Senin, 05 Maret 2012
Pembelian Selalu Mengandung Resiko?
Pernahkah Anda merasakan saat hendak membeli sesuatu degub jantung berdetak lebih kencang. Semakin besar nilai barang atau semakin penting fungsi barang, semakin kencang degub jantung kita. Mengapa? Karena kita tertekan, stres, dan takut salah dalam pembelian.
Di benak Anda berputar seribu satu keraguan antara lain:
“Benarkah keputusan saya ini?”
“Benarkah harga tanah ini, kemahalan atau tidak?”
“Bagaimana keputusan saya salah dan saya ditipu?”
Keraguan itu membuktikan bahwa setiap pembelian selalu mengandung risiko. Karena risiko inilah kadang prospek lambat ketika diminta memutuskan. Di lain pihak penjualnya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat closing, dapat komisi lalu selesai. Penjual yang tidak sabar akan mendesak prospek untuk segera membeli. Akibatnya, justru terjadi penolakan. 80 persen prospek yang tertekan akan mengatakan “tidak” ketika diminta memutuskan pembelian. Jadi semakin didesak, mereka akan semakin menjauh dari kita.
Namun angka 80 persen ini bukan angka absolut. Artinya bisa dikonversikan lagi menjadi pembelian jika penjual bisa meningkatkan keyakinan prospek. Dari sinilah muncul sistem money back guarantee atau kalau tidak suka uang kembali.
Dalam sistem ini perusahaan mencoba mengambil alih risiko pembelian yang seharusnya menjadi tanggung pembeli. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai, misalnya kualitas produknya tidak sesuai dengan spesifikasi, antaran produknya lambat, maka pembeli boleh mengembalikan secara penuh atau sebagian kepada penjual. Dengan demikian, tidak risiko yang ditanggung prospek kecil atau bahkan nol ketika memutuskan pembelian. Dengan sistem ini penjual dapat mengoptimalkan konversi 80 persen penolakan menjadi penjualan.
Pertanyaannya adalah sekarang bagaimana membuat ‘risk reversal offering’.
Contohnya adalah ketika penjual produk jasa konstruksi & konsultan interior memberikan penawaran kepada calon pelanggannya, bahwa ia akan ‘deliver’ produknya sesuai dengan gambar 3D yang sudah dipresentasikannya. Dengan jaminan jika ternyata hasilnya tidak sesuai gambar yang dijanjikan maka ia akan memperbaikinya ‘at no cost’ sampai pelanggannya benar-benar puas. Dan jika sudah diperbaiki ternyata masih tetap gagal, tidak sesuai dengan gambar dan kualitas yang dijanjikan, maka pembeli boleh meminta discount yang dianggapnya pantas. Ini berarti bagi pelanggannya, langkah penjualan itu telah memindahkan risikonya. Tentu saja untuk melakukan sistem ini ada tambahan cost.
Konsep risk reversal ini bukan sekadar konsep ‘kalau tidak suka uang dikembalikan.” Risk reversal adalah bukti nyata atas janji-janji kita. Tidak adil, jika kita sebagai penjual ‘tidak berani menggaransi’ produk atau jasa kita. It doesn’t make sense! Risk reversal juga bentuk comittment of excellence, yang menjadi salah satu kunci sukses bisnis.
sales motivations
Jumat, 02 Maret 2012
Buktikan, Jangan Cuma Ngomong
“Kami memberikan bukti bukan janji.”
Banyak penjual yang terlalu memikirkan cara berbicara kepada prospek sehingga muncul stigma penjual yang sukses adalah penjual yang banyak berbicara. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar karena bukti itu jauh lebih penting, kata-kata hanya menjadi bingkainya. Sebuah bingkai tidak bisa kebesaran atau kekecilan demikian juga perkataan tidak boleh melebih-lebihkan atau mengurangi fakta.
Bagaimana jika sekarang kita alihkan fokus dan konsentrasi kita kepada bukti atau prestasi bukan semata-mata kata-kata dan janji. Apakah hal ini akan berdampak pada pendekatan penjualan kita?
Caranya adalah dengan menunjukkan kepada prospek upaya yang telah kita lakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Apa-apa yang sudah kita lakukan agar prospek kita lebih sehat, lebih sejahtera, lebih aman, lebih terlindungi, lebih kaya dan sebagainya. Bagaimana caranya agar produk dan servis yang kita tawarkan bekerja untuk sebesar-besarnya kepentingan pelanggan? Tunjukkanlah bukan hanya berkata-kata.
