Senin, 10 November 2025

KOMISI REFORMASI POLRI

MAMPUKAH MENGURAI BENANG KUSUT?

Pemerintah resmi membentuk Komisi Reformasi Polri dengan mandat besar: memperbaiki kultur, profesionalisme, dan akuntabilitas institusi kepolisian. Komisi diisi oleh orang-orang kepolisian, mulai dari pensiunan polisi hingga Kapolri, serta diisi juga oleh para pakar hukum, seperi hukum pidana hingga hukum tata negara.

Presiden meminta komisi “secepatnya” melakukan kerja dan minimal sudah ada laporan awal dalam waktu tiga bulan ke depan setelah pembentukan. Presiden juga menegaskan bahwa komisi tidak memiliki batas waktu resmi untuk selesainya seluruh tugas. Artinya tugasnya bisa berlangsung lebih lama tergantung kebutuhan.

Langkah itu disambut optimistis oleh publik, namun juga diiringi keraguan yang tak kecil. Banyak kalangan menilai, reformasi Polri bukan hanya soal membentuk komisi, tapi bagaimana memastikan komisi itu punya taring dan kemauan politik di belakangnya.

Sejak reformasi 1998, berbagai upaya pembenahan kepolisian sudah berkali dilakukan. Mulai dari pemisahan Polri dari TNI, pembentukan Kompolnas, hingga dorongan transparansi dalam penegakan hukum. Namun, catatan publik menunjukkan bahwa persoalan mendasar — seperti budaya kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, dan ketimpangan penegakan hukum — belum sepenuhnya terselesaikan.

Komisi baru ini diharapkan menjadi terobosan. Dengan komposisi dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil, lembaga ini diharapkan dapat bekerja independen dan menghasilkan rekomendasi konkret. Tapi tantangannya besar: apakah rekomendasi itu akan benar-benar dijalankan, atau hanya menjadi laporan indah di atas kertas seperti pendahulunya?

Kunci keberhasilan komisi ini terletak pada dua hal utama: kemauan politik Presiden dan keterbukaan internal Polri. Tanpa dukungan kuat dari pucuk eksekutif, komisi hanya akan menjadi forum diskusi tanpa daya paksa. Sementara tanpa transparansi dari Polri sendiri, akses terhadap data dan fakta lapangan akan tertutup rapat.

Momentum Strategis

Beberapa pengamat menilai, momentum kali ini sebenarnya cukup strategis. Publik sudah jenuh dengan kasus-kasus pelanggaran etik dan kriminal di tubuh kepolisian. Dukungan masyarakat terhadap reformasi terbuka lebar. Namun, di sisi lain, resistensi dari internal juga bisa muncul — terutama bila reformasi menyentuh aspek-aspek sensitif seperti rekrutmen, promosi jabatan, dan pola penegakan hukum.

Prediksi realistisnya, dalam jangka pendek komisi ini akan lebih banyak berperan sebagai “pemicu wacana publik” ketimbang pengubah sistem langsung. Tapi jika dikelola dengan independen dan transparan, hasil kerjanya bisa menjadi dasar politik hukum yang lebih kuat di masa depan — terutama bagi pemerintah berikutnya yang mungkin melanjutkan agenda reformasi institusi penegak hukum.

Pada akhirnya, publik hanya menunggu satu hal: hasil nyata. Komisi Reformasi Polri akan dinilai bukan dari jumlah rapat atau rekomendasi yang diterbitkan, tapi dari seberapa besar perubahan perilaku aparat di lapangan. Sebab kepercayaan publik yang sempat retak, hanya bisa dipulihkan oleh tindakan nyata, bukan janji dan jargon.

Kamis, 06 November 2025

KRITIK TERHADAP PROGRAM MAKAN BERGIZI GRATIS

SEBUAH TINJAUAN AKHIR TAHUN

Ketika pemerintah mencanangkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai terobosan sosial unggulan, publik menaruh harapan besar. Visi mulianya jelas yakni memastikan anak-anak sekolah mendapatkan asupan gizi cukup, agar tumbuh sehat, cerdas, dan siap menjadi generasi emas Indonesia.

