Sabtu, 15 November 2008

Memperkuat Brand Image lewat Kampanye Pemasaran Interaktif


Tidak hanya untuk meningkatkan penjualan, kampanye pemasaran berbasis mobile interactivity juga digunakan untuk meningkatkan citra merek.

Tidak salah bila mobile interactivity menjadi saluran pemasaran yang sangat menarik. Selain bisa mendekatkan merek dengan konsumen kampanye pemasaran ini memberi kesempatan kepada penggunanya untuk berinteraksi dengan merek di mana saja.

Beberapa waktu lalu, kampanye pemasaran berbasis media interaktif menjadi perhatian utama Coca-Cola Brasil. Bekerjasama dengan dua agency lokal, Okto dan Gringo Coca-Cola Brasil meluncurkan Happiness Factory, kampanye pemasaran interaktif yang menayangkan film iklan berdurasi tiga setengah menit lewat internet dan mobile media.

Film tersebut dikreasi agency periklanan Coca-Cola global Mc-Cann Erikcson yang disesuaikan dengan pasar lokal, Brasil. Sementara Okto dan Gringo merencanakan dan mengeksekusi kampanye tersebut untuk media digital seperti internet dan mobile. Tujuan kampanye tersebut adalah memperkuat citra merek Coca-Cola dengan cara berinteraksi dengan pengguna dan konsumen Coca-Cola.

Untuk media internet, pengunjung web dapat bermain salah satu dari empat game yang dikreasi dalam Happines Factory. Setelah bermain mereka bisa mengakumulasi poin yang diperolehnya dan menukarkannya dengan hadiah digital. Hadiah tersebut berupa ringtone, tema, dan wallpaper menarik serta ekslusif kreasi agency Okto. Semakin banyak poin yang dikumpulkan, semakin banyak pula hadiah yang mereka peroleh.

Selain lewat web, kampanye juga dilakukan di di depan pintu masuk pusat pertokoan Morumbi, salah satu mall terbesar dan terpenting di Sao Paulo, Brasil. Di area tersebut ada dua peluang berinteraksi yakni lewat self-generated content dan bluetooth. Dengan menggunakan kamera video gambar peserta dapat diambil dan menjadi bagian dari film Happines Factory. Hasilnya kemudian dikirim ke ponsel peserta lewat SMS. Selama kampanye berlangsung, sebanyak 70 persen pengunjung mall mengikuti aktivitas tersebut.

Sedangkan bluetooth digunakan untuk meraih audience yang lebih luas dengan versi film Happines Factory yang lebih pendek, berdiurasi 45 detik. Konsumen yang mendatangi area tersebut diminta membuka bluetooth mereka untuk menerima film iklan Happiness Factory. Hasilnya, sebanyak 59 persen pengunjung mall berhasil menerima film iklan tersebut.

Selama berlangsungnya kampanye Maret dan April 2008, hasil yang dicapai Coca-Cola Brasil sangat baik. Brand awareness Coca-Cola semakin meningkat di benak konsumen. Berkat kampenye interaksi tersebut, merek Coca-Cola semakin dekat dengan konsumen.

Minggu, 07 September 2008

Blogger Lebih Bergairah dibanding Wartawan

Kendati sama-sama bertugas sebagai pencari dan penulis berita, namun blogger beda dengan wartawan. Semangat mencari dan menulis berita blogger lebih tinggi dibanding wartawan.

Kondisi seperti itu terjadi di Korea seperti yang diungkapkan Kim Tae-Woo blogger ternama di Korea. Ia menilai blogger merupakan pasar yang potensial, namun butuh upaya untuk menjadikannya lebih establish. Kim adalah salah satu panelis dalam ”OhmyNews International Citizen Reporters' Forum beberapa waktu lalu seperti dilansir situs OhmyNews.

