarganya tidak hanya hidup dari uang. Mereka susah-payah mengejar karir, tapi lupa pada karir utamanya sebagai orang tua.
Iklan itu menggambarkan seorang bapak yang gagal memberikan waktu dan perhatian cukup bagi anaknya. Bapak ini dengan kekuatan materi dan pengaruhnya cenderung membeli kompensasi dengan memberikan mainan dan menuruti semua kemauan anaknya. Ketika sang anak membutuhkan perhatian, bapak tersebut hanya memberi uang lalu kembali ke kesibukannya sehari-hari.
Tanpa disadari, seiring waktu berjalan, orang tua ini akan terkejut, atau bahkan bisa kecewa, melihat anaknya tiba-tiba sudah tumbuh besar. Parahnya, yang tumbuh hanya fisik sang anak, sementara jiwanya—perilaku dan pola pikirnya--tetap seperti anak-anak. Anak ini tetap ingin dinomorsatukan, ingin dimanja, dan ingin hal lain yang sebelumnya selalu dituruti oleh si orang tua karena kurangnya waktu dan komunikasi yang mereka sempatkan bersama.
Cukup sulit mencari pesan yang terkandung dalam PSA “Life is Fast” hanya dengan sekali melihat iklannya. Kendati PSA ini serius mengkampanyekan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak, namun disampaikan dalam nuansa humor. Orang akan tersenyum saat melihat sang anak yang tiba-tiba tumbuh besar menomplok manja pada punggung sang bapak.
Menurut Stevie Sulaiman (Art Director), iklan ini diharapkan dapat sedikit menggugah para orang tua yang selama ini ignorant terhadap anaknya, dan syukur-syukur menggerakkan hati mereka. Sehingga keluarga mereka bisa jadi keluarga yang lebih baik, dan masyarakat kita bisa jadi masyarakat yang lebih baik. “Karena kami percaya semua berawal dari yang paling kecil dan dasar yakni diri sendiri dan keluarga,” paparnya.
Tema Universal
“Life is Fast” berhasil meraih emas di Pinasthika Adfest 2007 untuk kategori PSA Bawana. Kemenangan iklan ini boleh dibilang fenomenal karena berhasil mengalahkan PSA “Adi” dan “Wati” karya Exist Comm Yogya. Di kategori yang sama PSA Bawana “Adi” dan “Wati” masing-masing meraih perak.
Padahal di dua ajang festival iklan sebelumnya, New York Festivals 2007 dan Adoi Award 2007 iklan garapan Exist Comm ini cukup berjaya. Di New York Festivals iklan Adi memperoleh perunggu, sedangkan di Adoi Award dengan juri asing “Adi” dan “Wati” memperoleh emas. Berkat iklan itu pul Exist Comm berhasil merebut dua emas dari empat emas yang lahir di Adoi Award.
Melihat ketiga iklan tersebut, tampaknya “Adi” dan “Wati” lebih kental nuansa lokalnya ketimbang “Life is Fast”. Tema yang diambil “Life is Fast” bersifat universal karena situasi yang digambarkan bisa ditemukan di mana saja. “Life is Fast” bercerita tentang perilaku masyarakat perkotaan terhadap anak yang tidak
hanya terjadi di kota-kota besar di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Sementara iklan “Adi” dan “Wati” bercerita tentang tentang anak-anak korban gempa Yogyakarta beberapa waktu lalu yang kehilangan orang tua dan rumahnya. Adi dan Wati digarap dalam suasana tragedi yang bisa menyentuh hati orang yang melihatnya. Adi yang kehilangan orang tua mencurahkan hati dan perasaannya pada orang-orangan sawah. Wati juga melakukan hal yang sama, tetapi kepada patung polisi.
Kendati berbeda, namun ketiga iklan tersebut memiliki pesan moral yang sama bagi masyarakat negeri ini, yaitu peduli terhadap anak agar tidak kehilangan masa depan yang lebih baik. “Life is Fast” mengajak kita untuk peduli terhadap anak sendiri, sedangkan “Adi” maupun “Wati” mengajak kita peduli terhadap anak-anak korban bencana alam yang kehilangan masa depan. atajudin nur
Kamis, 08 November 2007
Meraih Untung di Kota Pinggiran Jawa Tengah
Peta persaingan bisnis koran di Jawa Tengah cukup seru. Di provinsi ini, lebih dari tiga koran dari kelompok penerbit besar mengisi pasar suratkabar harian. Kendati Suara Merdeka masih menjadi pemimpin pasar di Semarang dan sekitarnya, namun pemain lain mencoba meraih untung di kota atau kabupaten di luar ibukota provinsi.