Contoh pendekatan yang menunjukkan bukti adalah iklan jamu Sido Muncul. Iklan itu seakan ingin menunjukkan bahwa jamu Sido Muncul diproses secara mutakhir dan higienis. Ditunjukkan mesing-mesin canggih pembuat jamu, para tenaga ahli yang berpakaian putih, dan suasana pabrik yang bersih dan rapi.
Melalui iklan tersebut seakan Sido Muncul ingin mengatakan kepada pelanggan: Lihatlah apa yang sudah kami (Sido Muncul) lakukan bagi Anda (pelanggan). Segala macam standar telah diterapkan guna menjamin produk yang ada di tangan Anda aman dan bermanfaat.”
Melakukan pendekatan penjualan berbasis bukti dirasakan penting manakala penjual sadar bahwa closing bukanlah akhir hubungan penjual-pelanggan, melainkan hanyalah permulaan. Setelah closing inilah, pembeli bisa melihat apakah kata-kata penjual benar ataukah hanya tipu daya belaka. Oleh karenanya, penjual yang sukses biasanya mampu mengelola kata-kata karena dia sadar bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya akan mempengaruhi ekspektasi pelanggan. Setiap akan mengatakan sesuatu ia akan berpikir, apakah dari segi hantaran (delivery) dan operasi perusahaan (operation) bisa menjalaninya ataukah tidak.
Dalam pendekatan penjualan terbaru, delivery dan operation dianggap menjadi bagian yang integral dalam sales activity. Karena betapapun dahsyatnya janji dan positioning, tetapi jika ternyata kedodoran pada saat delivery, maka semuanya akan musnah—semua janji hanya menjadi janji-janji gombal semata. Tetapi sebaliknya, walaupun janjinya biasa-biasa saja, namun jika delivery-nya melebihi apa yang diharapkan, maka dapat dipastikan kita mendapatkan penjualan yang berkelanjutan—baik repeated sales, ataupun advokasi dan word of mouth yang baik.
Sales Motivations
Banyak penjual yang terlalu memikirkan cara berbicara kepada prospek sehingga muncul stigma penjual yang sukses adalah penjual yang banyak berbicara. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar karena bukti itu jauh lebih penting, kata-kata hanya menjadi bingkainya. Sebuah bingkai tidak bisa kebesaran atau kekecilan demikian juga perkataan tidak boleh melebih-lebihkan atau mengurangi fakta.
Bagaimana jika sekarang kita alihkan fokus dan konsentrasi kita kepada bukti atau prestasi bukan semata-mata kata-kata dan janji. Apakah hal ini akan berdampak pada pendekatan penjualan kita?
Caranya adalah dengan menunjukkan kepada prospek upaya yang telah kita lakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Apa-apa yang sudah kita lakukan agar prospek kita lebih sehat, lebih sejahtera, lebih aman, lebih terlindungi, lebih kaya dan sebagainya. Bagaimana caranya agar produk dan servis yang kita tawarkan bekerja untuk sebesar-besarnya kepentingan pelanggan? Tunjukkanlah bukan hanya berkata-kata.
Contoh pendekatan yang menunjukkan bukti adalah iklan jamu Sido Muncul. Iklan itu seakan ingin menunjukkan bahwa jamu Sido Muncul diproses secara mutakhir dan higienis. Ditunjukkan mesing-mesin canggih pembuat jamu, para tenaga ahli yang berpakaian putih, dan suasana pabrik yang bersih dan rapi.
Melalui iklan tersebut seakan Sido Muncul ingin mengatakan kepada pelanggan: Lihatlah apa yang sudah kami (Sido Muncul) lakukan bagi Anda (pelanggan). Segala macam standar telah diterapkan guna menjamin produk yang ada di tangan Anda aman dan bermanfaat.”
Melakukan pendekatan penjualan berbasis bukti dirasakan penting manakala penjual sadar bahwa closing bukanlah akhir hubungan penjual-pelanggan, melainkan hanyalah permulaan. Setelah closing inilah, pembeli bisa melihat apakah kata-kata penjual benar ataukah hanya tipu daya belaka. Oleh karenanya, penjual yang sukses biasanya mampu mengelola kata-kata karena dia sadar bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya akan mempengaruhi ekspektasi pelanggan. Setiap akan mengatakan sesuatu ia akan berpikir, apakah dari segi hantaran (delivery) dan operasi perusahaan (operation) bisa menjalaninya ataukah tidak.