Sebelum menjadi blogger sejati, Kim adalah insinyur dan memiliki blog Technokimchi, yang focus pada masalah teknologi di Korea. Dia sangat serius ketika pertama kali bergelut dengan blog. Ketika blognya mendapat kunjungan lebih dari 10 ribu pengunjung perhari, ia keluar dari pekerjaannya. Kini Kim adalah full timer blogger dan menjadi salah satu top Blogger di Korea.

Media Alternatif
Beda dengan negara-negara lain di dunia dimana orang-orang yang berkecimpung di dunia politik, pejabat pemerintah dan wartawan memiliki blog, blogger di Korea berasal dari anak muda yang menulis kehidupan hari-harinya di blog. Para blogger di negeri ginseng itu sangat bergairah mengisi blognya dengan berita tetapi sayangnya kurang mendalam.

Orang kerapkali membedakan blog dengan media massa dan menyebutnya sebagai ”media alternatif”. Padahal artikel di blog yang mengangkat isu sensitif bisa menerima lebih dari 10 ribu komentar setiap hari.

Ia melihat wartawan dari media tradisional tidak memiliki semangat sebagai wartawan yang sebenarnya. Sementara para blogger memiliki gairah untuk mengejar berita hingga tuntas. Para wartawan hanya tinggal beberapa saat di suatu acara atau peristiwa kemudian pulang dan membuat berita. ”Bagi saya mereka bukan jurnalis, karena tidak memiliki jiwa jurnalis,” papar Kim.

Sementara blogger menurutnya mengikuti acara tersebut hingga tuntas. Ia mencontohkan dirinya dan teman-teman blogger yang menghadiri acara Candlelight 2008 hingga selesai dan kemudian membuatkan laporannya.

Blog harus dilihat sebagai media alternatif. Ia adalah suplement dari tradisional media. Sayangnya para blogger adalah orang yang tidak berprofesi sebagai wartawan dan tidak memposisikan diri mereka sebagai wartawan. Mereka harus belajar sebagai wartawan yang baik.

Ia meminta para blogger bertanggungjawab terhadap apa yang mereka buat dan tulis di web. Sebelum memposting harap diperhatikan lebih seksama lagi materi yang akan tayang diblog. Berita yang tampil harus akurat dan kredibel. Karena orang tidak akan kembali lagi ke blog Anda bila berita yang muncul salah.

Kim berfikir blogger dan para wartawan harus bisa saling belajar. Ia meminta wartawan untuk mengedukasi blogger dari sisi etika penulisan.

Rabu, 04 Juni 2008

Masihkah SBY Menjadi RI-1 pada 2009-2014 (Kekuatan Incumbent Berdasarkan Riset)

            Tak ada seorang pun di muka bumi yang bisa meramal masa depan dengan pasti. Namun melalui tanda-tanda zaman yang ada sekarang, masa depan bisa diprediksi. Mark J Penn dan E Kinney Zalesne dalam bukunya “Microtrends” (2008) mengungkapkan, kita bisa melihat masa depan dengan melihat fakta dan tanda-tanda yang ada pada masa kini. Bila tanda-tanda zaman tersebut dikelola, maka kita bisa melakukan perubahan besar.

Mark J Penn adalah periset politik yang pada 1996 bekerja untuk kampanye Bill Clinton. Ia berhasil mengindentifikasi sebuah kelompok pemilih, yakni ibu-ibu yang peduli pada pekerjaan dan keluarga. Kelompok ini begitu peduli dengan kebijakan yang dijanjikan para calon presiden. Bill Clinton lalu melakukan kampanye presiden yang fokus kepada kaum ini dan akhirnya ia terpilih menjadi presiden Amerika.

Tanda Zaman
Berdasarkan teori tersebut, apakah kita bisa memprediksi siapa presiden Indonesia pada 2009-2014. Apakah SBY masih dicintai para pemilih untuk menjadi presiden pada periode tersebut. Apakah Megawati berhasil merebut kembali tampuk kepemimpinan yang pernah direguknya selama dua setengah tahun. Ataukah muncul nama baru yang akan menggoyang keinginan orang-orang lama untuk kembali berkuasa.