Namun menjelang akhir 2025, bayangan ideal itu tampak buram. Di balik angka-angka anggaran yang fantastis, realita di lapangan justru menunjukkan paradoks yang mengusik nurani.

Sejak diluncurkan awal 2025, program MBG menelan biaya lebih dari Rp 70 triliun, dan direncanakan meningkat pada 2026.  Laporan Badan  Gizi Nasional menyebutkan, penyerapan anggaran program MBG hingga pekan kedua Oktober 2025 baru mencapai Rp 26,25 triliun. Angka itu setara dengan 36,97 persen dari total anggaran tahun ini sebesar Rp 71 triliun.

Pemerintah menyebut capaian distribusi sudah menjangkau 70 persen wilayah, tapi laporan di berbagai daerah memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pelaksanaannya berjalan relatif tertib.

Namun di pelosok, terutama di wilayah seperti Sukabumi, Yogyakarta, dan sejumlah kabupaten di Kalimantan, program ini justru memunculkan masalah baru yakni dari distribusi tidak merata, menu yang tidak sesuai standar gizi, hingga kasus keracunan di lingkungan sekolah. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) seperti dikutip Tempo menunjukkan lima provinsi dengan jumlah keracunan MBG terbanyak, yakni Jawa Barat dengan 2.012 kasus, DI Yogyakarta 1.047 kasus, Jawa Tengah 722 kasus, Bengkulu 539 kasus, dan Sulawesi Tengah 446 kasus. 

Tragedi keracunan tersebut menjadi alarm keras bahwa sistem pengawasan MBG masih rapuh. Data dari sejumlah lembaga pemantau menunjukkan bahwa sebagian penyedia katering lokal tidak melalui proses sertifikasi kesehatan yang memadai. Misalnya, bahan makanan dibeli pagi, dimasak terburu-buru, tanpa uji higienitas yang ketat. Akibatnya, puluhan siswa harus dirawat di puskesmas usai menyantap makanan dari program yang sejatinya bertujuan menyehatkan.

Ironisnya lagi, di beberapa daerah, dana operasional MBG justru tersendat karena prosedur birokrasi berbelit. Kepala sekolah harus menunggu berminggu-minggu untuk pencairan dana, sementara anak-anak tetap menunggu makan siang yang dijanjikan. Di sisi lain, laporan dari lembaga keuangan negara menunjukkan adanya deviasi antara alokasi dan realisasi anggaran hingga 18 persen — angka yang tidak kecil untuk sebuah program berskala nasional.

Pemerintah memang mengakui adanya “masalah teknis di lapangan”, tetapi persoalan ini tidak bisa sekadar dianggap teknis. Ketika program dengan label bergizi justru memunculkan korban jiwa, maka yang gagal bukan hanya sistem logistik, tetapi juga akuntabilitas kebijakan. Banyak pihak menilai pelaksanaan MBG lebih sibuk pada pencitraan politik ketimbang membangun sistem pangan yang sehat dan berkelanjutan di sekolah.

Padahal, ide dasarnya sesungguhnya brilian. Negara hadir untuk memastikan tidak ada anak sekolah yang belajar dalam keadaan lapar. Namun, sebagaimana banyak program populis lainnya, pelaksanaannya terburu-buru, tanpa kesiapan ekosistem pendukung yang solid. Rantai pasok pangan lokal, sertifikasi dapur penyedia, mekanisme audit, dan transparansi data penerima —masih tambal sulam. 

Dari hasil pantauan di lapangan, sejumlah daerah belum memiliki daftar tetap penerima manfaat. Ada sekolah yang tidak pernah menerima sama sekali. Lebih dari sekadar salah distribusi, ini menunjukkan lemahnya koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah. Akibatnya, yang seharusnya menjadi momentum pemerataan gizi justru berubah menjadi peta ketimpangan baru.

Dukungan Stakeholder Terkait

Kritik terhadap program MBG bukan berarti menolak gagasan besarnya. Justru sebaliknya, kritik diperlukan agar ide yang baik tidak mati di tangan pelaksana yang lemah. Program ini seharusnya tidak hanya menyalurkan makanan, tetapi juga mendidik anak-anak tentang pola makan sehat, memperkuat petani lokal sebagai pemasok, dan membangun sistem pengawasan partisipatif agar setiap rupiah benar-benar sampai ke meja makan siswa.

