Kamis, 06 November 2025

KRITIK TERHADAP PROGRAM MAKAN BERGIZI GRATIS

SEBUAH TINJAUAN AKHIR TAHUN

Ketika pemerintah mencanangkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai terobosan sosial unggulan, publik menaruh harapan besar. Visi mulianya jelas yakni memastikan anak-anak sekolah mendapatkan asupan gizi cukup, agar tumbuh sehat, cerdas, dan siap menjadi generasi emas Indonesia.

Namun menjelang akhir 2025, bayangan ideal itu tampak buram. Di balik angka-angka anggaran yang fantastis, realita di lapangan justru menunjukkan paradoks yang mengusik nurani.

Sejak diluncurkan awal 2025, program MBG menelan biaya lebih dari Rp 70 triliun, dan direncanakan meningkat pada 2026.  Laporan Badan  Gizi Nasional menyebutkan, penyerapan anggaran program MBG hingga pekan kedua Oktober 2025 baru mencapai Rp 26,25 triliun. Angka itu setara dengan 36,97 persen dari total anggaran tahun ini sebesar Rp 71 triliun.

Pemerintah menyebut capaian distribusi sudah menjangkau 70 persen wilayah, tapi laporan di berbagai daerah memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pelaksanaannya berjalan relatif tertib.

Namun di pelosok, terutama di wilayah seperti Sukabumi, Yogyakarta, dan sejumlah kabupaten di Kalimantan, program ini justru memunculkan masalah baru yakni dari distribusi tidak merata, menu yang tidak sesuai standar gizi, hingga kasus keracunan di lingkungan sekolah. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) seperti dikutip Tempo menunjukkan lima provinsi dengan jumlah keracunan MBG terbanyak, yakni Jawa Barat dengan 2.012 kasus, DI Yogyakarta 1.047 kasus, Jawa Tengah 722 kasus, Bengkulu 539 kasus, dan Sulawesi Tengah 446 kasus. 

Tragedi keracunan tersebut menjadi alarm keras bahwa sistem pengawasan MBG masih rapuh. Data dari sejumlah lembaga pemantau menunjukkan bahwa sebagian penyedia katering lokal tidak melalui proses sertifikasi kesehatan yang memadai. Misalnya, bahan makanan dibeli pagi, dimasak terburu-buru, tanpa uji higienitas yang ketat. Akibatnya, puluhan siswa harus dirawat di puskesmas usai menyantap makanan dari program yang sejatinya bertujuan menyehatkan.

Ironisnya lagi, di beberapa daerah, dana operasional MBG justru tersendat karena prosedur birokrasi berbelit. Kepala sekolah harus menunggu berminggu-minggu untuk pencairan dana, sementara anak-anak tetap menunggu makan siang yang dijanjikan. Di sisi lain, laporan dari lembaga keuangan negara menunjukkan adanya deviasi antara alokasi dan realisasi anggaran hingga 18 persen — angka yang tidak kecil untuk sebuah program berskala nasional.

Pemerintah memang mengakui adanya “masalah teknis di lapangan”, tetapi persoalan ini tidak bisa sekadar dianggap teknis. Ketika program dengan label bergizi justru memunculkan korban jiwa, maka yang gagal bukan hanya sistem logistik, tetapi juga akuntabilitas kebijakan. Banyak pihak menilai pelaksanaan MBG lebih sibuk pada pencitraan politik ketimbang membangun sistem pangan yang sehat dan berkelanjutan di sekolah.

Padahal, ide dasarnya sesungguhnya brilian. Negara hadir untuk memastikan tidak ada anak sekolah yang belajar dalam keadaan lapar. Namun, sebagaimana banyak program populis lainnya, pelaksanaannya terburu-buru, tanpa kesiapan ekosistem pendukung yang solid. Rantai pasok pangan lokal, sertifikasi dapur penyedia, mekanisme audit, dan transparansi data penerima —masih tambal sulam. 

Dari hasil pantauan di lapangan, sejumlah daerah belum memiliki daftar tetap penerima manfaat. Ada sekolah yang tidak pernah menerima sama sekali. Lebih dari sekadar salah distribusi, ini menunjukkan lemahnya koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah. Akibatnya, yang seharusnya menjadi momentum pemerataan gizi justru berubah menjadi peta ketimpangan baru.

Dukungan Stakeholder Terkait

Kritik terhadap program MBG bukan berarti menolak gagasan besarnya. Justru sebaliknya, kritik diperlukan agar ide yang baik tidak mati di tangan pelaksana yang lemah. Program ini seharusnya tidak hanya menyalurkan makanan, tetapi juga mendidik anak-anak tentang pola makan sehat, memperkuat petani lokal sebagai pemasok, dan membangun sistem pengawasan partisipatif agar setiap rupiah benar-benar sampai ke meja makan siswa.

Menjelang akhir 2025, publik menunggu keberanian pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh yang dipublikasikan ke masyarakat luas. Bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi juga tentang tanggung jawab moral: memastikan bahwa setiap piring yang disajikan benar-benar bergizi, aman, dan adil. Jika tidak, MBG hanya akan menjadi simbol ironi — program makan bergizi yang justru menelan korban. 

MBG adalah janji kampaye Presiden Prabowo yang perlu didukung stakeholder terkait agar berjalan dengan baik  seperti yang dilakukan Danantara yang akan  berinvestasi Rp 20 Triliun untuk membangun peternakan ayam di seluruh Indonesia. Hal itu dapat meningkatkan produksi telur dan ayam dalam memenuhi kebutuhan protein hewani di program MBG secara nasional. Dengan Begitu Insya Allah  Indonesia tidak akan kekurangan telur dan ayam.  