Cukup sulit mencari jawaban dari semua pertanyaan di atas. Namun bila kita mengikuti teori yang dikemukakan Mark J Penn, tampaknya kita memiliki pola untuk menemukan jawabannya. Dengan pola itu kita bisa meramal siapa presiden Indonesia 2009-2014.

Langkah awal yang perlu dicari adalah melihat fakta dan tanda-tanda zaman yang ada saat ini. Fakta dan tanda tersebut ada yang gamblang bisa dilihat dengan mata awam, ada pula yang dilihat dengan bantuan kacamata ilmiah atau riset.

Tanda zaman yang ada saat ini adalah masyarakat Indonesia dalam kondisi hidup yang sulit. Saat ini menurut BPS ada sebesar 9,43 juta jiwa pengangguran di Indonesia. Jumlah itu bisa bertambah bila data datang dari instansi lain. Sementara jumlah rakyat miskin menurut LIPI pada 2008 mencapai 41,7 juta jiwa atau sekitar 21,9 persen dari penduduk Indonesia.

Penderitaan mereka semakin bertambah dengan kenaikan harga BBM yang dikeluarkan pemerintah SBY akhir Mei lalu. Aksi demontrasi dengan beragam tujuan di berbagai daerah menjadi konsumsi media massa setiap minggu. Aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang dan organisasi massa juga termonitor media massa tanpa sensor.

Indonesia sepertinya menjadi negeri yang dikutuk oleh Tuhan. Kita memiliki tanah yang subur dengan kekayaan alam yang begitu besar namun sebagian rakyatnya hidup menderita. Orang-orang miskin yang terkena gizi buruk dan bunuh diri karena tidak bisa makan dan menjalani hidup dengan layak bukan cerita aneh di negeri ini.

Dengan tanda-tanda zaman seperti itu, orang melihat, sulit bagi SBY untuk kembali menjadi pemimpin pada pemilu mendatang. Tanda-tanda itu dengan jelas memperlihatkan, SBY dan kabinetnya gagal membawa rakyat Indonesia ke arah yang lebih baik. Apalagi para mantan petinggi TNI yang merupakan senior SBY di militer masih kecewa dengan SBY yang dianggap menyalip seniornya Wiranto pada pemilu 2004. Meski suara mereka tidak signifikan, namun mereka pandai dan bisa melemparkan black campaign buat SBY.

Namun bila tanda-tanda tersebut dikelola dengan baik, peluang buat SBY masih terbuka. SBY harus bekerja keras menggelar kebijakan yang bisa merebut kembali hati rakyat banyak. Dengan begitu tidak tertutup kemungkinan kebencian sebagian masyarakat kepada SBY bisa berubah menjadi cinta. Orang-orang inilah yang bisa menjadi duta atau bahkan pembela SBY di komunitasnya.

Itulah secercah harapan yang masih dimiliki SBY untuk maju kembali menjadi presiden pada periode berikutnya meski butuh perjuangan keras. Bila tidak segera bertindak, jangan harap SBY dapat mempertahankan kekuasaannya. Banyak calon-calon lain yang layak jadi penguasa negeri ini walaupun mereka belum berpengalaman sebagai presiden.

Tokoh Lain
Hasil riset Indonesian Research & Development Institue (IRDI) yang digelar Maret 2008 memperlihatkan, sedikitnya ada tiga tokoh utama yang masih diunggulkan masyarakat sebagai tokoh yang paling mampu mengatasi masalah mendesak. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (40%), Megawati (22%), dan Wiranto (11,6%). Nama lain yang muncul adalah Sri Sultan HB X (7,3%), Amien Rais (5,3%), Jusuf Kalla (3,6%), dan Sutiyoso (2%).