Menjelang akhir 2025, publik menunggu keberanian pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh yang dipublikasikan ke masyarakat luas. Bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi juga tentang tanggung jawab moral: memastikan bahwa setiap piring yang disajikan benar-benar bergizi, aman, dan adil. Jika tidak, MBG hanya akan menjadi simbol ironi — program makan bergizi yang justru menelan korban. 

MBG adalah janji kampaye Presiden Prabowo yang perlu didukung stakeholder terkait agar berjalan dengan baik  seperti yang dilakukan Danantara yang akan  berinvestasi Rp 20 Triliun untuk membangun peternakan ayam di seluruh Indonesia. Hal itu dapat meningkatkan produksi telur dan ayam dalam memenuhi kebutuhan protein hewani di program MBG secara nasional. Dengan Begitu Insya Allah  Indonesia tidak akan kekurangan telur dan ayam.  

Untuk itu ditunggu peran serta stakeholder terkait lainnya dalam mendukung kesuksesan program Makan Bergizi Gratis.

Senin, 03 November 2025

KINERJA KEMENTERIAN HAJI DAN UMROH

SEBUAH EVALUASI AWAL

Pemerintah memutuskan membentuk Kementerian Haji dan Umroh (Kemenhaj) sebagai entitas tersendiri dari sebelumnya tugas diemban oleh Kementerian Agama (Kemenag). Langkah ini disambut dengan harapan besar agar penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia yang selama ini menghadapi persoalan antrean panjang, biaya tinggi, dan layanan yang belum memuaskan bisa menjadi lebih baik.

Pertanyaannya, apakah perubahan struktural ini sudah membawa perbaikan nyata dalam praktiknya? 

Dari indikator yang tersedia, jawabannya akan ada kemajuan, namun jauh dari sempurna.

Berikut ulasannya.

Soal Antrean Panjang

Salah satu persoalan kronis yang terus dikeluhkan jamaah haji Indonesia adalah lamanya masa tunggu antrean untuk berangkat. Menurut data publik,  beberapa daerah masih mencatat masa tunggu hingga 40 tahun. 

Dalam kerangka Kemenhaj, terdapat rencana pembaruan sistem antrean. Masa tunggu haji yang selama ini bisa mencapai 40 tahun akan dipangkas. Ada rencana, antrean di seluruh provinsi disamaratakan menjadi rata-rata 26 tahun.

Hal itu merupakan langkah yang signifikan secara simbolik.  Dan untuk pertama kali sistem antrean dibahas dengan target “pemerataan” lantaran selama ini disparitas antara satu daerah dengan daerah lain sangat besar.  

Namun, apakah kebijakan tersebut akan berlaku penuh dalam satu musim atau selamanya.  Selain itu, ketika kebijakan berubah (misal pemerataan antrean), penting diperhatikan agar jamaah yang sudah mendaftar lama tidak dirugikan.


Biaya Haji Masih Jadi Tantangan Besar

Biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) selalu menjadi sorotan. Karena bagi banyak calon jamaah di Indonesia merasakan biaya ini cukup memberatkan.

Untuk musim haji reguler 2025, pemerintah menetapkan BPIH sebesar ± Rp 89,41 juta per jamaah.  Dari angka tersebut, bagian yang dibayar langsung oleh jamaah (Biaya Perjalanan Ibadah Haji – Bipih) adalah ± Rp 55,43 juta, sedangkan sisanya ± Rp 33,98 juta berasal dari nilai manfaat dana haji.  

Untuk BPIH 2026, pemerintah mengusulkan rata-rata Rp 88,409,365.45 (turun sekitar Rp 1 juta dibanding tahun sebelumnya). Dari angka tersebut, jamaah dibebankan rata-rata Rp 54,924,000.

Memang terdapat penurunan biaya haji untuk 2026 dibanding sebelumnya. Namun, walaupun angka biaya sedikit turun, besaran biaya masih sangat besar bagi banyak calon jamaah. Juga, penurunan hanya sedikit (± Rp 1 juta dari total Rp 89 juta). Dengan demikian, meskipun ada perbaikan, tingkat beban biaya tetap sangat signifikan dan masih menjadi tantangan besar.

