Jumat, 22 Januari 2010

SAMPAI KAPAN SBY BERTAHAN

Hasil keputusan Pansus Angket Bank Century sangat menentukan nasib Presiden SBY, sebagai orang pertama yang menjadi sasaran tembak lawan politiknya. Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan ada kegegabahan pemerintah dalam mengambil kebijakan pemberian dana talangan (bailout) kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Salah satu kegegabahan itu adalah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mengaku dirinya merasa tertipu BI, ketika menyetujui bailout kepada Bank Century.

Kegegabahan itulah yang menjadi pintu masuk anggota Pansus menilai bailout Bank Century adalah sebuah kesalahan pemerintah. Dan apabila hasil Pansus memutuskan itu, maka pemakzulan (impeachment) terhadap SBY tidak bisa dihindari. SBY sebagai presiden saat itu harusnya mengetahui kebijakan yang dilakukan para pembantunya, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono. SBY tidak bisa lepas tangan terhadap kelakuan para pembantunya karena setiap kebijakan strategis mereka harus setahu presiden.

Lewat pemakzulan itulah kursi kepresidenan SBY dipertaruhkan. Para lawan politik akan menuduh SBY terlibat dalam kejahatan mencairkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun yang seharusnya tidak perlu sebesar itu. Berdasarkan konstitusi, UUD 45 Pasal 7A, pertanggung-jawabannya sangat besar, SBY bisa diberhentikan sebagai presiden oleh MPR berdasarkan usulan DPR.

Kasus semacam itu pernah terjadi di Indonesia yang dialami dua presidennya. Ada dua presiden yang dilengserkan secara konstitusi berdasarkan amar putusan 2/3 anggota MPR yakni seperti yang terjadi pada BJ Habibie dengan menolak pertanggungjawabannya dan Gus Dur karena dianggap terlibat di dalam kasus Buloggate.

Dua peristiwa sejarah itulah yang menguatkan semangat lawan politik SBY untuk menjatuhkannya secara konstitusional. Anggota Pansus Bank Century dari Partai oposisi di DPR seperti PDI-P berusaha mengungkap borok pemerintah (Menteri Keuangan dan Gubernur BI) dalam pengucuran dana talangan itu.

Namun, meski borok sudah terkuat, pelengseran SBY secara konstitusional sangat sulit. Anggota Pansus dari partai koalisi pemerintah akan mendukung pemerintah dengan menyatakan bahwa bailout Bank Century bukan sebuah pelanggaran. Dengan keputusan tersebut SBY selamat dari kejatuhannya sebagai presiden.

Kalau pun itu sebuah kesalahan, pemakzulan tidak akan sampai terjadi karena 2/3 anggota DPR mendukung pemerintah. Anggota DPR akan menolak mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran atau kesalahan seperti yang diatur dalam Pasal 7B ayat 1 UUD 45.

Namun begitu, citra buruk telah tercoreng di muka pemerintah. Orang akan menilai Bank Indonesia tidak profesional dalam menjalankan tugas sehingga Robert Tantular pemilik Bank Century bisa leluasa membobol banknya. Begitu lemahnya BI sehingga dana negara mengalir ke Bank Century hingga mencapai Rp 6,7 triliun. Kini Gubernur BI saat itu, Boediono menjadi Wakil Presiden di pemerintahan SBY.

Apa kata dunia, bila orang yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya kini menjadi wakil presiden. Dan apa pula kata dunia, bila Sri Mulyani yang merasa tertipu BI kini masih menjabat Menteri Keuangan.

Meski kasus Bank Century akan kandas di tingkat Pansus DPR, namun lawan politik SBY tidak akan tinggal diam. Kedua pejabat tadi akan terus menjadi sasaran tembak menjatuhkan citra SBY di masyarakat. Lawan Politik akan mencari cara lain, yakni menjatuhkan SBY lewat kabinet jalanan, seperti yang terjadi di era Soeharto.

Kesan bahwa SBY pro koruptor dan melindungi koruptor akan terus berhembus. Media massa berperan penting dalam membangun citra itu. Apalagi kondisi masyarakat saat ini sedang sulit. Banyaknya pengangguran dan naiknya harga kebutuhan pokok, seperti beras bisa menyulut kebencian masyarakat terhadap SBY.

Ketika perut dalam kondisi lapar, orang tidak bisa berfikir jernih. Orang-orang inilah yang akan dengan mudah turun ke jalan untuk ”memperjuangkan” hak hidup mereka di negara ini. Tanpa dibayar mahal pun mereka rela turun ke jalan, yang oleh elit politik akan dimanfaatkan untuk mendesak DPR dan MK melakukan pemakzulan.

Sebenarnya parlemen jalanan ini pun sulit melengserkan SBY, karena DPR dan MK yang memiliki tugas melakukan pemakzulan, tidak akan mudah mengikuti kemauan mereka. Tetapi apakah anggota DPR dari partai non Demokrat dan MK tega bila hampir setiap hari melihat orang-orang miskin turun ke jalan menuntut pekerjaan dan bahan makanan murah. Apalagi pemerintah menurunkan demonstran bayaran untuk menandingi aksi demo tersebut. Suasana chaos pun tidak bisa dihindari.

Dampaknya, demo kedua kubu itu akan mengganggu perekonomian nasional. Situasi politik yang panas di tingkat masyarakat akan membuat harga makin mahal, dan orang pun tidak tenang menjalankan aktivitas sehari-hari. Citra buruk SBY akan bertambah, karena tidak bisa menenangkan situasi dalam negeri.

Kondisi seperti itu kembali membuka pintu masuk menjatuhkan SBY secara konstitusional. Karena citra telah hancur, rakyat pun tidak lagi menaruh simpati kepada presidennya. Para wakil rakyat di DPR akan berpikir dua kali untuk kembali menyelamatkan SBY. Para politikus adalah para petualang yang selalu melihat kemana arah angin bertiup.

Kalau sudah begitu, nasib SBY sebagai presiden di ujung tanduk. SBY akan kehilangan ”teman-teman”-nya yang tengah bersiap-siap menjaring kursi empuk di pemerintahan yang baru.