Selasa, 21 Desember 2010

Kiat Menjadi Salesman Tangguh

Tim sales adalah ujung tombak bisnis. Tim sales yang hebat akan menghasilkan penjualan yang hebat pula.

Namun terkadang di dunia penjualan, halangan terbesar untuk sukses adalah diri sendiri. Terlalu banyak orang yang gagal jadi salesman hebat karena rasa minder dan pesimistis. Sebaliknya, salesman yang sukses dalam industri manapun biasanya memiliki daya tahan yang kuat dan optimisme yang tinggi.

Chris Gardner yang kisah hidupnya diceritakan dalam film In Pursuit of Happiness adalah contoh salesman tangguh. Ia mampu menjalani kehidupan yang keras dengan cobaan yang bertubi-tubi demi kehidupan yang lebih baik bagi putra tercintanya. Karena ketegaran dan kesabarannya inilah dia akhirnya mampu menjadi salesman yang sukses di sebuah perusahaan sekuritas terkemuka.

Dan ternyata kesuksesan akibat positive thinking ini tidak hanya ada di film-film Hollywood tetapi malah telah dapat dibuktikan secara akademis oleh ilmuwan psychology. Fred Luthans, dalam buku “Psychological Capital”, membuktikan bahwa pengaruh psychologis dari positive thinking dapat berpengaruh pada kinerja dan pencapaian pebisnis. Beliau membuktikan bahwa keadaan psychologis yang positif dari seseorang memiliki andil 10% pada kesuksesan orang tersebut. 90% sisasnya ditentukan oleh hal-hal lain seperti skill, pengalaman dan keberuntungan yang tentunya juga memiliki pengaruh tidak sedikit pada kinerja sesorang.

Terdapat 4 elemen utama dalam Psychological Capital yang disebutkan oleh Prof. Luthans dalam bukunya yakni: Hope, Efficacy, Resiliency dan Optimism (atau disingkat HERO®). Fred Luthans merupakan Professor Management di University of Nebraska. Ia datang ke Jakarta membawakan workshop HERO pada 27 Mei 2010 di Four Seasons Hotel yang difasilitasi MarkPlus.

Mari kita bahas elemen ini satu per satu:
Hope, atau harapan adalah pemikiran akan suatu kesuksesan yang dapat menimbulkan motivasi untuk mencapai tujuan. Harapan dan mimpi merupakan bunga kehidupan, sangat sulit dibayangkan orang yang tidak punya harapan dapat memiliki motivasi untuk mencapai kesuksesan.

Efficacy, adalah rasa percaya diri bahwa kita memiliki kemampuan untuk menjalankan apa yang diperlukan. Rasa percaya diri dan tidak minder ini memang menjadi modal utama bagi salesman apapun dalam berhadapan, berpresentasi dan bernegosiasi dengan pelanggan.

Resiliency adalah kemampuan untuk bangkit dari kegagalan dan konflik. Ada pameo lama yang mengatakan bahwa diperlukan 10 “tidak” untuk bisa mencapai satu “iya”. Karena itu bila salesman sudah give up pada penolakan yang ke 7, 8 atau 9, dia tidak akan pernah mencapai “iya”.

Optimism adalah sifat manusiawi yang membuat orang mampu melihat sisi positif dari suatu situasi. Orang-orang yang optimistik cenderung memiliki kemauan yang lebih besar untuk maju karena dia melihat situasi yang lebih positif dari orang yang pesimistik.

Ke-empat elemen ini dapat ditingkatkan dalam diri orang yang sudah dewasa. Dalam salah satu studi yang dilakukannya di perusahaan Boeing, Prof. Luthans menjalankan sebuah workshop peningkatan HERO bagi para insinyur. Hasilnya produktivitas kerja insinyur yang ditingkatkan HERO-nya naik secara signifikan sehingga return on investment atas workshop peningkatan HERO tersebut mencapai 200%. Hasil yang bukan main bagus.