Di ibukota provinsi dan sekitarnya popularitas merek Suara Merdeka tidak bisa diragukan lagi. Koran ini selama bertahun-tahun telah menjadi pemimpin pasar di Jawa Tengah, karena berhasil meraih jumlah pembaca dan pengiklan terbanyak di wilayah tersebut.
Namun di sejumlah kota dan kabupaten di sana, sebagai pemimpin pasar Suara Merdeka tampaknya tidak berjalan sendirian. Eksistensi Suara Merdeka di sejumlah daerah tingkat dua di provinsi itu mulai didampingi pemain lain yang tidak bisa dipandang remeh.
Koran milik kelompok Jawa Pos dan Bisnis Indonesia misalnya turut menjadi pemain utama di sejumlah kabupaten atau kotamadya. Koran-koran tersebut berhasil menggarap pasar suratkabar harian di kota-kota pinggiran yang selama ini relatif dikuasai Suara Merdeka. Di daerah Tegal dan sekitarnya hadir Radar Tegal yang lahir dari koran induknya, Radar Cirebon. Koran yang masuk dalam kelompok Jawa Pos ini juga melahirkan Radar Indramayu dan Radar Pekalongan.
Ketika masuk ke daerah eks Karesidenan Surakarta seperti Solo, koran Solopos masih menguasai pasar kota tersebut. Koran milik kelompok Bisnis Indonesia ini telah menjadi ikon kota Solo. Nielsen Media Research mencatat jumlah perolehan iklan Solopos pada 2006 sebesar 21.167 spot, angka tersebut lebih tinggi dari perolehan iklan Suara Merdeka (15.606 spot).
Solopos juga sukses menggarap komunitasnya. Sejak 2001, Solopos menggelar riset Solo Customer Satisfaction Index (SCSI) di kota Solo dan sekitarnya. Riset ini memperlihatkan, brand-brand yang sukses di kota Solo dan sekitarnya baik dalam hal popularitas, market share dan kepuasan pelanggan. Tak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan merek-merek tersebut di sana berkat berkat promosi yang gencar di media massa, khususnya media massa lokal. Solopos berupaya menyakinkan konstituennya, berpromosi itu perlu agar merek tetap hidup dan terjaga di benak khalayak sasarannya.
Pasar Tetap Tumbuh
Kendati Suara Merdeka menjadi pemain lama dan pemimpin pasar, namun pasar suratkabar di daerah tingkat dua di Jawa Tengah tetap tumbuh dan menerima kehadiran pemain baru. Di kota Tegal dan sekitarnya seperti Brebes, Pekalongan, Kendal dan Pemalang, Radar Tegal cukup berhasil mengelola pasar. Dengan oplah 42 ribu eksemplar, koran yang baru berusia enam tahun ini berhasil diterima masyarakatnya.
Guna menjaga keberadaannya, Radar Tegal mengikat komunitasnya dengan rubrikasi dan kegiatan off air. Radar Tegal memiliki rubrik “Daerah” dan “Madani” yang isinya berupa peristiwa dan potret keberhasilan kota Tegal dan sekitarnya yang diulas secara mendalam. Di luar itu Radar Tegal juga memiliki rubrik “Ekbis”, “Olahraga Nasional” dan “Kreasi”.
Koran ini juga berhasil membangun komunitas yang dikenal dengan “Rembug Kampung”. Setiap kegiatan warga di kota tersebut dibantu Radar Tegal dan beritanya dimasukkan dalam koran ini. Misalnya ketika warga kampung ingin membangun gapura atau mengadakan peringatan kemerdekaan RI, Radar Tegal membantu mencari sponsor dan memuat berita tersebut.
Menurut Dirut Radar Tegal, Yanto Utomo kegiatan-kegiatan off air yang dilakukan Radar Tegal itu tidak bisa dijangkau Suara Merdeka secara optimal. Masyarakat di kota tersebut jauh dari perhatian Suara Merdeka karena lokasinya yang jauh dari kantor pusat mereka. Di kota-kota perifer seperti itu, Suara Merdeka hanya memiliki perwakilan atau kontributor, sementara Radar Tegal membangun kantor pusat. ”Kami bisa lebih dekat dengan masyarakat tersebut,” papar Yanto.
Apa yang dikatakan Yanto ada benarnya. Radar Tegal yang lahir pada tahun 2000, kini bisa membangun kantor baru, berupa gedung dua tingkat di atas tanah seluas 1.000 meter persegi dengan nama Graha Pena Radar Tegal. Ketika lahir, koran yang terbit 20 halaman setiap harinya ini dicetak di percetakan milik Radar Cirebon, kini memiliki percetakan sendiri. Bahkan setiap bulan target pendapatan iklannya sebesar Rp 350 juta bisa dipenuhi.