Dalam pendekatan penjualan terbaru, delivery dan operation dianggap menjadi bagian yang integral dalam sales activity. Karena betapapun dahsyatnya janji dan positioning, tetapi jika ternyata kedodoran pada saat delivery, maka semuanya akan musnah—semua janji hanya menjadi janji-janji gombal semata. Tetapi sebaliknya, walaupun janjinya biasa-biasa saja, namun jika delivery-nya melebihi apa yang diharapkan, maka dapat dipastikan kita mendapatkan penjualan yang berkelanjutan—baik repeated sales, ataupun advokasi dan word of mouth yang baik.
Sales Motivations
Kamis, 01 Maret 2012
Takut Ditolak & Takut Tidak Dicintai Itu Milik Manusia
Struktur otak primitif manusia secara genetik dirancang untuk survival. Dan untuk bisa survive, manusia harus mencintai sesamanya. Mencintai dan dicintai.
Meskipun demikian, ada dua ketakutan yang otomatis tercangkok pada sistem manusia yakni takut tidak dicintai dan takut tidak cukup (fear of not being loved dan fear of not enough). Keduanya ada untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.

Ketika mengalami penolakan, otomatis dua ketakukan yang paling primitif ini tersentuh. Penolakan kemudian diartikan sebagai reaksi sikap tidak dicintai. Penolakan juga dimaknai sebagai reaksi yang mengancam kelangsungan hidup. Jika seseorang tidak mampu lagi menahan penolakan, dan secara emosi dia pun lemah, dia bisa terdorong untuk mengakhiri hidupnya.
Pada orang yang bermental lemah, ketakutannya terhadap penolakan melebihi ketakutannya terhadap kematian. Makanya, pekerjaan menjual merupakan pekerjaan yang berat karena dekat dengan penolakan. Hanya orang-orang yang bermental baja dan tidak takut ditolak yang cocok menyandang predikat penjual.
Meskipun demikian, perasaaan takut ditolak sangat manusiawi. Sampai sekarang pun salesman yang puluhan tahun menjadi penjual, kadang masih merasakannya. Oleh karena itu, pokok masalahnya bukan terletak pada upaya menghilangkan ketakutan tadi, melainkan upaya meminimalisir sampai pada level yang bisa diterima.
Bagaimanapun untuk mencapai kesuksesan, ketakutan tetap dibutuhkan guna memacu andrenalin. “Not to fight the fear, but to dance with them,” kata Anthony Robbins.
sales motivations
Meskipun demikian, ada dua ketakutan yang otomatis tercangkok pada sistem manusia yakni takut tidak dicintai dan takut tidak cukup (fear of not being loved dan fear of not enough). Keduanya ada untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.

Ketika mengalami penolakan, otomatis dua ketakukan yang paling primitif ini tersentuh. Penolakan kemudian diartikan sebagai reaksi sikap tidak dicintai. Penolakan juga dimaknai sebagai reaksi yang mengancam kelangsungan hidup. Jika seseorang tidak mampu lagi menahan penolakan, dan secara emosi dia pun lemah, dia bisa terdorong untuk mengakhiri hidupnya.
Pada orang yang bermental lemah, ketakutannya terhadap penolakan melebihi ketakutannya terhadap kematian. Makanya, pekerjaan menjual merupakan pekerjaan yang berat karena dekat dengan penolakan. Hanya orang-orang yang bermental baja dan tidak takut ditolak yang cocok menyandang predikat penjual.
Meskipun demikian, perasaaan takut ditolak sangat manusiawi. Sampai sekarang pun salesman yang puluhan tahun menjadi penjual, kadang masih merasakannya. Oleh karena itu, pokok masalahnya bukan terletak pada upaya menghilangkan ketakutan tadi, melainkan upaya meminimalisir sampai pada level yang bisa diterima.
Bagaimanapun untuk mencapai kesuksesan, ketakutan tetap dibutuhkan guna memacu andrenalin. “Not to fight the fear, but to dance with them,” kata Anthony Robbins.
sales motivations
Rabu, 29 Februari 2012
Salesman Bukan Cowboy, Jangan Nembak Langsung
Meskipun Anda telah memilih prospek yang benar, telah mendapatkan informasi tentang kebutuhan dan keinginan prospek, dan telah menawarkan solusi terbaik, namun bukan berarti closing akan otomatis terjadi. Masih ada satu tahapan yang harus dikelola, apa itu? Tidak lain adalah mengatasi penolakan penjualan (handling objection).