Riset dilakukan pada 23-30 Maret 2008 dengan mewawancarai sebanyak 2600 responden di 33 propinsi dengan tingkat kepercayaan 95 % dan margin error kurang lebih 1,9%. Responden dipilih secara acak dengan komposisi jumlah pria dan wanita masing-masing 50 persen. Responden adalah penduduk Indonesia yang berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah.

Dari temuan itu terlihat masyarakat memiliki tokoh lain untuk menjadi presiden periode 2009-2014 antara lain Megawati dan Wiranto. Keduanya, meski tokoh nasional daur ulang namun perlu diperhitungkan SBY jika maju dalam pemilihan presiden mendatang.

Hasil riset juga memperlihatkan, tokoh daur ulang itu masih memiliki peluang untuk menjadi presiden dan dipilih penduduk negeri ini. Jika pemilu dilakukan sekarang dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai kandidat, jumlah suara terhadap Megawati dan Wiranto cukup signifikan. Jika SBY berhadapan dengan Megawati misalnya, jumlah responden yang memilih SBY 57,5 % dan Mega 40,1%. Sementara jika SBY berhadapan dengan Wiranto, jumlah responden yang memilih SBY adalah 63,7 %, sedangkan Wiranto sebesar 32,9 %.

Angka-angka tersebut muncul saat riset dilakukan sebelum kenaikan BBM Mei lalu. Kemungkinan besar angka-angka itu akan berubah jika riset dilakukan setelah kenaikan BBM. Bisa jadi persentasi suara untuk SBY berkurang sedangkan tokoh lain bertambah.

Dengan kondisi saat ini apakah Megawati bisa menjadi presiden pada pemilu mendatang. Masihkan rakyat banyak mau mempercayakan kekuasaan ini kepada anak mantan presiden pertama RI ini. Tanda-tanda zaman memperlihatkan, selama menjabat presiden kurang lebih dua setengah tahun Megawati belum melakukan sesuatu yang berarti buat rakyat banyak. Bahkan Megawati salah memilih menteri dan pejabat. Beberapa pejabat di era Megawati kini menjadi terhukum kasus korupsi seperti mantan menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Megawati juga tidak bisa merangkul orang-orang dekat yang pernah berjuang bersamanya di PDI-P. Sebut saja Roy BB Janis, dan Laksamana Sukardi yang keluar dari PDI-P dan mendirikan partai baru. Tanda-tanda itulah yang menyebabkan suara Megawati saat riset dilakukan hanya 40,1 persen, sementara SBY 57,5 persen. Artinya, meski ada kelompok fanatik yang membela Mega tanpa pandang bulu, ada juga masyarakat yang sadar dengan kondisi negara saat ini. Kelompok yang menggunakan akal sehat inilah yang tidak rela negara ini diserahkan kepada mantan presiden yang memiliki track record tidak memuaskan.

Bila tanda-tanda zaman tersebut tidak dikelola dengan baik dan benar Mega bisa menghadapi batu sandungan untuk mulus menuju RI-1. Pasalnya untuk menjadi presiden Megawati tidak cukup mengandalkan massa PDI-P dan orang-orang yang fanatik terhadap Mega dan Soekarno. Ia harus bisa merangkul kelompok lain (kelompok rasional) dan memberi keyakinan kepada rakyat banyak bahwa Mega kini berbeda dengan Mega masa lalu. Mega kini adalah Mega yang memiliki konsep membawa rakyat kepada kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.

Sementara seberapa besar peluang Wiranto berhasil meraih kursi presiden. Apakah Wiranto masih memiliki peluang menjadi presiden RI periode berikutnya. Bukankah hasil riset tersebut juga menunjukkan Wiranto masih memiliki massa. Atau adakah calon lain yang pantas menjadi presiden Indonesia 2009-2014. Jawabannya adalah berdasarkan hasil riset, SBY masih kuat sebagai presiden Indonesia 2009-2014. 