Ia menilai, pasar koran di daerah tingkat dua tetap tumbuh. Kendati sudah ada pemain lama namun jika digarap dengan baik, koran di daerah tingkat dua akan tetap hidup dan berkembang. Hanya saja, yang perlu dilihat adalah kondisi daerah dan pertumbuhan ekonominya.
“Pertumbuhan ekonomi Tegal memang tidak sebagus Cirebon, tapi koran kami tetap hidup di dua kota tersebut. Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi kota, pendapatan Radar Cirebon dua kali lebih besar dari pendapatan Radar Tegal,” bebernya.
Bukan Koran Kotamadya
Sebagai pemain lama sekaligus pemimpin pasar, Suara Merdeka harus terus inovatif dalam mempertahankan supremasinya. Jika tidak, pasar Suara Merdeka di kota pinggiran akan digerus pemain lain yang sama kuatnya dari sisi bisnis dan pengalaman mengelola suratkabar. Kendati bermain di tingkat kotamadya, koran-koran tersebut terbilang sukses dan bisa mengelola komunitasnya dengan baik.
Melihat peta persuratkabaran di Jawa Tengah seperti itu Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka mengutarakan, kondisi tersebut menuntut kepiawaian Suara Merdeka menempatkan diri. Selama ini positioning Suara Merdeka adalah korannya Jawa Tengah, koran yang berbasis di wilayah provinsi bukan kabupaten atau kota. Posisi Suara Merdeka tidak pas dengan semangat otonomi daerah yang berbasis kabupaten atau kota.
Ia menambahkan, positioning sangat terkait dengan segmentasi dan diferensiasi. Korannya Jawa Tengah itulah diferensiasi dan segmentasi Suara Merdeka di tengah-tengah semangat otonomi daerah. Semboyan sebagai perekat komunitas Jawa Tengah justru memperkuat bendera Suara Merdeka ketika yang lain mengarah ke kabupaten dan kotamadya. “Kita membuat orang Magelang kenyang informasi tentang Jawa Tengah, juga membuat orang Purwokerto menikmati kabar baru dari wilayah lain di propinsi ini dan seterusnya,” papar Kukrit.
Ia menambahkan, kompetisi yang sehat justru melahirkan inovasi-inovasi baru. Tanpa kompetisi hidup tidak berkembang. ”Adanya kompetitor membuat kita semakin tahu apa kekurangannya dan kita berharap ke depan akan menjadi lebih baik,” paparnya.
Untuk mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar, Suara Merdeka menurut alumnus San Diego University of California ini senantiasa membuat adanya suatu kepercayaan antara pembaca dan pihaknya. Suara Merdeka adalah koran yang dipercaya masyarakat Jawa Tengah. “Kedepan Suara Merdeka harus terus bisa menjadi bagian masyarakat Jawa Tengah dari berbagai sisi, seperti politik, ekonomi dan lain-lain,” ujarnya.
Dalam upaya mendekatkan merek dengan khalayak sasaran, Suara Merdeka menggelar kegiatan off air dengan konsep part of solution bukan part of problem. Suara Merdeka harus bisa menjadi menjadi mediator yang baik untuk semua kalangan sehingga muncul solusi bermanfaat. Karena itu program off air yang digelar bukan sekadar promosi, tetapi langsung bersentuhan dengan masyarakat banyak dan melibatkan semua elemen.
Tidak mudah untuk mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar. Banyak pemain lain yang juga berupaya menyabet predikat tersebut. Namun pada akhirnya kompetisi yang sehat bermanfaat bagi semua khalayak. Penerbit akan terus-menerus meningkatkan mutu produk, sementara pembaca dan pengiklan akan mendapatkan produk yang lebih baik dari sebelumnya. atajudin nur
Di ibukota provinsi dan sekitarnya popularitas merek Suara Merdeka tidak bisa diragukan lagi. Koran ini selama bertahun-tahun telah menjadi pemimpin pasar di Jawa Tengah, karena berhasil meraih jumlah pembaca dan pengiklan terbanyak di wilayah tersebut.
Namun di sejumlah kota dan kabupaten di sana, sebagai pemimpin pasar Suara Merdeka tampaknya tidak berjalan sendirian. Eksistensi Suara Merdeka di sejumlah daerah tingkat dua di provinsi itu mulai didampingi pemain lain yang tidak bisa dipandang remeh.
Koran milik kelompok Jawa Pos dan Bisnis Indonesia misalnya turut menjadi pemain utama di sejumlah kabupaten atau kotamadya. Koran-koran tersebut berhasil menggarap pasar suratkabar harian di kota-kota pinggiran yang selama ini relatif dikuasai Suara Merdeka. Di daerah Tegal dan sekitarnya hadir Radar Tegal yang lahir dari koran induknya, Radar Cirebon. Koran yang masuk dalam kelompok Jawa Pos ini juga melahirkan Radar Indramayu dan Radar Pekalongan.
