Jumat, 06 Mei 2011

No Woman No Cry, No Sales No Income!


No Woman No Cry adalah judul lagu yang dinyanyikan aktor legendaris Bob Marley. Sementara No Sales No Income adalah kata kunci bagi para sales person untuk menjadi penjual yang baik. Mau tahu bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya.
Pernyataan sales equal income dan no sales no income adalah benar.
Karena untuk menuju sukses orang tidak cukup jika hanya berbekal keahlian profesional saja... Menjadi pintar saja tidak cukup... Bahkan jenius pun tidak cukup...

Mau bukti?
Vincent Van Gough boleh dibilang, pelukis paling jenius. Saking jenius dan visionernya, banyak masyarakat yang tidak bisa mengerti lukisan Van Gough. Akibatnya, banyak karya Van Gough yang tidak laku dijual. Bahkan pernah suatu waktu karena saking miskinnya, dia membakar beberapa lukisannya untuk menghangatkan ruangan.

Dalam soal asmara, Van Gough juga tidak bernasib mujur. Cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Karena berkali-kali ditolak, Van Gough pernah mengiris telinga di depan gadis yang dicintainya. Meski sudah berlumuran darah, tetap saja cintanya ditolak sang gadis pujaan. Sungguh malang nasib pelukis hebat Van Gough, sampai akhir hayat, hidupnya merana, patah hati, dan miskin.

Sebaliknya Pablo Picasso, pelukis yang keahlian melukisnya tidak secanggih Van Gough, bisa hidup makmur dari hasil penjualan lukisan. Lukisan Picasso yang lebih ”market oriented” mudah dipahami orang sehingga laku terjual. Di tambah lagi sebagai pelukis, Picasso mampu dan piawai mempengaruhi pelanggan untuk membeli produknya di atas rata-rata. Dalam film ”Surviving Picasso” yang dibintangi Anthony Hoppkins, digambarkan salah satu trik Picasso menjual lukisannya. Apabila pembelinya wanita, Picasso akan menggunakan magic word: “Nona, sepertinya saya pernah melukis wajah cantik Anda, di mana kita pernah bertemu sebelumnya?” Hati wanita mana yang tidak takluk jika dipuja seperti itu oleh pelukis top sekelas Picasso?

Dengan status ekonomi yang lebih mapan, kehidupan cinta Picasso juga lebih baik daripada Van Gough. Ia menjadi pujaan wanita. Sampai akhir hidupnya, Picasso hidup makmur, senang, dan bahagia.

Sebenarnya perbedaan antara Van Gough dengan Picasso hanya terletak pada satu hal yakni: kemampuan menjual. Picasso mampu mengkombinasikan antara proses keartisan (art sense) dengan penjualan (selling sense)—sesuatu yang tidak pernah dilakukan Van Gough sebelumnya.

Van Gough merupakan representasi dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sangat sedikit profesional yang mempunyai keahlian menjual. Akibatnya, meskipun mereka berhasil membuat produk dengan kualitas terbaik atau mahakarya yang bernilai seni tinggi, produknya tidak bisa terjual. Otomatis secara ekonomi kehidupan para profesional tidak mengalami perbaikan.

Mengapa para profesional banyak yang tidak memiliki keahlian menjual?
Pertama, karena mereka tidak menganggap menjual sebagai bagian dari aktivitas profesionalnya.
Kedua, karena mereka tidak mau belajar.

Saya kan professor, saya tidak mu menjual! Anda saja yang menjual, saya focus memproduksi saja…
Saya kan sekretaris perusahaan, mengapa saya perlu repot belajar selling skill, bos saya pasti akan menaikkan gaji saya karena saya cakap dalam bekerja.

Itulah contoh reaksi spontan para profesional yang diminta menjual atau diminta mengikuti pelatihan penjualan. Mereka menganggap keahlian menjual bukanlah keahlian yang wajib dipelajari dan akan berdampak pada karier atau kehidupan.