Dalam kompetisi di pasar terkadang teknologi dan produk yang ditawarkan sudah sama bagusnya. Faktor pembeda utama hanyalah sumber daya manusia. Oleh karena itu, organisasi yang dapat mendayagunakan sumber daya manusianya dengan lebih optimal-lah yang akan memenangkan persaingan.
Untuk keluar sebagai pemenang, bekerjalah lebih baik dan jangan pernah putus asa. Tetap semangat.

Sabtu, 25 September 2010

Chief Destruction Officer


Destruction is cool!
CDO… Chief Destruction Officer.
Easier to KILL an organization—and report it—than change it substansially.
Learn to swallow it: DESTRUCTION IS JOB NO.1
(before the competition does it to you).

Ini adalah kata-kata nyentrik dan provokatif dari Tom Peters. Pakar satu ini memang “gendheng” tapi oke. Pemikiran-pemikiran manajemennya selalu revolusioner, breakthrough, menjangkau jauh ke depan. Ia punya mata elang yang mampu secara tajam melihat masa depan, melihat fenomena yang secuil pun kita belum pernah memikirkannya. Karena tak paham, yang bisa kita lakukan kemudian cuma satu: “mengumpat” dengan mengatakan “dia memang gendheng”. Itulah Tom Peters.

Yang sering kita dengar tentu adalah Chief Executive Officer, Chief Financial Officer, Chief Operating Officer, atau Chief Marketing Officer. Eh… kini ada binatang baru lagi namanya Chief Destruction Officer. Dari arti harafiahnya saja sangat aneh dan “nggak nyambung”. Destruction artinya “perusakan” atau “penghancuran”. Jadi, kalau CEO bertugas mengelola seluruh strategi dan operasi perusahaan; CFO mengelola keuangan perusahaan; CMO membangun dan mengekskusi strategi pemasaran; lha si CDO ini tugasnya “menghancurkan” perusahaan. Memang gendheng!

Sekilas memang gendheng. Tapi jangan salah! Komentar nakal dan provokatif di atas bukanlah celotehan main-main. Bukan pula gurauan siang bolong para kernet angkot yang sedang menunggu penumpang. Kata demi kata itu keluar dari mulut seorang maha guru manajemen (“guru of gurus”) yang memiliki arti yang amat dalam, yang kalau kita “mampu mencernanya” akan menyentak kesadaran kita. Kata demi kata itu akan membangunkan “sense of urgency” dan “sense of crisis” kita.

Mari pelan-pelan kita coba mencernanya. Lanskap bisnis sekarang ini bergerak dengan kecepatan tinggi secepat kecepatan cahaya—“chaotic”, “radical”, “turbulent”, volatile”, “uncertain”, “unpredictable”, dan masih banyak lagi istilah yang digunakan untuk menggambarkannya. Lanskap bisnis yang bergerak dengan kecepatan cahaya ini bukannya tanpa resiko dan bahaya. Bahayanya sangat-sangat besar.

Mau contoh? Layanan pos “mati” dimakan killer app baru seperti email, SMS, dan ATM. “Raksasa tak punya lawan” seperti IBM hampir saja hancur karena adanya apa yang yang disebut Andy Grove, pendiri Intel, sebagai “industry inflection point”—berubahnya struktur industri komputer dunia dari vertikal ke horizontal. Atau tak usah jauh-jauh, selama tahun 1998 kita menyaksikan para konglomerat yang dulu demikian perkasa, pada waktu itu luluh-lantak praktis dalam semalam, karena menggilanya dolar, meroketnya inflasi, tak menentunya suku bunga dan harga saham. TVRI megap-megap oleh terpaan regulasi yang membawa masuk fresh new entrant seperti RCTI, SCTV atau Trans TV.