Selasa, 08 Januari 2008

Industri Periklanan 2008 Masih Suram

Bagaimanakah nasib industri periklanan nasional pada 2008. Apakah ada angin segar yang membuat industri ini bisa bangkit dan bergairah setelah terpuruk selama tiga tahun terakhir.

Segenap praktisi komunikasi pemasaran nasional berharap tahun 2008 menjadi tahun kebangkitan industri komunikasi pemasaran setelah terpuruk selama beberapa tahun. Harapan mereka kampanye pemasaran dalam berbagai bentuk dan aktivitas promosi gencar dilakukan pemasar agar segenap komponen di industri ini bisa meraih billing sesuai target.

Nielsen Indonesia mencatat dua tahun terakhir terjadi kenaikan belanja iklan nasional sebesar 17 persen dari tahun sebelumnya. Pada Januari hingga November 2005 billing iklan nasional sekitar Rp 23,3 triliun naik menjadi Rp 27,3 triliun pada Januari hingga November 2006. Angka itu naik lagi menjadi Rp 31,8 triliun hingga November 2007. Nielsen memprediksi hingga Desember 2007 billing iklan nasional genap menjadi Rp 35 triliun.

Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pada 2008 Nielsen memperkirakan terjadi kenaikan billing iklan sebesar 20 persen, lebih tinggi dari kenaikan tahun-tahun sebelumnya. Faktor yang diharapkan mendukung kenaikan tersebut adalah ajang Olimpiade dan Piala Eropa 2008. Pada 2004 ketika berlangsung kedua ajang tersebut billing iklan nasional naik 32 persen dari tahun sebelumnya.

Penuh Kekhawatiran

Tahun 2002, 2003 dan 2004 adalah tahun emas industri periklanan nasional. Data yang dilansir Harris Thajeb, President Direktur Dentsu Indonesia saat Seminar Cakram bertajuk Prediksi Belanja Iklan 2008 memperlihatkan pada 2002 terjadi kenaikan billing iklan nasional sebesar 34 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2003 billing iklan naik sebesar 46 persen dan pada 2004 sebesar 32 persen.

Beda dengan Nielsen Indonesia, Harris Thajeb lebih realistis dalam memprediksi kenaikan belanja iklan nasional 2008. Meski tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya, billing iklan nasional pada 2008 diperkirakan naik sebesar 11 persen.

Namun sayangnya kenaikan tersebut belum bisa membahagiakan segenap konstituen di industri ini. Pasalnya, pertumbuhan billing iklan nasional tidak menstimulasi pertumbuhan billing biro-biro iklan.

Ia merasa khawatir dengan nasib industri periklanan nasional pada 2008. Hingga akhir 2007 belum muncul tanda-tanda kebangkitan. Sejumlah faktor internal dan eksternal diprediksikan tidak sepenuhnya mendukung kebangkitan industri komunikasi pemasaran nasional.

Perekonomian dunia pada 2008 diperkirakan akan menurun. Penurunan itu terjadi karena melemahnya perekonomian Amerika Serikat akibat diguncang krisis subprime mortgage pada Agustus 2007 dan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai lebih dari US$ 90 per barrel.

Kondisi perekonomian global seperti itu berdampak pada kondisi perekonomian dalam negeri Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap US$ melemah hingga ke posisi Rp 9.400 per US$ dari Rp 9.000 per US$. Penurunan itu berdampak terhadap kenaikan harga barang dalam negeri. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang pada 2007 sebesar 6,3 persen diperkirakan akan lebih rendah menjadi 6 persen pada 2008. Sebuah kemunduran dalam perbaikan ekonomi nasional.

Secara internal, sejumlah event yang ada di tahun 2008, tampaknya belum bisa menggairahkan industri komunikasi pemasaran nasional. Menurut pengamatan Harris, ajang Piala Eropa yang disiarkan kelompok MNC dan ditawarkan kepada pengiklan Indonesia tidak akan sesukses Piala Dunia.