Untuk itu ditunggu peran serta stakeholder terkait lainnya dalam mendukung kesuksesan program Makan Bergizi Gratis.

Senin, 03 November 2025

KINERJA KEMENTERIAN HAJI DAN UMROH

SEBUAH EVALUASI AWAL

Pemerintah memutuskan membentuk Kementerian Haji dan Umroh (Kemenhaj) sebagai entitas tersendiri dari sebelumnya tugas diemban oleh Kementerian Agama (Kemenag). Langkah ini disambut dengan harapan besar agar penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia yang selama ini menghadapi persoalan antrean panjang, biaya tinggi, dan layanan yang belum memuaskan bisa menjadi lebih baik.

Pertanyaannya, apakah perubahan struktural ini sudah membawa perbaikan nyata dalam praktiknya? 

Dari indikator yang tersedia, jawabannya akan ada kemajuan, namun jauh dari sempurna.

Berikut ulasannya.

Soal Antrean Panjang

Salah satu persoalan kronis yang terus dikeluhkan jamaah haji Indonesia adalah lamanya masa tunggu antrean untuk berangkat. Menurut data publik,  beberapa daerah masih mencatat masa tunggu hingga 40 tahun. 

Dalam kerangka Kemenhaj, terdapat rencana pembaruan sistem antrean. Masa tunggu haji yang selama ini bisa mencapai 40 tahun akan dipangkas. Ada rencana, antrean di seluruh provinsi disamaratakan menjadi rata-rata 26 tahun.

Hal itu merupakan langkah yang signifikan secara simbolik.  Dan untuk pertama kali sistem antrean dibahas dengan target “pemerataan” lantaran selama ini disparitas antara satu daerah dengan daerah lain sangat besar.  

Namun, apakah kebijakan tersebut akan berlaku penuh dalam satu musim atau selamanya.  Selain itu, ketika kebijakan berubah (misal pemerataan antrean), penting diperhatikan agar jamaah yang sudah mendaftar lama tidak dirugikan.


Biaya Haji Masih Jadi Tantangan Besar

Biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) selalu menjadi sorotan. Karena bagi banyak calon jamaah di Indonesia merasakan biaya ini cukup memberatkan.

Untuk musim haji reguler 2025, pemerintah menetapkan BPIH sebesar ± Rp 89,41 juta per jamaah.  Dari angka tersebut, bagian yang dibayar langsung oleh jamaah (Biaya Perjalanan Ibadah Haji – Bipih) adalah ± Rp 55,43 juta, sedangkan sisanya ± Rp 33,98 juta berasal dari nilai manfaat dana haji.  

Untuk BPIH 2026, pemerintah mengusulkan rata-rata Rp 88,409,365.45 (turun sekitar Rp 1 juta dibanding tahun sebelumnya). Dari angka tersebut, jamaah dibebankan rata-rata Rp 54,924,000.

Memang terdapat penurunan biaya haji untuk 2026 dibanding sebelumnya. Namun, walaupun angka biaya sedikit turun, besaran biaya masih sangat besar bagi banyak calon jamaah. Juga, penurunan hanya sedikit (± Rp 1 juta dari total Rp 89 juta). Dengan demikian, meskipun ada perbaikan, tingkat beban biaya tetap sangat signifikan dan masih menjadi tantangan besar.

 

Layanan Publik dan Program Inisiasi Baru

Perbaikan layanan haji dan umrah sudah mulai disebut: “pemerintah memperbaiki sistem antrean dan kualitas pelayanan haji Indonesia agar bisa menjadi percontohan dunia.” Program seperti pusat layanan terpadu haji dan umrah (PLHUT) mulai muncul di daerah-daerah untuk memperkuat layanan.

Sementara Dari aspek regulasi pembentukan Kementerian Haji sendiri membuka kesempatan untuk fokus lebih besar terhadap urusan haji dan umrah. Kementerian ini diharapkan tidak hanya mengorkestrasi sejumlah lembaga atau institusi terkait pelayanan haji dan umroh, tetapi menjadi garda tedepan dalam pemberian layanan publik terbaik kepada jamaah. 

Inisiatif tersebut jelas merupakan langkah positif antara lain dengan memberikan perhatian khusus kepada layanan, data, pemerataan antrean, dan kapasitas daerah. Namun, karena masih tahap awal, belum semua program bisa dinilai “berhasil” secara menyeluruh. Implementasi tetap menghadapi tantangan: kapasitas daerah, pendanaan, koordinasi antara pusat-daerah, dan regulasi yang harus diperkuat. 

Pembentukan Kementerian Haji dan Umroh adalah langkah strategis yang tepat dan menunjukkan komitmen negara untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Indikator-indIkator awal menunjukkan adanya perbaikan: sistem antrean yang disamaratakan, sedikit penurunan biaya, layanan publik mulai diperkuat.

Namun, reformasi sejati baru akan terlihat jika perubahan itu terasa secara nyata oleh jutaan calon jamaah haji dalam bentuk antrean yang lebih pendek, biaya yang lebih terjangkau, dan layanan yang lebih mulus dan profesional.

Sejauh ini ada harapan, ada kemajuan, tetapi masih banyak pekerjaan rumah. Jika Kemenhaj mampu menjaga konsistensi dan memperkuat implementasi, maka transformasi ini tidak hanya akan menjadi perubahan struktur tetapi perubahan substansial yang dirasakan oleh umat.