 

Layanan Publik dan Program Inisiasi Baru

Perbaikan layanan haji dan umrah sudah mulai disebut: “pemerintah memperbaiki sistem antrean dan kualitas pelayanan haji Indonesia agar bisa menjadi percontohan dunia.” Program seperti pusat layanan terpadu haji dan umrah (PLHUT) mulai muncul di daerah-daerah untuk memperkuat layanan.

Sementara Dari aspek regulasi pembentukan Kementerian Haji sendiri membuka kesempatan untuk fokus lebih besar terhadap urusan haji dan umrah. Kementerian ini diharapkan tidak hanya mengorkestrasi sejumlah lembaga atau institusi terkait pelayanan haji dan umroh, tetapi menjadi garda tedepan dalam pemberian layanan publik terbaik kepada jamaah. 

Inisiatif tersebut jelas merupakan langkah positif antara lain dengan memberikan perhatian khusus kepada layanan, data, pemerataan antrean, dan kapasitas daerah. Namun, karena masih tahap awal, belum semua program bisa dinilai “berhasil” secara menyeluruh. Implementasi tetap menghadapi tantangan: kapasitas daerah, pendanaan, koordinasi antara pusat-daerah, dan regulasi yang harus diperkuat. 

Pembentukan Kementerian Haji dan Umroh adalah langkah strategis yang tepat dan menunjukkan komitmen negara untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Indikator-indIkator awal menunjukkan adanya perbaikan: sistem antrean yang disamaratakan, sedikit penurunan biaya, layanan publik mulai diperkuat.

Namun, reformasi sejati baru akan terlihat jika perubahan itu terasa secara nyata oleh jutaan calon jamaah haji dalam bentuk antrean yang lebih pendek, biaya yang lebih terjangkau, dan layanan yang lebih mulus dan profesional.

Sejauh ini ada harapan, ada kemajuan, tetapi masih banyak pekerjaan rumah. Jika Kemenhaj mampu menjaga konsistensi dan memperkuat implementasi, maka transformasi ini tidak hanya akan menjadi perubahan struktur tetapi perubahan substansial yang dirasakan oleh umat.

Jumat, 31 Oktober 2025

HAJI, LAYANAN YANG TAK KUNJUNG SUCI

Tuntutan Terhadap Kementerian Haji dan Umroh

Setiap musim haji, jutaan umat Islam menunaikan perjalanan spiritual yang menjadi puncak pengabdian kepada Tuhan. Namun di tanah air, di balik kemegahan ritual perjalanan haji, tersimpan kisah panjang tentang pelayanan publik yang belum sepenuhnya suci: antrean panjang yang seolah tak berujung, birokrasi berbelit yakni belum one stop service dan digitalisasi, serta layanan yang kerap jauh dari layak.


Hampir tiga dekade pasca reformasi, problem itu bertahan dalam pola yang sama—tata kelola yang rapuh, koordinasi antarlembaga yang lemah, dan tanggung jawab yang kabur. Layanan haji di negeri dengan populasi Muslim terbesar dunia ini justru sering mencerminkan wajah birokrasi yang lamban dan terfragmentasi.

Kini, pemerintah membentuk Kementerian Haji dan Umroh. Sebuah langkah besar yang menimbulkan harapan baru: hadirnya lembaga khusus yang fokus memperbaiki tata kelola, meningkatkan transparansi, dan menempatkan kepentingan jemaah sebagai prioritas utama. Namun, sebagaimana ibadah haji itu sendiri, setiap niat baik menuntut bukti nyata. 

Masalah yang Tak Pernah Usai

Antrean keberangkatan haji di sejumlah provinsi kini menembus dua hingga tiga dekade. Sistem pendaftaran melalui Siskohat belum sepenuhnya transparan dan sering kali tidak sinkron antara data pusat dan daerah. Salah satu dampaknya, banyak calon jemaah, terutama lansia, yang meninggal sebelum sempat berangkat.