Orang yang menempatkan penjualan di sisi inferior adalah orang yang tidak mempunyai indera untuk menjadi makmur, kaya, dan bahagia. Mengapa? Karena penjualan selalu sama dengan pendapatan (sales equals income). Semakin pintar orang menjual, maka semakin banyak pula produk yang akan dijualnya, dan semakin banyak produk yang dijual, maka semakin banyak uang yang masuk ke kantong. Untuk mendapatkan kemakmuran, siapapun harus mau menjual!

Jika paham prinsip penjualan sama dengan pendapatan, siapa pun akan termotivasi dan bangga dengan profesi sebagai penjual (salesman). Setiap orang sukses dan kaya adalah orang yang menempatkan menjual sebagai aktivitas inti dalam kehidupannya. Baik menjual produk jadi kepada orang lain, menjual network, menjual keahlian, menjual keyakinan, dan lain sebagainya.

“Sales equal Income, no Sales No Income” harus menjadi mantra yang selalu diucapkan seorang penjual supaya bersemangat. Mantra ini ampuh mengusir rasa malu, rasa gampang menyerah, takut gagal atau frutasi ketika menjual. Saya pun sering meneriakkannya, sambil mengingat kembali cerita Vincent Van Gough dan Pablo Picasso di atas. Lalu saya putuskan, “Saya akan menjadi seorang Picasso yang sejahtera bukan seorang Van Gough yang pintar namun menderita!”


Sales Motivation

Kamis, 05 Mei 2011

Bukan Sulap Bukan Sihir. Ini adalah Magic Marketing



Magic marketing memang masih baru di Indonesia. Namun begitu, sejumlah manfaat bisa dirasakan perusahaan yang menjalankan trik dan konsep magic marketing dalam aktivitas pemasarannya.

Kompetisi yang semakin ketat dan terjadinya perubahan customer behavior dari rasional ke emotional serta perubahan market yang semakin terfragmentasi menjadi niche-niche market membuat pemasaran cara-cara lama menjadi tidak relevan lagi.

Agar mampu bersaing, customer harus didekati secara personal. Customer butuh layanan yang tidak hanya standar tapi delight, bahkan butuh sesuatu yang tidak terduga.

Banyak perusahaan mengira, butuh dana besar untuk menciptakan kondisi tersebut. Sayangnya kebanyakan perusahaan tidak ingin mengeluarkan biaya yang mahal untuk merespon perubahan market dan perilaku konsumen tersebut. Sebisa mungkin mereka menerapkan prinsip low budget high impact dalam segala aspek.

Untuk itu magic marketing merupakan salah satu solusi menjawab perubahan tersebut. Magic marketing merupakan penggabungan antara teori marketing yang ada dengan keterampilan sulap. Harapannya dengan pemahaman teori marketing digabung dengan keterampilan sulap ini bisa membuat tim sales force mampu bersaing dalam merebut hati konsumennya sehingga tercipta customer for life.

Selain itu magic marketing merupakan aktivitas marketing yang out of the box guna menciptakan ide dan aktivitas pemasaran di luar kebiasaan. Dengan aktivitas itu, diharapkan pemasar mampu memenangkan hati konsumen, memberikan surprising emotional atau curiously approach sehingga konsumen betah berada di dekat mereka atau outlet. Dampaknya, kosumen puas dengan layanan yang ada dan mau menggunakan kembali produk atau layanan kita serta merekomendasikannya kepada pihak lain.

Untuk itulah Herry Budijanto Dragono, sang trainer magic marketing memperkenalkan konsep tersebut kepada khalayak ramai. Herry Budijanto memberi kesempatan para pemasar untuk mengikuti training magic marketing yang dikelolanya.

Ia mengatakan. training yang dikemas secara lengkap (knowledge, attitude, creativity dan skill) ini berbeda dengan training-training yang pernah ada selama ini yang cenderung hanya konseptual saja. Menurutnya, training magic marketing juga mengajarkan (game) untuk keluar dari "price war" yang cenderung mengarah pada "red ocean" yang pelan tapi pasti akan menghancurkan profit perusahaan.

Salah satu materi dalam training ini adalah peserta dilatih trik-trik sulap sederhana yang diharapkan mampu menarik perhatian konsumen. Di awal sesi, peserta dijamin bisa menebak angka, warna dan membengkokkan sendok untuk training basic. Dengan menerapkan konsep-konsep dasar dari magic marketing ini perusahaan keluar dari red ocean dan menciptakan konsep layanan baru dengan memberikan value proposition fun kepada customer.

