Jumat, 16 Maret 2012

Pelanggan Adalah Manusia, Butuh Sentuhan Personal


 
Sebagai makhluk sosial, setiap orang butuh berhubungan dengan orang lain. Hubungan itu bisa berbentuk tatap muka, komunikasi verbal, tulisan, atau bahasa tarzan sekalipun.

Begitu juga dengan pelanggan. Mereka  adalah manusia, dan sebagai manusia pelanggan akan selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya, tidak cukup berhubungan dengan mesin atau dengan sistem.

Oleh karenanya, ketika berkomunikasi dengan pelanggan berusahalah se-humanis mungkin dan seakrab mungkin. Banyak sistem servis yang diadaptasikan secara ‘sistemis’, tidak ada human touch dan variasinya sama sekali. Semua orang di perusahaan menyambut pelanggan dengan greeting yang sama, dengan sikap tubuh yang sama, seeakan-akan mereka berhubungan dengan mesin. Manusia menyukai variasi, suka perbedaan, dan suka diperlakukan spesial.

“Bank Victory, selamat pagi, Ada yang bisa saya bantu?”

Merupakan greeting standar hampir di semua perusahaan. Bahkan ada perusahaan fast food yang memberikan layanan delivery mengucapkannya dengan lebih panjang. Tidak ada sentuhan personal dan ketulusan di dalamnya, seperti mesin.

Memang tidak ada yang salah dengan standarisasi itu. Sebagai standar boleh, namun bukankah lebih baik lagi jika bisa sedikit dibuat unik dengan menyapa pelanggan lebih personal.

Misalnya, ketika ada telepon masuk dari pelanggan yang sudah dikenal suaranya, sang customer service menyapa personal seperti ini:

“Selamat pagi Pak Bambang. Apa kabar. Ada yang bisa saya bantu?
Bagaimana menurut Anda, lebih berkesan bukan?

Humanisasikan komunikasi kita karena manusia senang berhubungan dan di-manusia-kan oleh orang lain. Sampai saat ini, tidak pernah ada cara yang lebih baik untuk berhubungan dengan pelanggan, selain face to face. Sales call dibarengi dengan visit masih merupakan alat terbaik untuk berhubungan dengan pelanggan.

Oleh karena itu, biasakanlah sesekali untuk get connected  dengan pelanggan Anda tanpa berjualan apapun. Makan sianglah sekali-sekali dan bicaralah mengenai apapun yang menarik,  untuk menjalin kedekatan emosi.

Jika kita melakukannya dengan tulus, mereka akan mengganggap kita “teman.” Mereka akan connect dengan kita bukan dengan patron business-client. Ujung-ujungnya kita akan lebih efektif berkomunikasi, lebih human!

Sering saya melihat super salesman yang selling skills sebenarnya biasa saja,  namun sangat mahir membangun koneksi dengan pelanggan. Karena pintarnya membangun hubungan dengan orang lain, banyak prospek yang masuk dan banyak pelanggan yang kembali membeli padanya.

Kemampuan membina hubungan merupakan ketrampilan yang paling penting dari semua ketrampilan terkait selling dan business building.

Kamis, 15 Maret 2012

Cara Mengubah Aktivitas Menjadi Penjualan

Prospek seperti darah bagi tubuh. Tanpa prospek tidak akan pernah terjadi yang namanya penjualan. Tanpa prospek bisnis akan mati, seperti tubuh kehabisan darah.

Sayangnya, banyak sales person yang malas dan sering mengeluh. Ketika menemui jalan buntu mereka sering bilang “tidak ada hot prospek” atau “prospeknya habis.” Kalau prospeknya saja sudah habis, tidak mungkin ada penjualan, karena tidak ada prospek yang bisa dikonversi menjadi penjualan.

Bagi saya prospek tidak habis. Yang ada para penjual kehabisan energi untuk melakukan prospect generating activity! Cobalah introspeksi diri apakah kita sudah melakuan prospect generating activity sebelum menyerah.

Prospect generating activity adalah upaya-upaya yang dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk memperoleh prospek. Mari kita inventarisir beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh prospek:

1. Iklan yang running.
2. Promotion Event, termasuk pameran dan eksebisi.
3. Pemasaran langsung atau direct mail.
4. Tenaga penjualan, termasuk outsourcing agent.
5. Situs/web-site/e-mailing/search engine
6. Seminar
7. Public relation communications
8. Referrals
9. Saluran Pemasaran
10.  Dan sebagainya.

Nomor ke-10 berarti masih banyak cara untuk memperoleh prospek, jika kita mau berpikir dan kreatif. Karena pasar saat ini sudah mengglobal. 

Dari sekian cara untuk men-generate prospek ada beberapa cara yang lebih efektif dibandingkan dengan cara lainnya. Tergantung kemampuan perusahaan, produk dan khalayak sasaran yang dituju.