Di sisi lain, kualitas layanan di Tanah Suci juga masih timpang. Jemaah sering mengeluhkan hotel yang jauh, konsumsi yang tidak sesuai selera, atau transportasi yang tidak teratur. Padahal sebagian besar jemaah Indonesia berusia lanjut dan membutuhkan perhatian khusus.

Akar persoalan terletak pada fragmentasi kelembagaan. Terlalu banyak institusi terlibat: Kementerian Agama, BPKH, biro perjalanan, maskapai, hingga otoritas Arab Saudi. Namun, tak ada satu pun lembaga yang memegang kendali utuh atas keseluruhan rantai pelayanan. Dalam situasi demikian, tanggung jawab menjadi kabur. Bila pesawat tertunda, siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban? Bila hotel tidak sesuai kontrak, siapa yang harus menindak?

Momentum Reformasi

Kehadiran Kementerian Haji dan Umroh harus dimaknai bukan sekadar pemekaran kelembagaan, melainkan momentum reformasi total. Ada tiga agenda strategis yang perlu segera diwujudkan. 

Pertama, digitalisasi penuh layanan haji dan umroh. Setiap calon jemaah harus dapat memantau antrean, status administrasi, hingga jadwal keberangkatan secara daring dan real-time. Sistem ini akan memangkas praktik percaloan dan meningkatkan akuntabilitas.

Kedua, standarisasi dan akreditasi penyelenggara ibadah. Setiap biro perjalanan dan penyedia layanan harus memenuhi standar mutu yang ketat. Kontrak kerja sama dengan pihak luar negeri perlu disertai service level agreement yang jelas, mencakup jarak hotel, menu konsumsi, dan sarana transportasi.

Ketiga, kehadiran negara di Tanah Suci. KemenHaj-Umroh perlu memiliki kantor perwakilan tetap di Makkah dan Madinah untuk mengawasi langsung vendor hotel, katering, dan transportasi. Jangan lagi nasib jutaan jemaah diserahkan sepenuhnya pada pihak ketiga tanpa pengawasan langsung.

Belajar dari Negara Lain

Malaysia telah lama membuktikan bahwa tata kelola haji bisa profesional tanpa kehilangan nilai religiusnya. Melalui Lembaga Tabung Haji, Malaysia menyatukan sistem tabungan, antrean, dan keberangkatan dalam satu ekosistem yang efisien dan transparan. Setiap calon jemaah mengetahui estimasi keberangkatannya sejak dini, dan pelayanan di Tanah Suci dikawal langsung oleh petugas pemerintah.

Turki juga menjadi contoh menarik. Presidensi Urusan Agama (Diyanet) mengelola seluruh proses haji dan umroh dengan disiplin tinggi. Sebelum berangkat, jemaah mengikuti pelatihan manasik simulatif di dalam negeri. Di Makkah, mereka mendapat layanan seragam dan terjamin mutunya.

Kedua negara itu membuktikan: dengan tata kelola yang bersih dan profesional, pelayanan haji bisa menjadi simbol kemajuan bangsa, bukan sekadar kegiatan ritual.

Reformasi yang Tak Bisa Ditunda

Kementerian baru ini harus berani menempuh langkah konkret. Audit menyeluruh terhadap sistem lama mutlak dilakukan—termasuk evaluasi kontrak dengan maskapai, hotel, dan penyedia layanan. Integrasi data nasional antarbank, BPKH, dan embarkasi harus segera diwujudkan agar calon jemaah tak lagi menjadi korban kekacauan administrasi.

Selain itu, sistem umpan balik digital perlu diterapkan agar pengalaman dan keluhan jemaah menjadi dasar perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Layanan haji seharusnya tidak lagi bergantung pada laporan formal petugas, tetapi dinilai langsung oleh pengguna: jemaah itu sendiri.

Penutup

Haji bukan sekadar rukun Islam kelima, melainkan cermin manajemen publik suatu bangsa. Bagaimana sebuah negara melayani warganya dalam perjalanan spiritual terbesar dalam hidup mereka menunjukkan sejauh mana birokrasi itu memahami makna pelayanan.

Kementerian Haji dan Umroh adalah peluang besar untuk menebus kesalahan masa lalu—selama ia benar-benar bekerja dengan semangat pelayanan, bukan kekuasaan. Kesucian haji tidak hanya diukur dari niat ibadah jemaah, tetapi juga dari kemurnian niat pemerintah dalam melayani mereka.