Ketika masuk ke daerah eks Karesidenan Surakarta seperti Solo, koran Solopos masih menguasai pasar kota tersebut. Koran milik kelompok Bisnis Indonesia ini telah menjadi ikon kota Solo. Nielsen Media Research mencatat jumlah perolehan iklan Solopos pada 2006 sebesar 21.167 spot, angka tersebut lebih tinggi dari perolehan iklan Suara Merdeka (15.606 spot).
Solopos juga sukses menggarap komunitasnya. Sejak 2001, Solopos menggelar riset Solo Customer Satisfaction Index (SCSI) di kota Solo dan sekitarnya. Riset ini memperlihatkan, brand-brand yang sukses di kota Solo dan sekitarnya baik dalam hal popularitas, market share dan kepuasan pelanggan. Tak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan merek-merek tersebut di sana berkat berkat promosi yang gencar di media massa, khususnya media massa lokal. Solopos berupaya menyakinkan konstituennya, berpromosi itu perlu agar merek tetap hidup dan terjaga di benak khalayak sasarannya.
Pasar Tetap Tumbuh
Kendati Suara Merdeka menjadi pemain lama dan pemimpin pasar, namun pasar suratkabar di daerah tingkat dua di Jawa Tengah tetap tumbuh dan menerima kehadiran pemain baru. Di kota Tegal dan sekitarnya seperti Brebes, Pekalongan, Kendal dan Pemalang, Radar Tegal cukup berhasil mengelola pasar. Dengan oplah 42 ribu eksemplar, koran yang baru berusia enam tahun ini berhasil diterima masyarakatnya.
Guna menjaga keberadaannya, Radar Tegal mengikat komunitasnya dengan rubrikasi dan kegiatan off air. Radar Tegal memiliki rubrik “Daerah” dan “Madani” yang isinya berupa peristiwa dan potret keberhasilan kota Tegal dan sekitarnya yang diulas secara mendalam. Di luar itu Radar Tegal juga memiliki rubrik “Ekbis”, “Olahraga Nasional” dan “Kreasi”.
Koran ini juga berhasil membangun komunitas yang dikenal dengan “Rembug Kampung”. Setiap kegiatan warga di kota tersebut dibantu Radar Tegal dan beritanya dimasukkan dalam koran ini. Misalnya ketika warga kampung ingin membangun gapura atau mengadakan peringatan kemerdekaan RI, Radar Tegal membantu mencari sponsor dan memuat berita tersebut.
Menurut Dirut Radar Tegal, Yanto Utomo kegiatan-kegiatan off air yang dilakukan Radar Tegal itu tidak bisa dijangkau Suara Merdeka secara optimal. Masyarakat di kota tersebut jauh dari perhatian Suara Merdeka karena lokasinya yang jauh dari kantor pusat mereka. Di kota-kota perifer seperti itu, Suara Merdeka hanya memiliki perwakilan atau kontributor, sementara Radar Tegal membangun kantor pusat. ”Kami bisa lebih dekat dengan masyarakat tersebut,” papar Yanto.
Apa yang dikatakan Yanto ada benarnya. Radar Tegal yang lahir pada tahun 2000, kini bisa membangun kantor baru, berupa gedung dua tingkat di atas tanah seluas 1.000 meter persegi dengan nama Graha Pena Radar Tegal. Ketika lahir, koran yang terbit 20 halaman setiap harinya ini dicetak di percetakan milik Radar Cirebon, kini memiliki percetakan sendiri. Bahkan setiap bulan target pendapatan iklannya sebesar Rp 350 juta bisa dipenuhi.
Ia menilai, pasar koran di daerah tingkat dua tetap tumbuh. Kendati sudah ada pemain lama namun jika digarap dengan baik, koran di daerah tingkat dua akan tetap hidup dan berkembang. Hanya saja, yang perlu dilihat adalah kondisi daerah dan pertumbuhan ekonominya.
“Pertumbuhan ekonomi Tegal memang tidak sebagus Cirebon, tapi koran kami tetap hidup di dua kota tersebut. Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi kota, pendapatan Radar Cirebon dua kali lebih besar dari pendapatan Radar Tegal,” bebernya.
Bukan Koran Kotamadya
Sebagai pemain lama sekaligus pemimpin pasar, Suara Merdeka harus terus inovatif dalam mempertahankan supremasinya. Jika tidak, pasar Suara Merdeka di kota pinggiran akan digerus pemain lain yang sama kuatnya dari sisi bisnis dan pengalaman mengelola suratkabar. Kendati bermain di tingkat kotamadya, koran-koran tersebut terbilang sukses dan bisa mengelola komunitasnya dengan baik.