Untuk menjadi the survivors persis seperti yang dikatakan Tom Peters, kuncinya terletak pada satu kata: “penghancuran”. Untuk sukses di era light-speed changes Anda tak boleh segan-segan menghancurkan sendi-sendi kesuksesan masa lalu Anda—“break with the immediate past”. Kenapa? Karena barangkali formula dan sendi-sendi kesuksesan tersebut sudah tak relevan lagi sekarang. Kalau perlu, persis seperti di bilang Tom Peters, Anda tak boleh segan-segan “membunuh” organisasi Anda, dan kemudian merubahnya menjadi organisasi yang sama sekali baru. Kapanpun, Anda harus siap dan tak segan-segan melakukan “creative destruction”atau aksi “bunuh-bangun”

Kalau krisis bisa kapan pun datang dan terus “mengintai”, tanpa sinyal, tanpa pemberitahuan, maka creative destruction haruslah menjadi “keseharian” operasi perusahaan Anda. Organisasi Anda, orang Anda, sistem yang Anda bangun, budaya perusahaan Anda, haruslah memiliki kapasitas dan kepiawaian untuk melakukan creative destruction dari waktu ke waktu. Organisasi Anda haruslah memiliki “alert system” untuk mengendus munculnya krisis, dan kemudian dengan agilitas yang tinggi organisasi Anda harus mampu mereseponsnya dengan creative destruction yang terkelola secara baik.

Kalau sudah demikian, menjadi jelas bahwa, “winning in the light-speed change era is about survival”. Dan daya survival organisasi Anda akan ditentukan oleh kapasitasnya melakukan creative destruction secara kontinyu. Dan kalau kita sepakat bahwa sustainability adalah tujuan akhir dari sukses perusahaan, maka bisa dikatakan bahwa sesungguhnya: sustainability is a “journey of destruction”; it is “a destruction safari” for long-term survival. Sebuah perjalanan panjang di mana kita melompat dari satu creative destruction ke creative destruction yang lain.

Untuk sukses melakukan destruction safari Anda butuh seorang CEO yang juga seorang CDO. Anda butuh seorang di pucuk pimpinan yang punya satu dedikasi untuk menghancurkan status quo lama, dan membangun “kerajaan baru” di atas puing-puing kehancuran itu, sebuah organisasi yang barangkali sama sekali baru.

Terakhir, ingat-ingat pernyataan guru manajemen, Tom Peters: “DESTRUCTION IS YOUR JOB NO. 1”.  
By Yuswohadi

Selasa, 20 Juli 2010

Islamic Banking: Bank untuk Semua Golongan



Mendengar kata syariah, tidak semua orang Indonesia memahaminya secara utuh, termasuk orang Islam-nya sendiri. Bahkan kadang kala istilah syariah diartikan sebagai aturan Islam garis keras, tanpa kompromi.

Beragam pandangan yang tidak utuh tentang syariah itulah yang menjadi salah satu penyebab perbankan syariah di Indonesia kurang diminati. Di tambah lagi komunikasi yang kurang gencar dari para pelaku perbankan syariah kepada publik, membuat orang malas memahami makna syariah dalam dunia perbankan sekaligus menjadi nasabah.

Padahal di luar makna syariah itu sendiri, konsep yang ditawarkan perbankan syariah sangat bagus. Bila konsep ini benar-benar sampai kepada nasabah dan dipahami secara utuh, bisa menarik mereka untuk ber-syariah banking.

Salah satunya, perbankan syariah tidak mengenal konsep bunga (tetap), tetapi bagi hasil (fleksibel) yang pendapatannya sesuai dengan keuntungan yang diperoleh bank. Karena fleksibel, keuntungan yang diterima nasabah sebenarnya bisa lebih besar dari bunga yang ditawarkan bank konvensional.

Besar kecilnya bagi hasil ini terhadap nasabah, merupakan keunikan syariah banking. Pada satu bulan nasabah akan mendapat bagi hasil yang besar tetapi bisa terjadi di bulan lain mereka akan merasakan bagi hasil yang kecil. Konsep seperti itu yang akan membuat nasabah merasa uang mereka tidak idle di suatu tempat, tetapi bergerak, menjalankan perekonomian.