Pertandingan sepak bola tingkat tinggi di Piala Dunia 2006 yang bisa menghipnotis masyarakat dunia belum bisa dikalahkan oleh Euro 2008. ”Selama satu bulan orang rela bangun malam untuk nonton Piala Dunia, tetapi saya tidak yakin jika mereka juga rela menonton Piala Eropa,” paparnya.

Hal serupa juga terjadi untuk ajang Olimpiade. Olimpiade dan Euro 2008 tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan billing biro-biro iklan. Ia meramalkan, tidak banyak pemasar yang akan berpartisipasi dalam kedua event tersebut.

Pengalaman memperlihatkan event Sea Games XXIV di Thailand yang digelar beberapa waktu lalu tidak diminati penonton dan pengiklan. Televisi-televisi swasta hanya menyiarkan kilasan berita tentang SEA Games. Karena tidak menjual, tidak ada televisi swasta yang memiliki program khusus SEA Games XXIV.

Televisi Masih Dominan
Sama seperti tahun 2007, televisi masih menjadi media utama pilihan pengiklan pada 2008. Dari total kue iklan nasional sebesar Rp 31,8 triliun, pada 2007 Nielsen Indonesia mencatat televisi meraih 66 persen atau senilai Rp 21 triliun. Koran berada pada peringkat kedua dengan raihan kue iklan sebesar 30 persen. Sementara majalah dan tabloid meraih kue iklan sebesar Rp 4 persen.

Kategori komunikasi pada 2007 berada di puncak teratas kategori produk yang banyak beriklan di televisi dan koran. Billing iklan kategori komunikasi di televisi pada 2007 sebesar Rp 1,5 triliun, naik 46 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 1,04 triliun. Posisi kedua adalah kategori produk perawatan rambut sebesar Rp 1,3 triliun.
Pada 2008, kategori komunikasi diperkirakan akan tetap berada di posisi teratas kategori produk yang banyak beriklan di televisi dan koran.

Perang operator selular serta handset telepon selular yang makin tajam sejak dua terakhir akan terus berlanjut pada 2008. Operator selular dan perangkat telepon selular akan terus berkampanye guna merebut dan mempertahankan pasar yang ada.

Saat ini Telkomsel masih menjadi pemimpin pasar telepon selular GSM dengan market share sebesar 56 persen. Posisi kedua diraih Indosat sebesar 26 persen dan XL berada di posisi ketiga sebesar 18 persen.

Di kategori CDMA, Telkom Fleksi menjadi pemimpin pasar dengan market share sebesar 43 persen. Posisi kedua diraih Mobile-8 dengan market share sebesar 28 persen dan posisi ketiga dipegang Bakrie Telecom sebesar 24 persen.

Re-alokasi frekuensi CDMA pada gelombang 800 MHz menjadi peluang bagi operator CDMA untuk tumbuh semakin besar. Dengan re-alokasi frekuensi itu semua operator selular memiliki peluang untuk beroperasi dan berkomunikasi secara nasional.

Yanti Agus Marketing Manager Mobile Devices South Asia PT Motorola Indonesia mengutarakan dari tahun ke tahun belanja iklan kategori selular naik sebesar 25 persen. Belanja iklan mereka akan tetap naik pada 2008. Penyebabnya, baik operator maupun perusahaan telepon selular tetap akan menggelontorkan dana berkampanye. “ Dan televisi akan tetap menjadi media beriklan favorit,” ujarnya.

Ia menambahkan, secara alamiah operator selular akan menggenjot kampanyenya di televisi. Sementara dana beriklan yang digelontorkan produsen telepon selular akan berimbang antara televisi dan media cetak. Pasalnya, produsen telepon selular perlu banyak bercerita tentang benefit dan fitur hand phone mereka. Di luar itu aktivitas BTL tetap dilaksanakan.