Closing baru akan terjadi jika penolakan prospek bisa Anda jawab atau Anda atasi dengan baik sehingga dalam diri prospek tidak ada sedikit keraguan pun untuk segera take action: membeli!
Pernahkah Bapak/Ibu sekalian mencoba bungy jumping? Ketakutan pelanggan melakukan eksekusi pembelian mirip dengan ketakutan Anda saat mau meloncat bungy jumping.
Meskipun sang instruktur bungy jumping telah meyakinkan kita bahwa semua prosedur telah di-cek dan aman—berat badan ditimbang, tali diukur, ikatan diperiksa, alat keselamatan dipasang, namun tetap saja kita gemetar ketika akan melompat. Padahal setelah melompat yang kita khawatirkan semua hilang, yang ada hanyalah kesenangan.
Begitu juga prospek, ketika hendak mengeksekusi pembelian muncul 1001 ketakutan di benaknya. Padahal setelah closing dengan kita dan menikmati barang dan jasanya kekhawatiran itu tidak terbukti. Nah, tugas seorang penjual adalah menjawab penolakan itu dengan solusi yang terbaik.
Penolakan pelanggan biasanya hanya berkutat pada beberapa faktor antara lain: masalah harga (“terlalu mahal, nggak punya duit”), tidak bisa membuat keputusan (“diskusi dulu dengan istri”), atau belum butuh (“bagus sich produknya tapi nanti lah kalo saya dah butuh”).
Jika kita telah tahu penolakan prospek akan berkisar pada masalah itu, seharusnya hal itu bisa diantisiapasi dengan cara melatih para penjual cara mengatasi handling objection tersebut.
Tahapannya, pertama, kita harus menginventarisasi seluruh keberatan yang pernah dialami, lalu mengkategorikannya satu persatu. Lalu mendiskusikan cara terbaik menjawab keraguan dan memberikan solusi atas keberatan itu. Setelah formulanya disepakati, langkah selanjutnya tentu saja harus dieksekusi dengan melatih diri sehingga ketika penolakan itu datang, reaksi fisik maupun emosi kita tetap stabil dan bisa memberikan jawaban yang tepat.
Do not shoot from the hip ! Jangan pernah menembak langsung dari pinggang seperti di film cowboy. Menembak langsung dari pinggang ala cowboy hanya ada di film. Pada prakteknya tidak bisa seperti itu. Lebih banyak melesetnya daripada kenanya. Proses yang benar adalah , ready…. aim …. and fire!
Sales Motivations
Closing baru akan terjadi jika penolakan prospek bisa Anda jawab atau Anda atasi dengan baik sehingga dalam diri prospek tidak ada sedikit keraguan pun untuk segera take action: membeli!
Pernahkah Bapak/Ibu sekalian mencoba bungy jumping? Ketakutan pelanggan melakukan eksekusi pembelian mirip dengan ketakutan Anda saat mau meloncat bungy jumping.
Meskipun sang instruktur bungy jumping telah meyakinkan kita bahwa semua prosedur telah di-cek dan aman—berat badan ditimbang, tali diukur, ikatan diperiksa, alat keselamatan dipasang, namun tetap saja kita gemetar ketika akan melompat. Padahal setelah melompat yang kita khawatirkan semua hilang, yang ada hanyalah kesenangan.
Begitu juga prospek, ketika hendak mengeksekusi pembelian muncul 1001 ketakutan di benaknya. Padahal setelah closing dengan kita dan menikmati barang dan jasanya kekhawatiran itu tidak terbukti. Nah, tugas seorang penjual adalah menjawab penolakan itu dengan solusi yang terbaik.
Penolakan pelanggan biasanya hanya berkutat pada beberapa faktor antara lain: masalah harga (“terlalu mahal, nggak punya duit”), tidak bisa membuat keputusan (“diskusi dulu dengan istri”), atau belum butuh (“bagus sich produknya tapi nanti lah kalo saya dah butuh”).
Jika kita telah tahu penolakan prospek akan berkisar pada masalah itu, seharusnya hal itu bisa diantisiapasi dengan cara melatih para penjual cara mengatasi handling objection tersebut.
Tahapannya, pertama, kita harus menginventarisasi seluruh keberatan yang pernah dialami, lalu mengkategorikannya satu persatu. Lalu mendiskusikan cara terbaik menjawab keraguan dan memberikan solusi atas keberatan itu. Setelah formulanya disepakati, langkah selanjutnya tentu saja harus dieksekusi dengan melatih diri sehingga ketika penolakan itu datang, reaksi fisik maupun emosi kita tetap stabil dan bisa memberikan jawaban yang tepat.