Pendekatan yang dipakai pun tidak bisa disamakan untuk seluruh segmen karena tiap segmen memiliki karakter yang beda. Optimalisasi mensyaratkan kita mengidentifikasikan dan membeda-bedakan prosesnya, kemudian memfokuskan kepada apa-apa yang memberikan hasil lebih baik.

Memasang iklan baris, walaupun kelihatannya sederhana, namun jika dilakukan dengan benar dapat menjadi lead generating activity yang dahsyat! Iklan baris itu murah. Kita bisa mendesain sendiri kata-kata yang kita inginkan dengan target audien yang fokus. Misalnya, orang yang mau membeli atau menjual mobil atau motor tentu akan membaca iklan baris di seksi otomotif. Jika yang menginginkan investasi, akan mencari di seksi investasi. Kata-kata seperti “Gratis”!, “Baru”, “Berhadiah”,”Tanpa Diundi” mengundang respon maksimal.

Cara lainnya adalah referral. Sistem referral adalah meminta existing customer memberikan prospek baru yang potensial. Referral adalah cara yang dahsyat dengan kemungkinan closing lebih tinggi daripada pasang iklan. Biasanya, kontribusi referral bisa mencapai 70 persen dari omzet.

Setiap perusahaan memiliki karakter yang berbeda. Karenanya, kadar efektivitas masing-masing cara pun berbeda. Ada yang lebih optimal jika menggunakan direct mail, sales visit, web, atau pemeran. Namun, ada juga yang hanya mengandalkan iklan saja.

Mau pilih cara yang mana silahkan, asalkan menyadari bahwa ada lebih dari satu cara untuk mendapatkan prospek.

Rabu, 14 Maret 2012

Berikan Dia Perhatian yang Tulus


Tidak bisa disangkal lagi bila orang suka sekali diperhatikan. Apalagi perhatian itu membuat orang tersebut begitu berarti dan istimewa. Perhatian yang tulus dan tepat kepada orang lain akan mampu membuka pintu kebuntuan kita terhadap mereka selama ini. 

Berikut beberapa contoh kasus.
Seorang  account officer (AO) di sebuah bank, mencoba mendekati calon nasabah yang cukup potensial. Beberapa kali didatangi, dia tidak juga mau ditemui. Suatu ketika, saat sang calon berulang tahun, sang AO  mengirimkan bunga, mawar kuning, meski ia sendiri tidak tahu bunga apa yang disukai sang calon nasabah.

Beberapa hari kemudian sang AO  mendapat telepon dari prospek yang mengatakan terima kasih dan senang sekali dengan bunga mawar warna kuning. “ Kok Bapak tahu saya sukanya mawar kuning?”
Dari situ kemudian sang AO mendapat akses ke network-ya sehingga memudahkannya mencapai target penjualan.  Kadang kejutan kecil lebih berharga daripada hadiah sebesar gunung bagi pelanggan!

Saya punya teman yang hobi membelikan oleh-oleh buat nasabah. Salah satunya setiap pergi ke Bali saat musim durian, dia membeli semobil durian lalu dibawanya pulang ke kantor.  Sesampainya di sana,  dia lalu membagi-bagikannya kepada para nasabah. Para nasabah senang sekali bukan karena duriannya, melainkan karena durian itu dibawanya sendiri dari Bali naik mobil.  Kerja keras itu dianggap sebagai wujud perhatian yang luar biasa bagi para nasabah.

Tidak jadi soal berapa harga barang yang Anda berikan kepada nasabah namun perhatianlah yang lebih penting. Dengan kejutan berupa barang atau jasa, kita mencoba berkata kepada pelanggan bahwa Anda penting bagi kami, kami berterima kasih atas hubungan kita selama ini dan ingin melanjutkan hubungan yang sudah dibina dengan baik selama ini.

Selasa, 13 Maret 2012

Coba Sentuh Hatinya agar Mudah


Pernahkah Anda membeli sesuatu karena senang dengan penjualnya? Atau pernahkan Anda tidak mau membeli juga karena penjualnya?

Berapa sering itu terjadi?

Banyak orang membeli produk BodyShop karena secara emosional tersentuh dengan campaign-nya: Againts domestic violence dan againts animal testing. Kemudian, baru melihat ke produknya: apakah cukup berkualitas? apakah cukup “cool” kemasannya? Lalu melihat harga apakah sesuai dengan budget ataukah kemahalan?

Demikian juga ketika membeli gadget. Banyak orang yang membeli gadget karena pertama pertimbangan dekat dengan merek-nya. Cukup banyak orang yang membeli produk dari Apple karena begitu menyentuhnya kisah Steve Job baik saat mengelola Apple maupun saat launching produk barunya.  “They fall in love with Apple! And that’s is for a sentimental reason.”