Melihat peta persuratkabaran di Jawa Tengah seperti itu Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka mengutarakan, kondisi tersebut menuntut kepiawaian Suara Merdeka menempatkan diri. Selama ini positioning Suara Merdeka adalah korannya Jawa Tengah, koran yang berbasis di wilayah provinsi bukan kabupaten atau kota. Posisi Suara Merdeka tidak pas dengan semangat otonomi daerah yang berbasis kabupaten atau kota.
Ia menambahkan, positioning sangat terkait dengan segmentasi dan diferensiasi. Korannya Jawa Tengah itulah diferensiasi dan segmentasi Suara Merdeka di tengah-tengah semangat otonomi daerah. Semboyan sebagai perekat komunitas Jawa Tengah justru memperkuat bendera Suara Merdeka ketika yang lain mengarah ke kabupaten dan kotamadya. “Kita membuat orang Magelang kenyang informasi tentang Jawa Tengah, juga membuat orang Purwokerto menikmati kabar baru dari wilayah lain di propinsi ini dan seterusnya,” papar Kukrit.
Ia menambahkan, kompetisi yang sehat justru melahirkan inovasi-inovasi baru. Tanpa kompetisi hidup tidak berkembang. ”Adanya kompetitor membuat kita semakin tahu apa kekurangannya dan kita berharap ke depan akan menjadi lebih baik,” paparnya.
Untuk mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar, Suara Merdeka menurut alumnus San Diego University of California ini senantiasa membuat adanya suatu kepercayaan antara pembaca dan pihaknya. Suara Merdeka adalah koran yang dipercaya masyarakat Jawa Tengah. “Kedepan Suara Merdeka harus terus bisa menjadi bagian masyarakat Jawa Tengah dari berbagai sisi, seperti politik, ekonomi dan lain-lain,” ujarnya.
Dalam upaya mendekatkan merek dengan khalayak sasaran, Suara Merdeka menggelar kegiatan off air dengan konsep part of solution bukan part of problem. Suara Merdeka harus bisa menjadi menjadi mediator yang baik untuk semua kalangan sehingga muncul solusi bermanfaat. Karena itu program off air yang digelar bukan sekadar promosi, tetapi langsung bersentuhan dengan masyarakat banyak dan melibatkan semua elemen.
Tidak mudah untuk mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar. Banyak pemain lain yang juga berupaya menyabet predikat tersebut. Namun pada akhirnya kompetisi yang sehat bermanfaat bagi semua khalayak. Penerbit akan terus-menerus meningkatkan mutu produk, sementara pembaca dan pengiklan akan mendapatkan produk yang lebih baik dari sebelumnya. atajudin nur
Koran Gratis Melanda Asia
Koran gratis bukan cerita baru, karena ia lahir sejak 1947 ketika Dean Lesher menerbitkan koran gratis Contra Costa Times di California AS. Namun dalam perjalanannya, pada 1960 Dean menggabungkan tiga koran di kota tersebut termasuk Contra Costa Times menjadi harian yang biaya pengirimannya ditanggung pembaca.
Koran gratis mulai unjuk kekuatan pada 1995, ketika lahir harian Palo Alto Daily News di Palo Alto California. Dalam usia enam bulan, koran ini untung dengan meraih sedikitnya 100 pengiklan berupa kolom dan iklan display setiap hari.
Pada tahun yang sama, di Stockholm Swedia lahir koran gratis Metro yang diterbitkan oleh Metro International. Koran ini dibagikan di kendaran umum serta pusat pertokoan dan perkantoran. Pada tahun-tahun berikutnya penerbit Metro International melahirkan koran Metro sampai di 63 kota di 17 negara di dunia, seperti Hungaria (1998), Belanda dan Finlandia (1999), Chili dan Italia (2000).
Tidak semua koran gratis Metro hidup dan menguntungkan. Di Swis, Argentina dan Inggris, koran Metro hanya bisa bertahan beberapa bulan setelah terbit. Sementara di Stockholm, Metro sore ditutup setelah enam bulan terbit.
Koran Metro melanda Asia Pasifik lewat edisi perdananya yang terbit di Hong Kong pada 15 April 2002. Koran gratis ini berisi informasi yang ditulis dalam bahasa Cina dan Inggris dengan oplah 300 ribu eksemplar setiap hari.
Metro Hong Kong didistribusikan cuma-cuma kepada penumpang angkutan umum massal di 43 stasiun MRT. Ia juga bisa ditemukan di 50 lokasi pengambilan koran di pusat pertokoan dan perkantoran. “Hongkong adalah tempat yang ideal buat Metro untuk menembus pasar Asia,” papar Pelle Tornberg, CEO Metro International saat launching perdana koran tersebut. Bersamaan dengan peluncuran Metro di Hongkong, pada tahun itu juga Metro International meluncurkan koran gratis di Korea Selatan.