Dampaknya calon nasabah akan mencari bank syariah yang lebih kredibel dan bonafid dalam mengelola dana mereka. Sehingga bagi hasil yang diperolehnya bisa lebih besar dari bank-bank lain.

Keunikan lainnnya adalah, perbankan syariah sangat berhati-hati dalam menyalurkan dana kepada peminjamnya. Perbankan syariah tidak akan melakukan transaksi haram, seperti meminjakan uang kepada pengusaha untuk menjalankan usaha yang dilarang agama, serta untuk pembiayaan spekulatif.

Konsep tersebut menurut Arviyan Arifin Dirut Bank Muamalat bagus untuk segala agama dan golongan. Bank syariah tidak ekslusief untuk masyarakat muslim saja, tetapi juga non-muslim. ”Nabi sendiri pun berdagang dengan orang non-muslim. Karena yang kita jual adalah konsep, bagaimana perbankan syariah dijalankan. Siapapun yang meyakini konsep ini boleh saja menjadi nasabah,” ujar Arviyan kepada penulis beberapa waktu lalu.

Ia juga menambahkan, banyak juga nasabah Muamalat yang non-muslim, karena mereka melihat sistemnya lebih fair. Apalagi jika bicara pembiayaan. Di situ tidak ada yang namanya bunga atas bunga, tidak ada finalti. ”Pembiayaan kita untuk usaha sektor ril,” tambahnya.

Bukan hanya Bank Muamalat, bank syariah lainnya pun menjalankan praktek yang sama. Bank Victoria Syariah yang lahir pada 1 April 2010 berorientasi pada pengembangan bisnis retail di Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Menurut Direktur Utama Bank Victoria Syariah, Sari Wijayanti bisnis retail UKM memiliki karakteristik tersendiri dibanding korporasi.

Menuruutnya, bisnis retail UKM bisa mempercepat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Itulah yang mendasari manajemen untuk mengawali mengoperasikan bank Victoria Syariah.

Sama seperti nasabah bank konvensional, kemudahan layanan juga bisa diperoleh nasabah bank syariah. Tabungan iB OCBC NISP Syariah misalnya memberikan manfaat bagi nasabahnya diantaranya: bebas biaya administrasi bulanan; nasabah dapat menggunakan kartu ATM iB Cash yang dapat ditransaksikan di 381 kantor cabang OCBC NISP berlogo iB, 552 ATM OCBC NISP dan lebih dari 22.000 jaringan ATM di seluruh Indonesia termasuk ATM Bersama dan ATM Prima (BCA) serta ATM OCBC Bank Singapura dan BankCard Malaysia.

Tampaknya, pepatah yang menyebutkan tak kenal maka tak sayang dan tak sayang maka tak cinta berlaku di perbankan syariah. Melihat konsepnya yang bagus, serta layanan kemudahan perbankan yang sama dengan bank konvensional mestinya perbankan syariah bisa menyamai kinerja bank konvensional. Namun karena belum banyak masyarakat yang mengenalnya, maka belum banyak pula yang berminat menjadi nasabah.

Selasa, 30 Maret 2010

Book Review


Marketing 3.0

Values-Driven Marketing



Pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning, diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam pemasaran. Nilai-nilai yang ditebarkan itu diyakini tidak hanya bisa mendongkrak profit tetapi juga menjamin kelanggengan merek dan membentuk diferensiasi yang tidak tertandingi.

Demikian pesan yang terdapat dalam buku Marketing 3.0, Values-Driven Marketing hasil karya bersama Bapak Pemasaran Modern Philip Kotler dan Pakar Pemasaran Hermawan Kartajaya. Buku setebal 112 halaman ini memperlihatkan bahwa, pemasaran tidak hanya produk dengan manfaat fungsional ataupun manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.

Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan oleh banyak pemain bisnis.

Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0 ke Marketing 2.0 - dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dinamai dengan Marketing 3.0.

