Rasanya manis, hangat dan sedikit pedas. Itulah dia bir pletok, minuman khas orang Betawi. Sejenis bir, tapi tidak memabukkan karena tidak mengandung alkohol.
Dikasih nama bir karena orang Betawi di zaman kolonial ingin gaya-gaya-an bisa minum bir seperti orang kompeni yang saat itu menguasai Batavia, tetapi halal. Mereka beranggapan, dengan minum bir pletok, akan menambah percaya diri, karena walau disebut inlander yang bermakna orang kampung, tetapi bisa gaya seperti buitenlander, atau orang asing.
Bir pletok menjadi minuman cukup mewah saat ada pesta, hajatan atau pertemuan. Di meja, biasanya minuman ini terhidang bersama kue basah khas Betawi seperti kue talam, ketan bakar, ongol-ongol dan kue lapis.
Selain gaya-gaya-an, bir pletok yang bahan dasarnya berupa campuran rempah seperti jahe, serai, dan kayu secang ini bermanfaat untuk kesehatan badan, misalnya menghilangkan masuk angin dan melancarkan peredaran darah. Habis minum bir pletok, badan rasanya seperti baru keluar dari panti pijat. Segar nian...
Sayangnya, meski keberadaanya sudah seratus tahun lebih, namun dari sisi bisnis bir pletok tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Dari zaman Belanda sampai Indonesia merdeka dan kini masuk era pasca reformasi, bir pletok hanya menjadi bisnis rumahan. Diproduksi kecil-kecilan, dan skala bisnisnya tidak tumbuh besar seperti bisnis minuman soft drink bermerek. Jangankan distribusinya, namanya saja hanya dikenal orang tertentu di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Nasib bir pletok, beda dengan minuman sejenis bermerek Elephant Ginger Beer (EGB) yang lahir di Sri Lanka sejak tahun 1896. Dibuat dari bahan dasar utama yang sama, yakni jahe, EGB diproduksi besar-besaran oleh Ceylon Cold Stores. Soft drink yang sangat popular di Sri Lanka ini menjadi market leader minuman bersoda di Sri Lanka.
Rasa minuman EGB ini nyaris tidak ada bedanya dengan bir pletok, manis, hangat dan sedikit pedas, tetapi distribusinya jauh berbeda. Bila bir pletok hanya bisa ditemukan di kawasan Jakarta dan sekitarnya, EGB bisa ditemukan di restoran-restoran dan rumah makan kelas menengah atas di Sri Lanka. Bahkan EGB sudah diekspor ke negara Asia, Eropa dan Amerika. Bayangkan.
EGB adalah produk lokal yang diproduksi secara fabrikan dengan kualitas ekspor. Bukan lagi kelas UKM. Untuk menghasilkan jahe sebagai bahan dasar EGB, Ceylon Cold Store bekerjasama dengan asosiasi petani jahe yang di dalamnya terdapat sekitar 250 petani di Hatharaliyaddha di distrik Kandy. Harga jahe dari petani dibeli dengan harga yang wajar, sehingga petani dan pengusaha sama-sama untung.
Itulah salah satu rahasia mengapa EGB bisa maju. Coba bandingkan dengan produksi bir pletok yang masih sporadis dan lokal serta dibangun sebagai bisnis kelas rumahan.
Karena itu meski rasanya sama, bahan dasarnya sama, dan usianya juga nyaris sama, nasib bir pletok beda dengan EGB. EGB lebih baik dari bir pletok.
Nasib....nasib.