Dari Hong Kong dan Korea Selatan, langkah Metro di Asia Pasifik berlanjut hingga ke Guangzhou Cina, pada Oktober 2006. Pada masa-masa awal, koran ini terbit tiga kali seminggu yakni pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Koran yang ditujukan kepada khalayak sasaran menengah atas ini dicetak 300 ribu eksemplar yang dibagikan di stasiun angkutan umum dan pusat perkantoran.
Koran Gratis di Indonesia
Koran gratis juga melanda Indonesia, bukan diterbitkan oleh kelompok Metro International tetapi penerbit Indonesia, yakni kelompok Bali Post. Koran yang lahir pada 3 Januari 2007 ini bernama Bisnis Jakarta ditujukan kepada khalayak sasaran menengah atas dan dibagikan gratis di stasiun kereta api dan pusat keramaian lainnya. Bisnis Jakarta juga dikirim langsung ke kantor biro iklan, produsen, dan kantor pemerintahan di Jakarta dan sekitarnya.
Setiap hari, sejak pukul 6.00 WIB hingga 10.00 WIB sebanyak 10 ribu eksemplar koran Bisnis Jakarta dibagikan gratis kepada penumpang kereta api ekspres Bogor- Jakarta. Keberadaan koran gratis Bisnis Jakarta di kereta api membuat sengit persaingan koran di kawasan jalur kereta api Jakarta-Bogor. Koran Kompas yang awalnya dijual Rp 2.500 oleh pengasong turun harganya menjadi Rp 1.000. Begitu pula koran Tempo yang semula dijual Rp 1.500 menjadi Rp 1.000.
Menurut Satria Narada, Pemimpin Redaksi Bisnis Jakarta, kehadiran koran gratis Bisnis Jakarta setidaknya untuk menggairahkan kembali bisnis koran yang mulai meredup karena kehadiran media elektronik, khususnya televisi.
Perolehan Iklan
Perolehan iklan koran di Asia pasifik cukup bagus. Asian Federation of Advertising Associations mencatat pada 2006 koran berhasil meraih kue iklan sebesar 24 persen dari keseluruhan perolehan iklan Asia Pasifik. Angka tersebut berada di bawah perolehan iklan televisi sebanyak 55 persen dan di atas majalah dan radio, masing-masing lima dan empat persen.
Dari 13 negara, hanya empat negara di Asia Pacifik yang perolehan iklan koran lebih besar dari iklan televisi. Keempat negara tersebut adalah Australia, India, Malaysia dan Korea Selatan.
Perolehan iklan koran di Australia sebesar US$ 3,7 miliar dan televisi US$ 2,5 miliar dengan kategori produk retail sebagai penyokong utama kue iklan. Koran di India berhasil meraih kue iklan nasional sebesar US$ 1,3 miliar dan televisi US$ 1,1 miliar. Kategori makanan dan minuman duduk di peringkat pertama produk yang banyak beriklan di India.
Perolehan iklan koran di Malaysia sebesar US$ 735 juta dan televisi US$ 368 juta dengan kategori komunikasi sebagai produk yang paling banyak beriklan. Sementara perolehan iklan koran di Korea Selatan US$ 4 miliar dan perolehan iklan televisi US$ 2,3 miliar. Iklan jasa layanan menduduki peringkat pertama kategori yang paling banyak beriklan di Korea Selatan.
Bercermin dari empat negara tersebut, masa depan koran cukup cerah. Kendati televisi masih mendominasi perolehan iklan di Asia Pasifik dan Indonesia, namun koran tidak akan tergusur. Kedua media tersebut memiliki pasar yang berbeda serta kelebihan tersendiri dalam menjangkau khalayak sasaran. atajudin
Mari Berkaca Pada TV Publik Negara Lain
Lembaga penyiaran publik di sejumlah negara maju di Asia Pasifik sukses mengelola medianya, terutama televisi. Keberuntungan yang dialami ABC (Australian Broadcasting Corporation) di Australia dan NHK (Nippon Hoso Kyokai) di Jepang tampaknya belum terjadi di TVRI, televisi publik di Indonesia.
Semestinya di tiap negara, televisi publik bisa hidup dan berkembang dengan baik. Televisi publik adalah milik segenap masyarakat dengan jangkauan luas ke seantero negeri yang dibiayai negara melalui Undang-undang (Toby Mendel 2000).
Meski didukung negara dan rakyatnya namun televisi publik bersifat mandiri. Ia harus bebas dari kepentingan negara maupun kepentingan komersial, sehingga bisa menampilkan program yang baik dan inovatif sesuai kebutuhan publiknya. Dengan begitu televisi publik menjadi idaman setiap masyarakat.