Iklan-iklan yang sukses pun, kalau Anda perhatikan, selalu mengemas pesan emosional secara tepat mendampingi faktor fungsional produknya. Contoh, iklan Ponds sukses setelah diformat ulang dengan memasukkan lagu ADA band berjudul Karena Wanita Ingin Dimengerti lengkap dengan adegan pertengkaran sepasang kekasih yang berakhir dengan pengertian.  

Saya tidak mengatakan functional benefit tidak penting. Namun, yang menjadi dasar pertimbangan awal pelanggan membeli sebuah produk sering kali bukan fungsionalnya namun karena faktor emosional.  Pertama kali secara emosional, konsumen tertarik dengan produk (sensing). Kedua baru manfaat produk secara fungsional menjustifikasi ketertarikan itu.

Dalam panggung politik pun tidak terkecuali. Kemampuan seorang calon presiden untuk menarik simpati rakyat merupakan faktor penentu kesuksesannya. Contohnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pintar membaca situasi dan menggunakan simpati dan empati untuk menarik perhatian rakyatnya. Saking pintarnya menarik hati rakyat, media menjuluki pendekatan politik SBY sebagai “politik pencitraan”. Apapun pendapat orang, yang jelas pendekatan SBY mengena di hati rakyat.  Ini bukti bahwa di banyak segi: People Buy for A Sentimental Reason!
Jadi apa dampak perubahan ini pada strategi penjualan?

Penjual yang sukses di saat ini dan di masa datang adalah penjual yang sadar akan kekuatan faktor emosi, lalu mendayagunakannya untuk meningkatkan efektivitas penjualan. Caranya dengan membangun rasa empati dan simpati dengan pelanggan, sehingga terjadi ikatan emosi antara pembeli dengan penjual, antara produk dengan pelanggan, dan antara perusahaan dengan pelanggan.

Jika simpati ada di hati pelanggan, penjualan tidak akan lagi menjadi aktivitas yang sulit. Asal emotional content tersebut didukung kualitas produk yang bisa dipertanggungjawabkan.

Senin, 12 Maret 2012

Salesman itu Teroris dan Manipulatif. Hah?

Kita sering mendengar pertanyaan mengapa jarang orang yang mau jadi penjual (sales person)?  Salah satu jawaban yang mengemuka adalah karena penjual mempunyai reputasi yang buruk. Sales person dikenal suka mengejar-ngejar orang (prospek) tanpa melihat waktu dan kesempatan.

Itulah mengapa jabatan untuk sales person, dibuat begitu indah: account officer, marketing executive, financial consultant, atau marketing officer. Padahal job desk-nya sama saja. Menawarkan dan menjual sesuatu. 

Mengapa Itu Bisa Terjadi?Karena ada dua tipe penjual yakni tipe teroris dan tipe manipulatif.  Penjual tipe teroris adalah penjual yang ilmunya cuma satu: persistence brings result. Pelatihannya mengatakan: semakin sering ditolak, maka semakin dekat prospek ke yes (closing). Tutor panutannya mengatakan secara statistik, seseorang akan ditolak lima atau enam kali, namun penolakan yang ketujuh akan berbuah persetujuan.  Pelatihannya tidak mengajarkan sensitivitas, tidak juga mengajarkan bahannya “menembak” semua orang sebagai prospek.

Penjual tipe teroris tidak ubahnya monster-monster penjual, mendekati siapapun yang dilihatnya, menjual kepada setiap orang yang membawa dompet, tidak peduli apakah mereka membutuhkan atau tidak. Tidak juga peduli 1000 penolakan yang menghadang.

Tipe penjual kedua adalah penjual manipulatif. Tipe penjual ini mulutnya manis, suka memuji, namun seringkali berlebihan. Tujuannya memanfaatkan hubungan yang telah terjalin dengan prospek. Sedikit berbohong menjadi triknya menjerat klien, tidak pernah tulus. Untuk mempengaruhi pembeli, sering kali penjual manipulatif menambah-nambahkan keunggulan produk yang ingin dijualnya. Selain itu, mereka juga tak jarang menutup-nutupi apa yang menjadi kekurangan produk yang ingin dijualnya.   

Jadi Harus Bagaimana?
Prinsip harus fokus pada kepentingan prospek. Sebagai penjual seharus kita juga memperhatikan bagaimana cara membuat pelanggan lebih berbahagia, lebih nyaman, lebih menguntungkan, lebih kaya, lebih praktis, dan sebagainya.

Logika saya, kalau kita fokus dan terus menerus mengupayakan bahkan penciptakan nilai tambah (value added), secara bijaksana mengkomunikasikan nilai tambah tadi kepada prospek, dan kemudian mengembangkan sensitivitas sehingga terjadi interaksi yang menyenangkan antara kita dengan prospek, pasti tidak akan ada pelanggan yang merasa terganggu.

Tidak perlu menyembunyikan motif mencari laba karena bagaimanapun berdagang adalah mencari uang. Namun, lakukanlah dengan orientasi pada kepentingan prospek.

Strategi menjual lainnya ada dalam artikel sales motivations di blog ini.