Di tingkat advance, peserta akan memiliki kemampuan "magic leadership", yakni bagaimana menerapkan konsep leadership yang horizontal dengan staf dan customer. Dengan penerapan konsep tersebut diharapkan leader bisa mengelola perusahaan dengan excellent yang ujung-ujungnya peningkatan profit secara signifikan.

Menurut Budijanto, ia pernah menerapkan magic marketing dalam memimpin armadanya di perusahaan lama. Hasilnya, dalam waktu tiga tahun selama memimpin cabang di perusahaan otomotif nasional di Palembang profit yang diperolehnya meningkat 15 kali lipat. Profit juga meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam waktu satu tahun ketika ia memimpin cabang Semarang. Atajudin Nur

Selasa, 03 Mei 2011

The Flower of Service, Amunisi di Era Legacy Marketing


Kunci utama untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan adalah memberikan value yang lebih superior ketimbang pesaing kita. Untuk menciptakan value yang superior, Christopher Lovelock, Pakar Marketing Service asal Inggris memperkenalkan konsep The Flower of Service.

Dalam konsep ini, value dibentuk oleh core products dan supplementary services. Core product merupakan hal paling dasar dalam produk maupun servis perusahaan. Hal itu wajib dimiliki semua perusahaan yang masuk ke pasar persaingan. Itu adalah inti dari bunga yang terletak di tengah. Perusahaan yang tidak memiliki inti tersebut jangan ikut berkompetisi.

Sedangkan supplementary services adalah servis-servis tambahan untuk membedakan core product yang Anda miliki dengan kompetitor. Itulah kelopak dari bunga yang bisa dibuat berbeda-beda. Satu inti bunga bisa terdiri dari beberapa kelopak.

Sebagai contoh, apabila Anda membuka usaha hotel, maka core product Anda adalah tempat tidur dan kamar yang nyaman untuk melepas lelah. Sedangkan supplementary services nya adalah room service, business center, cashier, reservation, valet parking, restaurant, internet, dan lain sebagainya.

Lovelock yang wafat pada 24 Februari 2008 mengingatkan bahwa perusahaan tidak bisa mengandalkan core product (inti bunga) sebagai keunggulan bersaing. Di tengah situasi kompetisi yang semakin ketat akibat perkembangan teknologi, politik-legal, ekonomi, sosial-budaya, dan market, tidak sulit bagi perusahaan-perusahaan baru untuk meniru core product Anda. Bahkan ada kemungkinan teknologi mereka lebih canggih dari Anda karena masuk ke pasar belakangan. Contohnya ketika Airbus memperkenalkan pesawat yang lebih besar ketimbang Boeing.

Oleh sebab itu, medan peperangan saat ini lebih diarahkan kepada supplementary services atau kelopak bunga. Lovelock sendiri membagi supplementary services ke dalam dua kategori yakni, facilitate core product, dan enhance core product. Facilitate core product adalah service tambahan yang diberikan perusahaan kepada klien yang berhubungan dengan core produk seperti business center dan room service dari sebuah hotel.

Sementara enhance core produk adalah service tambahan yang diberikan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah atau yang menjadi diferensiasi perusahaan seperti menyediakan guide untuk tamu hotel yang ingin mengunjungi tempat wisata di daerah tersebut.

Bila semua itu sudah dilakukan perusahaan, maka setidaknya klien mendapatkan nilai tambah ketika berhubungan dengan perusahaan kita. Mereka akan merasakan layanan yang beda antara produk kita dengan produk pesaing. Diferensiasi inilah yang di era legacy marketing bisa menjadi amunisi bagi perusahaan untuk berkompetisi. Tanpa amunisi di medan perang, perusahaan akan menjadi bulan-bulanan musuh. Atajudin Nur

Minggu, 01 Mei 2011

CATI, Metode Riset Pemasaran yang Cepat dan Efisien


Pelaksanaan riset pemasaran membutuhkan teknik wawancara yang tepat. Seiring dengan perkembangan teknologi membuat teknik wawancara dalam riset pemasaran semakin cepat dan efisien.