Dengan ketersediaan dana operasional dan jangkauan siar yang luas, televisi publik harusnya mampu mengalahkan televisi swasta. Australia dan Jepang adalah contoh negara di Asia Pasifik yang sukses mengelola televisi publik. Sementara di Indonesia ketatnya persaingan dengan televisi swasta, membuat TVRI tak mampu mengimbanginya dari sisi bisnis dan program.
Dana yang tersedia membuat lembaga penyiaran publik di Australia berkarya dengan baik. Melalui Undang-undang Korporasi Penyiaran Australia (UU ABC) pemerintah mengucurkan dana operasional untuk televisi dan radio ABC sebesar 80 persen. Sisanya 20 persen datang dari kegiatannya sendiri. Untuk menutupi kekurangannya itu ABC menerbitkan majalah dan juga mengelola jaringan toko ABC yang menjual buku-buku dan rekaman audio/video yang berkaitan dengan program-programnya.
UU juga memberikan tanggungjawab kepada ABC untuk membuat program mandiri yang inovatif untuk menarik banyak pemirsa serta program khusus sebagai suatu bentuk layanan publik. Selain berita, ABC memiliki program hiburan seperti musik dan drama.
Sedangkan program khusus yang disyaratkan adalah program penyiaran yang menjaga indentitas nasional, informatif, menghibur serta mencerminkan kemajemukan budaya dari komunitas Australia. Dengan keragaman program televisi publik ini digemari beragam khalayak dan tidak ditinggali pemirsanya.
Meski dibiayai UU, namun tidak selamanya uang yang datang ke kantong perusahaan mengalir dengan lancar. Pada April 1997, direksi ABC mengumumkan secara terbuka permintaan kepada pemerintah untuk membuat komitmen yang pasti dalam memberikan dana. Bila ketidakpastian pendanaan terus berlangsung, dewan direksi tidak segan-segan untuk melakukan penghematan termasuk di dalamnya pengurangan produksi program berita dan program yang berhubungan dengan Australia secara keseluruhan. Direksi juga mengancam akan menutup stasiun radio regionalnya.
Ancaman yang dilontarkan direksi ini memperlihatkan kemandirian ABC dalam mengelola medianya tergantung pada realita dana yang tersedia. Namun begitu, profesionalitas yang dibangun ABC membuat lembaga penyiaran publik ini berani menekan pemerintah untuk menghasilkan program yang baik bagi masyarakatnya. Sesuatu yang sulit terjadi di lembaga penyiaran publik di negeri bernama Indonesia.
Selain ABC lembaga penyiaran publik lain di Australia adalah SBS (Special Broadcasting Service Corporation). ABC memberikan layanan dan informasi siaran yang bersifat umum baik sementara SBS memberikan layanan khusus, yakni pemenuhan kebutuhan siaran bagi populasi Australia yang majemuk. Kedua badan itu memiliki kemandirian dalam sisi kreatif dan editorial.
Pada mulanya, ABC adalah lembaga penyiaran publik yang didirikan pada 1932 sebagai sebuah jaringan radio dan kemudian meluas serta melakukan diversifikasi usaha ke dalam berbagai media siaran seperti televisi, cetak, radio dan media online. Undang-undang sempat membolehkan ABC mencari dana dari iklan, namun kemudian peraturan itu dibatalkan sebelum diberlakukan.
TV Publik Jepang
Lembaga penyiaran publik Jepang NHK didirikan pada 1926 dari stasiun radio yang berbasis di ibu kota, Radio Tokyo. NHK memulai jasa siaran televisi hitam putih pada tahun 1953 dan menyiarkan siaran berwarna pada tahun 1960. Kini NHK tumbuh menjadi organisasi penyiaran publik terbaik di dunia dengan total billing lebih dari 625 miliar yen atau sekitar US$ 6 miliar pada 1999.
NHK merupakan perusahaan pertama yang memperkenalkan penyiaran iklan ke televisi Jepang, tetapi kini dibiayai oleh iuran penonton. Menurut Undang-undang Penyiaran "Hōsō Hō" penduduk Jepang yang memiliki televisi diwajibkan membayar iuran sekitar US$ 12 setiap bulan. Namun, undang-undang tersebut tidak menyebut hukuman yang dikenakan jika iuran tidak dilunaskan.
Di dalam negeri, NHK mengoperasikan lima televisi nasional dan tiga radio nasional. Untuk siaran luar negeri, lembaga penyiaran publik ini memiliki NHK World TV, NHK World Premium dan NHK World Radio Japan.