Do not shoot from the hip ! Jangan pernah menembak langsung dari pinggang seperti di film cowboy. Menembak langsung dari pinggang ala cowboy hanya ada di film. Pada prakteknya tidak bisa seperti itu. Lebih banyak melesetnya daripada kenanya. Proses yang benar adalah , ready…. aim …. and fire!
Sales Motivations
Selasa, 28 Februari 2012
Makin Sehat, Makin Hebat Penjualan. Ga Percaya?
Men sana In Corpore Sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat! Semakin banyak kita bergerak, semakin kita merasa bersemangat, dan semakin lebih hidup. Seperti slogan sebuah iklan rokok: “Membuat hidup lebih hidup.”
Sebaliknya, jika kita malas menggerakkan badan, maka semangat pun ikut terpengaruh, badan menjadi lesu dan motivasi menurun. Contoh, ketika seseorang sedang sedih, depresi, dan frustasi, maka ia akan terlihat kurang bersemangat, bergerak lebih lamban, dan berbicara lebih pelan. Sikap tubuhnya pun berubah. Jika depresinya tergolong berat, napasnya menjadi pendek-pendek. Emosi mempengaruhi gerakan seseorang. Emotion creates motion.
Sebaliknya seseorang yang emosinya positif, gerakan tubuhnya akan lebih cepat dan dinamis. Seperti ketika striker sepak bola mencetak gol, maka dia akan berlari, meluncur, melompat salto, berputar-putar—sangat lincah sekali. Pertanyaannya apakah hubungan ini bisa dibalik: Gerakan tubuh positif menimbulkan emosi positif?
Coba lakukan gerakan berikut: Tengadahkan tangan dengan posisi terbuka, bahu dibuka lebar, pandangan menatap lurus ke depan dan bernapaslah panjang. Apa yang Anda rasakan?
Kalau posisi tubuh Anda benar dan konsentrasi, posisi tubuh seperti itu akan membuat Anda merasa gagah (percaya diri), ringan-lepas dari beban, rileks, dan optimis. Ini bukti ternyata kondisi emosi juga dipengaruhi oleh sikap tubuh dan gerakan tubuh kita. Jadi selain emosi mempengaruhi gerakan, ternyata gerakan juga mempengaruhi emosi kita.
Sebagai manusia biasa, sulit bagi kita untuk seratus persen lepas dari emosi negatif: tidak marah, tidak sedih, dan frustasi. Namun dengan bantuan gerakan tubuh tertentu, emosi negatif bisa dikendalikan. Melakukan olah raga rutin merupakan salah satu resep membuat kondisi emosi kita senantiasa optimal.
Lewat olah raga, seseorang bisa melepaskan kekesalan dan ketidakpuasan. Ketika berolah raga tubuh mengeluarkan hormon endorphin, sejenis morphin yang menimbulkan efek tenang, fokus, dan bergembira. Melayang seperti pengaruh ekstasi tapi positif. Inilah mengapa orang yang rutin berolah raga akan merasa kecanduan, jika tidak berolah raga badan terasa lemas, dan tidak bersemangat.
Semakin kecanduan maka kita akan semakin bergerak lebih banyak, semakin dinamis sehingga emosi menjadi stabil. Hanya dengan bekal lebih banyak bergerak, berolah raga secara teratur, kita bisa selangkah lebih maju dari pesaing. Dengan bekal olah raga, emosi senantiasa berada pada kondisi puncak, semangat kerja terjaga, dan puncak kesuksesan berada di tangan.
Oleh karena itu, bagi para penjual yang sering “angin-anginan” semangatnya, saran saya berolahragalah secara teratur, jenisnya bisa dipilih sesuai minat. Bagi yang suka jogging lakukan 30 menit setiap hari, lima menit pemanasan, 20 menit berlari kecil, dan pendinginan lima menit sebagai modal memulai bekerja.
Tips ini kelihatan sepele, namun percayalah inilah aktivitas para juara sejati. George Bush selalu menyempatkan jogging. Demikian juga perdana menteri Israel Ehmud Olbert. Gus Dur, ketika menjadi presiden juga gemar berjalan pagi mengelilingi istana selama 30 menit. Presiden SBY juga melakukannya. Men sana in corpore sano !
Sales Motivations
Langganan:
Komentar (Atom)