Secara umum teknik wawancara dalam riset pemasaran terbagi dalam beberapa teknik, yaitu face-to-face interview, mail survey, phone survey, Computer-Assisted Telephone Interviewing (CATI), internet/email survey, dan mobile survey.

Di Indonesia sendiri, teknik wawancara yang paling lazim digunakan oleh hampir semua lembaga riset pemasaran adalah face-to-face interview. Wawancara bisa dilakukan di rumah, di kantor, atau di lokasi tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti. Hampir 90 % pelaksanaan survei kuantitatif di Indonesia dilakukan dengan teknik ini.

Sementara di negara-negara yang memiliki tradisi risetnya sudah baik seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat, teknik wawancara berbasis telephone lebih banyak digunakan dibanding dengan face-to-face interview. Hal itu disebabkan oleh dua faktor yaitu waktu dan biaya. Wawancara menggunakan telephone lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan teknik face-to-face interview.

Teknik wawancara berbasis telephone terbagi menjadi dua yaitu phone interview yang bersifat lebih tradisional dan manual, dan yang kedua adalah CATI yang sudah computerized.

Dalam teknik CATI pewawancara tinggal mengikuti skrip/template pertanyaan yang disediakan oleh aplikasi perangkat lunak (software). Teknik wawancara menggunakan sistem terstruktur berupa pengumpulan data melalui telepon yang dapat mempercepat pengumpulan dan editing data, dan juga memungkinkan pewawancara untuk dapat melakukan wawancara dengan tepat waktu dan mendapatkan data yang lebih akurat. Perangkat lunak ini dapat menyesuaikan alur pertanyaan di kuesioner berdasarkan jawaban dan informasi yang telah diberikan oleh responden.

Keunggulan dan Manfaat CATI
Beberapa keunggulan CATI ini antara lain: Pertama, CATI memberikan peluang peneliti untuk dapat mengontrol secara penuh pelaksanaan risetnya, kuesioner dan sampel yang akan disurvei. Call-back atau pengecekan kembali bisa dilakukan sesuai dengan jadwal, dan peneliti dapat memeriksa status sampel dan kuota sampel dengan cepat.

Kedua, CATI memungkinkan peneliti dapat mengontrol biaya pelaksanaan riset lebih ketat. Peneliti dapat mendeteksi masalah yang dihadapi pewawancara dan produktivitas tim pewawancara. Peneliti bisa melakukan analisa setiap saat ketika wawancara sedang berlangsung.

Ketiga CATI akan meningkatkan kualitas dari hasil riset yang telah dilakukan. Riset ini akan menghasilkan kualitas data yang lebih baik, tidak ada data yang hilang atau tidak terisi, karena semua pertanyaan harus terisi dan akan diperiksa kekonsistenan jawabannya
Keempat, hasil riset dapat diketahui lebih cepat. Proses data entry yang dilakukan sekaligus bersamaan dengan proses wawancara memungkinkan hasil riset langsung bisa diketahui sesaat setelah proses wawancara selesai dilakukan.

Selain itu produktivitas akan lebih baik. Karena pelaksanaan survei lebih lebih sedikit membutuhkan tenaga kerja karena fungsi -fungsi administrasi sudah diambil-alih oleh sistem.

Pelaksanaan riset juga lebih simple. Desain kuesioner dan prosedur sampling dapat dilakukan secara sederhana dan cepat karena prosesnya dibantu oleh sistem komputer.

Namun demikian disamping keunggulan, CATI tetap memiliki keterbatasan. Untuk skala riset yang membutuhkan waktu wawancara lebih dari 15 menit peneliti akan kesulitan jika menggunakan CATI. Begitu juga halnya dengan riset yang banyak menggunakan open-ended question, tidak cocok dengan metode CATI.

CATI akan lebih efektif kalau menggunakan dasar database responden yang besar dan sudah terstruktur dengan rapi. Karena itu industri yang paling baik menerapkan CATI adalah perbankan, asuransi, telekomunikasi, dan otomotif.

Selamat mencoba.
Atajudin Nur