 

Kamis, 30 Oktober 2025

PRABOWO: POLRI HARUS JADI POLISI RAKYAT

Tugas
Polri tidak mudah. Karena Presiden Prabowo memerintahkan Polri harus menjadi garda terdepan untuk melindungi rakyat Indonesia dari berbagai ancaman

Polisi harus bersatu dengan rakyat Indonesia, seperti TNI. Sehingga dalam pemberantasan narkoba dan penyelundupan, rakyat dapat menjadi mata dan telinga polisi"Saya ingatkan di mana-mana, tentara harus jadi tentara rakyat, polisi harus jadi polisi rakyat, sehingga rakyat nanti yang jadi mata dan telinga. Rakyat yang lapor," tegas Prabowo Subianto kepada Kapolri saat menghadiri pemusnahan narkoba di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/10/2025).

Prabowo mengingatkan Polri untuk tetap menjalankan tiga tugas utamanya dengan baik, yakni pemberantasan narkoba, penyelundupan dan judi online. Polri juga harus bekerja sama dengan instansi pemerintah lainnya seperti TNI, Kejaksaan, Bakamla, dan KKP.

POLISI RAKYAT
Menjadi Polisi Rakyat atau yang disebut dengan Community Policing adalah perintah Presiden Prabowo kepada Kapolri berikut jajaran petinggi Polri. Sehingga Polri bisa menyatu dengan rakyat Indonesia. 

Konsep Polisi Rakyat menekankan pentingnya kerja sama antara polisi dan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertibanMelalui konsep tersebut Polisi dapat menjadi lebih efektif dalam memberantas kejahatan dan menjaga keamanan masyarakat.

Konsep Polisi Rakyat diperkenalkan pertama kali oleh Sir Robert Peel (1788-1850) negarawan Inggris yang menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris dua kali, pada tahun 1834-1835 dan 1841-1846. Ia juga dikenal sebagai pendiri Polisi Metropolitan London, yang merupakan pasukan polisi pertama di Inggris.

Pada tahun 1829, Peel memperkenalkan Undang-Undang Polisi Metropolitan, yang membentuk Polisi Metropolitan London. Ia menjadi Menteri Dalam Negeri pada saat itu dan berperan penting dalam pembentukan pasukan polisi modern di Inggris.

Ada lima prinsip dasar yang diperkenalkan oleh Sir Robert Peel dalam pembentukan Polisi Metropolitan London yakni:

1. Polisi harus dekat dengan masyarakat: Polisi harus berada di tengah-tengah masyarakat dan dapat dijangkau oleh masyarakat.

2. Polisi harus adil dan tidak memihak: Polisi harus adil dan tidak memihak dalam menjalankan tugasnya.

3. Polisi Sebagai Pelayan Masyarakat: Peel menekankan bahwa polisi harus melayani masyarakat dan menjaga keamanan serta ketertiban.

4. Kerja sama Polisi dengan masyarakat: Peel percaya bahwa polisi harus bekerja sama dengan masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

5. Profesionalisme: Peel menekankan pentingnya profesionalisme dalam kepolisian, termasuk pelatihan dan disiplin yang ketat.

Prinsip-prinsip yang diperkenalkan oleh Peel itu  telah menjadi dasar bagi kepolisian modern di banyak negara, termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai bapak polisi  modern karena kontribusinya dalam membentuk pasukan polisi yang profesional dan melayani masyarakat. 

Pertanyaannya bisakah Polri menjadi Polisi Rakyat seperti yang diperintahkan Presiden Prabowo Subianto. Perintah Presiden harus dijalankan dan jawabannya harus bisa. Hanya saja banyak pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan Lembaga ini semisal menertibkan anggotanya yang nakal.  

Harus diakui oknum petugas bisa jadi ada di lembaga pemerintah yang anggotanya ratusan ribu dan menyebar di 38 propinsi di Indonesia itu. Untuk mengatasinya pembinaan dan pengawasan anggota harus lebih ditingkatkan. Semoga Polri bisa menjadi Polisi Rakyat.