Meski cukup banyak dana yang akan dikucurkan pemasar pada 2008, namun nasib yang dialami biro-biro iklan diperkirakan belum bisa berubah ke arah yang lebih baik. Sejumlah pemasar sudah semakin cerdas untuk menekan biro iklan dengan agcncy fee seminim mungkin di bawah 3 persen.

Belum lagi pemasar acapkali memisahkan antara kreatif agency dan media placement agency dalam menangani kampanye pemasaran merek mereka. Dengan begitu margin keuntungan yang diperoleh biro iklan tetap kecil.

Kenyataan yang ada di industri komunikasi pada tahun mendatang memang pahit. Namun kenyataan itu harus dihadapi dan bukan dihindari agar industri tetap tumbuh dan bergairah. Atajudin Nur

Rabu, 05 Desember 2007

Memilih Program dan Rubrik Unggulan di Media

Memiliki program dan rubrik unggulan bagi media massa merupakan keharusan. Program atau rubrik unggulan yang bisa menyedot khalayak sasaran akan menjadi jualan utama media kepada pengiklan. Hanya saja hasil riset bisa membuktikan apakah program atau rubrik tersebut benar-benar unggulan atau biasa-biasa saja.

Sah-sah saja bila bisnis media massa berorientasi keuntungan. Layaknya industri lain hidup media massa tergantung pada pemasukan laba, sebagai upah hasil kerja pengelola. Akan tetapi, bila melulu ingin meraup untung, juga tidak benar. Hal itu bertentangan dengan tujuan ideal dari bisnis media massa, yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.

Sehubungan dengan tujuan komersialnya mencari laba dari penjualan halaman atau slot iklan, pengelola media mau tak mau harus membuat program atau rubrikasi yang laku dijual. Program atau rubrikasi unggulan itulah yang bisa menarik khalayak sasaran, sekaligus pengiklan dan sponsorship.

Dampak Program Unggulan

Bagi televisi, menayangkan program yang benar-benar unggulan membutuhkan anggaran yang cukup besar. Selain untuk pembelian atau produksi program, dana juga terserap untuk promosi di beragam media.

Namun begitu, bila tepat memilih program unggulan dampak yang dihasilkanya tidak tanggung-tanggung. Rating terdongkrak naik dan spot iklan dipenuhi beragam merek yang ingin berpromosi di program tersebut.

Hal itu terjadi di program Piala Dunia 2006 di SCTV. Stasiun televisi ini mengeluarkan dana sekitar US$ 10 juta untuk membeli hak siar program tersebut di Indonesia. Promosi terhadap program unggulan itu dilakukan selama dua tahun, sejak 2004 usai pembelian hak siar Piala Dunia dari Infront Sports & Media WM pada pertengahan 2003. Promosi digelar di beragam media periklanan hingga berakhirnya Piala Dunia pada Juli 2006.

Hasilnya, Piala Dunia 2006 berhasil menyedot banyak pemirsa dan pengiklan. Nielsen Media Research (NMR) mencatat, Piala Dunia 2006 menjadi jawara program televisi dengan rating tertinggi dari Januari hingga November 2006. Rating pertandingan sepakbola Jerman melawan Argentina sebesar 16,0 mengalahkan program lainnya.

Peringkat 10 besar program televisi dengan rating tertinggi hingga November 2006 semuanya diraih program sepakbola Piala Dunia. Posisi ke-10 dipegang pertandingan Inggris melawan Paraguay dengan rating 12,5.

Tiga bulan menjelang Piala Dunia 2006, sekitar 90 persen slot iklan sudah laku terjual. Djarum Super mengambil paket iklan Platinum dan Extra Joss mengambil paket iklan gold. NMR mencatat hingga Oktober 2006 perolehan kotor iklannya—belum dipotong bonus dan diskon—sebesar Rp 2,8 triliun. Dengan angka tersebut memposisikan SCTV berada di peringkat dua besar televisi dengan perolehan iklan tertinggi setelah RCTI (Rp 3,3 triliun).

