Kereta api Commuter Line adalah transportasi massal andalan warga Jabodetabek. Selain terbilang murah, naik Commuter Line lebih cepat dibanding moda transportasi lainnya karena bebas macet dan memiliki jalur tersendiri.
Itulah sebabnya, saat jam pergi dan pulang kerja, menuju atau dari Jakarta ke tempat tinggal pengguna jasa, Anda sebagai commuter pasti akan berdesak-desakkan di dalam Commuter Line. Sampai-sampai, kipas angin dan AC yang ada, tidak mampu mendinginkan udara dalam kereta. Hangat-hangat panas, begitu rasanya dalam Commuter Line. Memang kesal, tapi mereka butuh kereta api.
Cukup banyak perubahan yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) untuk membenahi kereta rel listrik (KRL) menjadi Commuter Line di Jabodetabek. Mulai dari penggunaan tiket elektronik dan e-money sebagai alat pembayaran, jadwal pemberangkatan setiap tujuh menit, sampai dengan pembenahan wajah stasiun kereta api yang tidak kumuh lagi. Sekarang sudah tidak ada lagi pedagang asongan di dalam dan di setiap stasiun kereta api.
Bagi sejumlah orang, perubahan tersebut merupakan perkembangan yang baik dari PT KAI. Namun bila dibandingkan dengan keberadaan kereta api di Indonesia yang sudah lebih dari seratus tahun, perubahan tersebut masih kurang. Apalagi jika kita bandingkan dengan kondisi perkeretaapian di Negeri Belanda, sebagai Mbah-nya pembangunan kereta api di Indonesia. Indonesia masih tertinggal jauh.
Kereta api dalam kota di Negeri Belanda, misalnya Den Haag, memiliki jadwal keberangkatan setiap empat menit sekali. Bila ada hambatan, maka penumpang bisa menunggu kereta berikutnya, empat menit kemudian yang informasinya dapat diperoleh di papan informasi elektronik yang selalu terup-date di setiap stasiun.
Hal itu yang belum ada di Indonesia. Kereta Commuter Line di Indonesia yang penumpangnya luar biasa banyak berangkat setiap tujuh menit sekali. Informasi kedatangan kereta diberitakan lewat pengeras suara, bahwa kereta akan datang, tapi tidak diberitahukan berapa menit lagi kereta tersebut akan datang.
Di dalam Commuter Line yang berjalan, ada pengumuman mengenai nama stasiun berikutnya. Pengumuman itu berupa suara dari petugas yang ada di kabin. Tapi kadang-kadang petugas lupa menyampaikan informasi itu. Sementara di Belanda, informasi seperti itu disampaikan lewat papan informasi elektronik di setiap gerbong, yang juga berisi waktu kedatangan kereta ke stasiun berikutnya. Memang lebih detail dan menggunakan teknologi digital.
Kereta di Belanda, ramah bagi tuna netra. Tanda-tanda atau jalur khusus untuk tuna netra diberikan secara jelas, yaitu lantai dengan penonjolan dan setiap persimpangan. Dengan begitu tuna netra dipandu oleh tanda-tanda tersebut menuju dan keluar dari kereta api. Hal itu belum ada di Indonesia.
Dibanding Kereta Api di Belanda, Commuter Line masih memiliki kekurangan. Namun perubahan diharapkan akan terus ada demi kenyamanan dan kelancaran aktivitas pada warga di Jabodetabek.