Dari lima televisi nasional, NHK mengoperasikan dua layanan televisi terestrial yakni televisi dengan segmen umum dan televisi dengan segmen pendidikan serta tiga televisi berlangganan. Televisi NHK bersegmen umum menghadirkan program berita yang berimbang, pendidikan, kebudayaan dan hiburan dengan komposisi sekitar 41 persen berita, 19 persen pendidikan, 29 persen kebudayaan dan 11 persen hiburan. Televisi pendidikan memiliki program pendidikan (80%) dan kebudayaan (20%).
Sementara tiga televisi lainnya memberikan layanan TV berlangganan dengan pemirsa lebih dari sembilan juta orang. NHK DBS-1 memfokuskan diri pada program berita, dokumentasi dan olahraga, NHK DBS-2 lebih ke arah seni hiburan dan kebudayaan. NHK Hi-Vision merupakan layanan suara dan gambar berkualitas tinggi yang mulai beroperasi pada 1994.
Selain musik, humor dan film dokumenter, NHK juga menayangkan program drama dan film samurai. Oshin adalah judul sekaligus tokoh utama film seri Jepang yang disiarkan TVRI pada 1980-an dan digemari penonton televisi di 59 negara lain di dunia. Film ini adalah hasil racikan NHK dan Japan Foundation.
Program ramalan cuaca di NHK pagi hari juga digemari pemirsa di Jepang. Program ini sangat membantu masyarakat untuk menghadapi cuaca yang akan terjadi di siang hari. Dengan ramalan inilah orang Jepang memutuskan untuk membawa payung atau tidak ketika pergi ke kantor atau tempat lainnya. Dengan TV digital yang saat ini sedang marak di sana, pengecekan cuaca bisa dilakukan setiap saat hanya dengan menekan tombol ramalan cuaca pada remote control.
Kondisi TV Publik Indonesia
Kondisi yang terjadi di dua negara tersebut tidak terjadi di Indonesia. Televisi publik di Indonesia, TVRI yang pada Agustus 2007 berusia 45 tahun bukannya untung dan berhasil mengembangkan media massa lainnya, tetapi hidup dengan beragam persoalan dan masalah. Padahal bagi industri televisi usia tersebut cukup matang dan seharusnya mampu memberi keuntungan bagi segenap konstituennya.
Setelah munculnya stasiun televisi swasta pada 1990 ada cukup banyak persoalan yang dihadapi televisi “plat merah” ini. Program TVRI kalah bersaing dengan televisi swasta sehingga ditinggali pemirsanya. Dengan beragam alasan televisi swasta enggan menyisihkan 12,5 persen dari hasil pendapatan iklannya ke TVRI. Ketika berupaya merebut kue iklan TVRI kalah bersaing dengan televisi swasta karena rating programnya kecil.
AGB Nielsen Media Research mencatat rating program TVRI untuk semua umur di sembilan kota yang diriset jauh di bawah rating televisi swasta. Pada minggu terakhir Juni 2007, rating TVRI dibawah satu persen dan share-nya tiga persen. Orbit adalah program tertinggi di TVRI dengan rating 0,7 dan share dua persen.
Sementara televisi swasta lain seperti RCTI, SCTV, TPI dan Indosiar pada saat yang bersamaan memiliki rating di atas 6,8 persen dengan share mencapai 22,6 persen. Program yang memiliki rating tertinggi di RCTI adalah Candy (7,7), di TPI program Si Entong (7,2) dan di Indosiar acara Mamamia Superdut (7,6).
Hal yang menyedihkan juga terjadi untuk perolehan iklan TVRI. Pada kuartal pertama 2007 iklannya sebesar satu persen. Sementara stasiun lainnya cukup tinggi seperti RCTI dan Trans TV masing-masing 14%, serta SCTV dan Trans 7 yang masing-masing meraih 12% dari perolehan iklan televisi nasional.
Beberapa waktu lalu, segenap karyawan TVRI mendesak direksi TVRI mundur dari jabatan karena dinilai gagal mengelola televisi publik ini. Persoalan tersebut sampai dibahas anggota parlemen di gedung DPR yang menilai direksi TVRI tidak mampu meningkatkan kinerja lembaga tersebut. Di dalam rapat, sejumlah anggota Komisi I DPR mempertanyakan kinerja TVRI yang hanya melakukan "re-run" atau siaran ulang program-program lama sebanyak 80 persen.
Ada baiknya direksi TVRI belajar dari keberhasilan televisi publik lain seperi ABC dan NHK. TVRI yang memiliki stasiun relai sekitar 390 buah, harus segera berbenah menjadi lebih baik. Direksi dan pengelola harus bisa mengemas program yang unik dan menarik sehingga TVRI mampu bersaing dengan televisi swasta. Atajudin Nur
Langganan:
Postingan (Atom)