Jika Marketing 1.0 mengandalkan rational intelligent: Produk bagus, harga terjangkau. Marketing 2.0 berbasiskan emotional intelligent: Sentuhlah hati customer. Maka Marketing 3.0 berdasarkan spiritual intelligent: Lakukan semua dengan Nilai-Nilai Universal seperti kasih dan ketulusan maka profit akan datang.

Values-driven marketing adalah model untuk Marketing 3.0, yang melekatkan nilai-nilai pada misi dan visi perusahaan. Gagasan dalam buku ini akan memperbaiki persepsi publik terhadap marketing dan membimbing perusahaan dan pemasar untuk menginkorporasikan visi yang lebih manusia dalam memilih tujuan mereka.

Dalam buku ini penulis menunjukkan contoh-contoh perusahaan multinasional yang bergerak berdasarkan konsep Values-Driven Marketing seperti The Body Shop, Timberland, Hindustan Lever, Grameen Bank, dan lainnya. The Body Shop misalnya, tidak sekadar melahirkan produk kosmetik, tetapi sang pendiri Anita Roddick sejak awal berkomitmen membantu stakeholder lewat produk yang diciptakannya. Caranya dengan memberdayakan petani lemah sebagai pemasok. Selain itu, Anita pun memberi gaji yang bagus untuk karyawannya, dan setia dengan kampanye tidak melukai binatang.

Buku Marketing 3.0 - Values-Driven Marketing ditutup dengan 10 Kredo Values Driven Marketing yakni:

#1: Love Your Customers, Respect Your Competitors
#2: Be Sensitive to Change, Be Ready Transform
#3: Guard Your Name, Be Clear of Who You Are
#4: Customers Are Diverse, Go First to Those Who Really
#5: Always Offer a Good Package at a Fair Price
#6: Always Make Yourself Available, Spread the Good News
#7: Get Your Customers, Keep Them, and Grow Them
#8: Whatever Your Business, It is a Service Business
#9: Always Refine Your Business Process, in term of Quality, Cost and Delivery
#10: Gather Relevant Information, But Use wisdom in Making Your Final Decision.

Buku Marketing 3.0 versi terbaru akan dilaunching MarkPlus pada Juni 2010 dan ditulis dalam 29 bahasa di dunia.

Rabu, 24 Februari 2010

OLIMART PERTAMINA: THE NEW CHANNEL DISTRIBUTION



Bisnis pelumas kendaraan bermotor tidak ada matinya. Padatnya kendaraan bermotor yang beredar di jalan-jalan di Indonesia membuat ngiler para produsen pelumas dalam dan luar negeri. Semakin banyak kendaraan yang beredar, semakin besar pula konsumsi pelumasnya.
Saat ini saja jumlah kebutuhan pelumas setiap tahun sekitar 600 juta liter. Tidak bisa dipungkiri, dengan besarnya kebutuhan tersebut pasar disesaki merek-merek pelumas dalam dan luar negeri. Hingga saat ini lebih dari 250 merek pelumas kendaraan bermotor bertarung di pasar Indonesia.

Diantara ketatnya persaingan, Pertamina masih menjadi pemimpin pasar di kategori ini dengan menguasai lebih dari 50 persen pasar pelumas dalam negeri. Sisanya diperebutkan pemain lain, baik lokal maupun asing.

Predikat sebagai pemimpin pasar membuat Pertamina putar otak agar tidak kecolongan. Pasalnya para pemain lain gencar merebut market share dengan berbagai upaya. Para pemain pelumas masih menggunakan konsep Legacy Marketing dalam merebut pasar. Selain rajin berkomunikasi lewat media massa (iklan), para pemain juga bergerilya hingga ke tingkat retail. Mereka tak lupa mendekati bengkel dan montir untuk merekomendasikan produk mereka.