Di luar sepakbola Piala Dunia program peraih rating tertinggi antara lain, sinetron dari berbagai jenis, film barat pilihan dan ajang lomba mencari bakat. Meski perolehan rating makin mengecil seirama dengan banyaknya stasiun televisi, namun program-program tersebut memiliki peluang untuk duduk di peringkat atas program dengan rating tertinggi.

Ketiga jenis tontonan itu tampaknya tetap menjadi program unggulan televisi pada 2007. Hampir semua televisi swasta nasional memiliki sinetron dari beragam jenis dan segmentasi. Begitu pula dengan film barat pilihan yang akan tayang di semua televisi swasta nasional termasuk TVRI.

Sedangkan untuk program ajang pencari bakat, Indosiar akan tetap melanjutkan program ”AFI 2007” (Akademi Fantasi Indosiar) yang sukses pada 2004. TPI dan RCTI yang sukses menggelar ”KDI” dan ”Indonesia Idol” akan kembali tampil pada 2007.

Bahkan TPI melebarkan sayapnya dengan mencari finalis ”KDI 2007” dari negeri jiran seperti Brunei dan Malaysia. Apakah program ”KDI” akan sesukses tahun 2005 yang berhasil meraih rating tertinggi tahun itu di bawah program ”Rahasia Illahi”. Kita lihat saja nanti.

Mengukur Rubrik Unggulan

Hasil riset menjadi tolak ukur mencari program atau rubrikasi unggulan yang sukses, dalam arti banyak dilihat khalayak sasaran. Kerap kali pengelola media massa menyebut semua program atau rubrikasinya merupakan unggulan. Namun tidak semua program atau rubrikasi tersebut berhasil menarik cukup banyak khalayak sasarannya.

Selain riset jumlah pembaca media cetak, ada pula riset mengenai rubrikasi atau artikel yang paling banyak dibaca orang. Dalam riset gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan (Urban Rural Lifestyle) pertengahan tahun 2006 Polling Center merilis majalah dan tabloid yang paling banyak dibaca serta 10 besar artikel atau rubrikasi yang paling digemari pembaca majalah dan tabloid di perkotaan dan pedesaan.

Untuk masyarakat perkotaan pembahasan mengenai ”mode dan fashion” duduk di peringkat pertama artikel atau rubrikasi paling favorit di majalah dengan jumlah responden sebanyak 21 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”kisah nyata” (9,26 persen), ”infotainment” (5,56 persen), ”masakan” (4,94 persen) dan ”tokoh” (4,94 persen).

Sementara pembahasan mengenai “sepakbola” di tabloid duduk di peringkat pertama rubrik atau artikel paling favorit dengan meraih responden sebanyak 15,56 persen. Peringkat berikutnya diraih rubrik ”infotainment” (15,38 persen), ”kesehatan” (4,72 persen), ”otomotif” (4,72 persen) dan ”mode atau busana” (4,55 persen).

Urban Rural Lifestyle 2006 adalah penelitian gaya hidup yang dilakukan Polling Center dengan metodologi kuantitatif, tatap muka terhadap 2.000 responden urban dan 2.000 responden rural. Cakupan kota yang disurvei adalah Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar.

Survei rubrikasi terfavorit di majalah dilakukan terhadap 324 orang yang membaca majalah selama satu bulan terakhir, Mei 2006. Sementara responden rubrikasi terfavorit berjumlah 572 orang yang membaca tabloid selama satu bulan terakhir, Mei 2006.

Dalam promosinya cukup banyak pengelola media massa menyebutkan sebagian besar program atau rubrik yang dimilikinya adalah unggulan. Namun riset bisa membuktikan mana saja rubrik atau program yang berhasil meraih banyak khalayak sasaran. Atajudin nur