Pertamina Pelumas tidak kalah gesit, salah satunya dengan mendekati bengkel lewat program OliMart. OliMart merupakan gerai one stop service dengan standard operasi Pertamina bekerja sama dengan pengusaha yang berminat. Dengan mengeluarkan sejumlah dana dan memenuhi persayaratan yang ada pengusaha bengkel bisa membuka OliMart.

Bengkel OliMart memberikan fasilitas antara lain, penggantian oli yang khusus menggunakan pelumas Pertamina. Bengkel ini juga memberi layanan lain seperti penggantian suku cadang asesoris, dan perbaikan mesin.

Kepada konsumen diberikan kenyamanan ketika mengganti oli serta kepercayaan bahwa produk yang diberikan asli dan berkualitas. Menurut Redesmon Munir Group Head – Brand & Communication Unit Bisnis Pelumas Pertamina, OliMart memberi paket servis dengan standard pelayanan PINTER, yang artinya Prima, Informatif, Nyaman, Teruji, Ekonomis, dan Ramah.

Ketika yang lain masih menggunakan konsep Legacy Marketing, yang dilakukan Pertamina lewat OliMart adalah praktek New Wave Marketing. Lewat konsep tersebut penjualan pelumas Pertamina ke pelanggan memangkas jalur distribusi yang panjang dan rumit.

Di era Legacy, yang masuk dalam channel distribution mencakup wholesaler dan peritel yang dikenal dengan nama distributor. Distributor bisa mengambil barang dari produsen, bisa juga sekaligus menjualnya ke pelanggan. Dalam praktiknya, proses distribusi ini cukup rumit karena ada yang namanya agen, distribusi, dealer, reseller, dan sebagainya yang membuat jalur distribusi ke pelanggan menjadi panjang.

Lewat program OliMart Pertamina langsung mendistribusikan pelumasnya ke bengkel-bengkel mitra. Inilah yang disebut sebagai new channel distribution. Selain menjaga keaslian mutu produk, Pertamina bisa langsung memantau arus penjualan barang di OliMart setiap hari.

Strategi OliMart
Kunci utama memenangkan persaingan bisnis pelumas di sektor retail adalah bagaimana menang di bengkel resmi dan bengkel umum. OliMart didesain dengan memperhatikan empat stakeholders yaitu Pertamina, pemilik bengkel, mekanik, dan konsumen.

Sekitar 95% pemilik mobil mengganti oli di bengkel. Sedangkan sisanya 5% mengganti oli sendiri. Untuk memenangkan persaingan di bengkel resmi dilakukan dengan lobbying dan pendekatan, baik kepada ATPM maupun kepada mekanik bengkel tersebut.

Sedangkan untuk memenangkan kompetisi di bengkel umum, strateginya adalah menyenangkan hati pemilik bengkel, menyenangkan hati mekanik bengkel dan menyenangkan hati konsumen.

Olimart didesain untuk pemilik bengkel agar mereka mendapatkan keuntungan, yaitu bengkelnya didesain bagus, sehingga menjadi bengkel representatif. Dengan desain yang bagus, akan muncul image bahwa bengkel tersebut terpercaya, karena didukung langsung oleh Pertamina.

Kepada mekanik Pertamina memberikan beragam insentif seperti asuransi kesehatan dan mudik bareng mekanik. Sedangkan untuk konsumen, mendapatkan kenyamanan ketika mengganti oli, kepercayaan bahwa produk itu asli dan berkualitas. Konsumen juga mendapat informasi mengenai pelumas dan kebutuhan kendaraan mereka. Di luar itu Pertamina menggelar off air activity seperti touring, share and sharing experience dan bakti sosial.

Jika sudah demikian, meski bisnis pelumas tidak lagi dimonopoli Pertamina, namun bagi pemain lain sangat sulit menyalip dominasi Pertamina di pasar. Sangat sulit bukan berarti tidak bisa disusul atau bahkan dikalahkan. Tergantung kekuatan strategi yang dianut pemain lain. Persaingan ini lah yang membuat industri semakin besar dan menarik. Selamat berkompetisi. Atajudin nur